Dicari Wakil Rakyat yang Tidak Lupa Diri...

Ketika Konrad Hermann Josef Adenauer (1876- 1967) memimpin Republik Federasi Jerman sebagai kanselir pertama (1949-1963), seorang politikus muda marah kepadanya, ”Bagaimana mungkin Anda berani mengatakan persis kebalikannya dari apa yang Anda katakan sebulan silam?” Adenauer tidak marah, dia hanya menjawab singkat, ”Peduli apa saya dengan omongan saya yang kemarin-kemarin.”

Sikap Adenauer tersebut tampaknya bisa menjadi pintu masuk untuk memahami panggung politik Indonesia, terutama dengan perilaku para elitenya. Sikap politikus yang tidak konsisten, mengabaikan nilai-nilai kejujuran, mengabaikan etika dan moralitas, barangkali sudah menjadi rahasia umum di negeri ini. Dengan berbagai sepak terjangnya yang dinilai berseberangan dengan ”suara rakyat”, tampaknya amat sulit untuk memberikan penilaian yang positif buat mereka.

Kasus yang akhir-akhir ini mendapat perhatian begitu luas adalah soal rencana pembangunan gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Rencana itu tentu saja mendapat gugatan sebab anggarannya mencapai Rp 1,8 triliun. Bukan saja rencana pembangunan gedung itu menguras pundi-pundi negara, tetapi juga dinilai telah menzalimi rakyat yang tengah bergelut habis-habisan untuk bisa lepas dari belitan kemiskinan.

Kritik keras masyarakat sipil tak membuat hati wakil rakyat luluh walaupun akhirnya anggaran pembangunan diturunkan menjadi Rp 1,138 triliun. Namun, dengan kewenangan yang dimiliki, pimpinan dan anggota DPR ngotot membangun gedung berlantai 36 tersebut. Pada rapat konsultasi pimpinan DPR dengan para pimpinan fraksi dan BURT DPR, Kamis (7/4), diputuskan bahwa pembangunan gedung DPR itu dilanjutkan.

DPR tampaknya telah menutup telinga mereka rapat-rapat. Padahal, di internal DPR juga banyak yang tidak setuju. Dua fraksi sejak lama tak setuju, yaitu Fraksi PAN dan Fraksi Gerindra. Namun, rupanya ada juga wakil rakyat dari fraksi lain yang tidak setuju seratus persen menghendaki agar ada perubahan dalam proyek itu. Suara itu tak digubris elite di DPR yang oligarkis, termasuk menganggap angin lalu pesan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menginstruksikan penundaan hingga pembatalan pembangunan gedung baru di lingkungan pemerintah atau lembaga nonpemerintah jika sangat tidak diperlukan.

Sikap Ketua DPR Marzuki Alie yang juga politikus Partai Demokrat itu lebih melukai rakyat. Sulit untuk mengerti secara logis bagaimana seorang wakil rakyat memunggungi rakyatnya sendiri. Menurut Marzuki Alie, dalam rencana pembangunan gedung DPR itu rakyat biasa tidak perlu diajak membahas pembangunan gedung baru. Hanya orang-orang elite atau orang-orang pintar yang bisa diajak bicara.

”Kalau rakyat biasa dibawa memikirkan bagaimana perbaikan sistem, bagaimana perbaikan organisasi, bagaimana perbaikan infrastruktur, rakyat biasa pusing pikirannya. Rakyat biasa dari hari ke hari, yang penting perutnya berisi, kerja, ada rumah, ada pendidikan, selesai. Jangan diajak mengurus yang begini. Urusan begini, ajak orang-orang pintar bicara, ajak kampus bicara,” kata Marzuki di gedung rakyat, Senayan, Jumat (1/4). Pernyataan Marzuki itu juga menandai tercerabutnya relasi wakil rakyat dan rakyat.

Moralitas politikus
Memang semenjak Karl Marx menempatkan moralitas manusia ke dalam bangunan-atas ideologi yang hanya berfungsi melegitimasi struktur-struktur kekuasaan yang mapan, harapan perbaikan moralitas para politikus akan menunjang perbaikan dalam kehidupan masyarakat dianggap naif dan tidak realistis. Dalam kacamata Franz Magnis-Suseno (Filsafat Kebudayaan Politik, 1992), inflasi moralisme dari atas ditandingi, dari arah yang sama pula, oleh inflasi penyelewengan, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kecongkakan, kemunafikan, dan ketakpedulian terhadap nasib rakyat yang selalu diminta berkorban terus.

Boleh jadi itulah yang dicemaskan banyak pihak. Ada kecurigaan di balik rencana pembangunan gedung baru DPR. Walaupun berulang kali elite DPR menegaskan gedung baru itu bukan untuk kepentingan mereka, melainkan untuk DPR periode berikutnya, tetap saja ”bagi-bagi” proyek dalam tahap pembangunan dicurigai menjadi hal yang sangat menggiurkan. Banyak pihak yang tidak yakin jika DPR tidak mendapatkan apa-apa dari proyek tersebut.

Apalagi sejak mencuat ke permukaan proyek gedung baru diliputi keanehan, mulai alasan gedung DPR saat ini miring, rencana fasilitas mewah, anggaran turun drastis, dan proyek tanpa sayembara. Oleh karena itu, sangat wajar bila banyak yang meminta Badan Pemeriksa Keuangan dan Komisi Pemberantasan Korupsi turun langsung mengawal proyek tersebut.

Runyamnya lagi, inflasi moralisme benar-benar menyelimuti wakil rakyat. Dalam ukuran kenormalan, kinerja berbasis prestasi akan diikuti dengan berbagai kompensasi atau fasilitas. Seseorang akan mendapat promosi dengan berbagai fasilitasnya ketika kinerja dan prestasinya baik (penghargaan). Sebaliknya, seseorang yang kinerjanya buruk biasanya mendapatkan demosi (hukuman).

Pola itu tampaknya tak berlaku bagi DPR. Saat menuntut pembangunan gedung baru yang mewah itu ternyata kinerja DPR sangat buruk. Bayangkan saja, dari target 70 legislasi, DPR cuma mampu merampungkan 16 undang-undang atau kurang dari 25 persen. Fungsi pengawasan yang dilakukan DPR juga tidak substansial dan lebih terlihat sebagai aksi atraktif. Dalam kasus Bank Century, misalnya, panggung DPR benar-benar teatrikal yang membuat gemuruh tepuk tangan, tetapi penyelesaian kasus itu kini tak terdengar lagi.

Supaya DPR tak terus lupa, mungkin menarik menyimak pesan Francis Fukuyama dalam The End of History and The Last Man. ”Kita mungkin telah memenangi Perang Dingin, menyenangkan luar biasa. Namun, semua itu berarti bahwa musuh kita sekarang bukan lagi mereka, melainkan diri kita sendiri.” Semoga DPR tak terus lupa diri…. (Subhan SD)
Sumber: Kompas, 18 April 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan