Dicurigai Diintervensi Eksekutif; Soal Penangguhan Penahanan Huzrin Hood [20/07/04]

Ada indikasi kuat terjadinya intervensi kalangan eksekutif terhadap yudikatif di balik lambannya respons pemerintah menyikapi penundaan eksekusi terpidana kasus korupsi Huzrin Hood yang diajukan Gubernur Riau Rusli Zainal kepada Mahkamah Agung (MA) beberapa waktu lalu.

Ketua Judicial Watch Indonesia (JWI) Andi M. Asrun mengatakan, jika hal itu dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan adanya praktik jual beli perkara di balik perkara tersebut.

Itu pasti ada sesuatunya. Ini bukti adanya perlakuan istimewa kepada pihak tertentu. Anehnya, mengapa ini tidak dipermasalahkan oleh Mendagri ke gubernur Riau dan Menkeh untuk melihat penahanan itu, kata Andi di Jakarta kemarin.

Lebih lanjut staf hakim konstitusi di MK ini mengatakan, pola intervensi itu semestinya dibenahi secara makro. Misalnya, banyaknya kebijakan soal yudikatif, seperti menyangkut MA, MK, dan Depkeh yang harus dikeluarkan dalam bentuk keppres. Menurut dia, hal ini bukan hal positif dalam kerangka membangun independensi pengadilan dan yudikatif.

Di tempat terpisah, praktisi hukum Bambang Widjojanto menyatakan surat permintaan penangguhan eksekusi terhadap terpidana mantan Bupati Kepri Huzrin Hood yang dikirimkan Gubernur Riau Rusli Zainal kepada MA dan jaksa agung adalah suatu bentuk pemaksaan kehendak yang tidak berdasar.

Dia menjelaskan, dasar hukum permintaan penangguhan eksekusi yang memakai Surat Edaran MA (SEMA) No 3 Tahun 1987 sudah tidak sesuai dengan situasi politik saat ini. Surat edaran MA itu kan pada 1987. Kondisi politik sekarang kan berbeda dengan 1987. Surat gubernur Riau ini salah kaprah, kata mantan ketua YLBHI ini.

Seperti diketahui, SEMA No 3 Tahun 1987 berisi tentang penundaan eksekusi terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap saat menghadapi Pemilu 1987.

Selain salah kaprah, surat tersebut sangat tidak relevan dan di luar konteks hukum. Sikap ini bukan lagi intervensi politik pejabat publik terhadap persoalan hukum, tapi suatu bentuk sikap pemaksaan kehendak tanpa alasan yang jelas, ucap Widjojanto.

Terlebih lagi, kata Widjojanto, kasus ini adalah kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik sebagai seorang terpidana. Seharusnya seorang gubernur mengedepankan upaya pemberantasan korupsi. Saya pikir gubernur Riau ini bisa dipersoalkan, katanya.

Menanggapi sikap Lapas Tanjung Pinang -tempat Huzrin ditahan saat dieksekusi kejaksaan- yang tidak menahan Huzrin dengan alasan sakit, Widjojanto melihatnya sebagai modus yang selalu digunakan para koruptor untuk menghindari proses hukum.

Modus seperti inilah yang harus diwaspadai penegak hukum. Sering, saat dieksekusi atau akan ditahan pura-pura sakit, tandasnya. (agm)

Sumber: Jawa Pos, 20 Juli 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan