Dicabut, Hak Dua Komisaris Pertamina; KPK Segera Periksa Laksamana Sukardi

Pemerintah kembali menunjukkan sikap tegas dalam menyelesaikan skandal tanker Pertamina. Giliran dua anggota dewan komisaris Roes Aryawijaya dan Iin Arifin Takhiyan yang dicabut haknya dalam pengambilan keputusan di Dewan Komisaris Pertamina. Sebelumnya, pemerintah menonaktifkan Direktur Keuangan Pertamina Alfred A. Rohimone.

Saya minta mereka berdua tidak boleh ikut terlibat dalam pengambilan keputusan dewan komisaris terkait kasus ini. Mereka tidak boleh lagi memberikan hak suara (voting) supaya independen, jelas Menteri Negara BUMN Sugiharto di gedung Depkeu Jakarta kemarin.

Sugiharto menilai pertimbangan untuk mencabut hak dua orang komisaris tersebut cukup adil. Sebab, Roes dan Iin ikut menandatangani persetujuan penjualan kapal tanker pengangkut minyak mentah tersebut.

Direktur Keuangan Pertamina Alfred A. Rohimone telah resmi dinonaktifkan. Per hari ini (kemarin) sudah tidak boleh menandatangani transaksi yang signifikan, tegas Sugiharto.

Meski telah menonaktifkan direktur keuangan Pertamina, Sugiharto menegaskan, pihaknya belum memiliki rencana untuk mengganti jajaran direksi Pertamina karena menunggu RUPS. Lagi pula, asas praduga tak bersalah tetap harus kita junjung tinggi, tambahnya.

Roes dan Iin adalah dua komisaris yang dipertahankan saat ada pergantian jajaran komisaris Pertamina pada 1 Februari 2005. Syafruddin A. Temenggung (komisaris) dan Anshari Ritonga (komisaris) diganti. Pergantian Laksamana Sukardi sebagai komisaris utama terjadi karena dia mengundurkan diri sejak November 2004.

Saat dihubungi koran ini, Roes yang juga deputi menteri BUMN bidang industri strategis pertambangan dan telekomunikasi itu mengaku belum mendengar keputusan Sugiharto. Saya belum mendapat kabar mengenai keputusan itu, katanya.

Senada dengan Roes, Iin yang juga Dirjen Migas Departemen ESDM mengungkapkan, pihaknya belum mengetahui menteri BUMN memutuskan untuk melarang dirinya terlibat dalam pengambilan keputusan dewan komisaris.

Saya masih di Tarakan mendampingi presiden. Saya belum tahu kabar itu, jelasnya. Iin juga enggan memberikan komentar terkait dengan skandal penjualan VLCC tersebut.

Skandal penjualan dua unit tanker VLCC (very large crude carrier) tersebut terjadi saat jajaran direksi Pertamina dipimpin oleh Ariffi Nawawi. Dengan alasan kesulitan pendanaan, direksi Pertamina menjual tanker yang dipesan di Hyundai Heavy Industries, Korsel, itu kepada Frontline Ltd. Goldman Sachs bertindak sebagai financial advisor dan arranger, sedangkan Equinox menjadi broker.

Skandal tersebut berujung pada digantinya jajaran direksi Pertamina pada 11 Agustus 2004. Jajaran direksi yang diganti adalah Ariffi Nawawi (Dirut), Harry Purnomo (direktur hilir), Bambang Nugroho (direktur hulu), dan Eteng A. Salam (direktur pengembangan dan SDM). Alfred (direktur keuangan) dipertahankan hingga resmi di nonaktifkan pada 7 Maret 2005 kemarin.

Dirut Siap Rangkap Dirkeu
Sementara itu, Direktur Utama Pertamina Widya Purnama menyatakan, skandal VLCC tersebut diserahkan sepenuhnya kepada pemegang saham. Saya tidak tahu-menahu masalah itu. Itu urusan direksi yang lama. Menteri BUMN juga sudah menunjuk dewan komisaris untuk melakukan investigasi, katanya ketika rapt dengar pendapat dengan Komisi VI DPR kemarin.

Dalam rapat tersebut, Widya hanya didampingi Suroso Atmomartoyo (direktur pengolahan), Arie H. Sumarno (direktur pemasaran dan niaga). Sementara itu, Mustiko Saleh (wakil Dirut), Suprijanto (direktur SDM), Hari Kustoro (direktur hulu), dan Alfred Rohimone (direktur keuangan) tidak hadir.

Widya menjelaskan, mengenai posisi direktur keuangan yang saat ini kosong, akan ditunjuk pejabat caretaker. Apabila Pak Alfred diberhentikan, kita sudah buat rambu-rambunya, salah satu pejabat atau direksi akan menjadi caretaker, katanya.

Biasanya, lanjut Widya, yang menggantikan adalah direktur umum dan SDM karena tidak bisa level di bawahnya. Tapi kalau sulit, saya akan take over sendiri, sambungnya. Pengambilalihan tugas oleh Dirut akan dilakukan apabila pemerintah sulit mencari pengganti Alfred.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VI DPR Irmadi Lubis mengungkapkan, apa yang terjadi di Pertamina saat ini diduga terkait dengan konspirasi tingkat tinggi kelompok tertentu untuk menguasai Pertamina. Kalau memang ada tendensi kerugian negara, menurut saya, tidak mungkin hanya melibatkan seorang direktur keuangan. Kalau ada, malah melibatkan yang lebih besar, katanya.

Irmadi menegaskan, yang bertanggung jawab tidak hanya seorang direksi, tapi juga komisaris dan direksi yang memutuskan membeli dua VLCC itu sekaligus yang memutuskan untuk menjualnya.

Komisaris dan direksi Pertamina harus bertanggung jawab pada pilihannya, apakah pilihan-pilihan itu mendistorsi moral hazard atau tidak. Makanya, Komisi VI akan bertemu dengan direksi yang melakukan pengadaan kapal tanker maupun direksi yang melakukan penjualan kapal tanker, ujarnya.

Sementara, dari dua nama deputi di bawah direktur keuangan yang diisyaratkan bakal menggantikan Alfred Rohimone, dipastikan tinggal satu nama yang berpeluang. Dua nama itu adalah Andri T. Hidayat dan Junianto Tri Pitono. Namun, Andri telah dimutasi, sehingga tinggal nama Junianto.
Ketika dikonfirmasi, Junianto mengaku belum menerima permintaan apa-apa dari Men BUMN Sugiharto. Saya belum dengar apa-apa. Jabatan itu berat, tapi kalau memang diberi amanah untuk mengemban tugas itu, ya, saya lakukan, kata Junianto kepada koran ini.

Menurut Junianto, biasanya mekanisme penunjukan direksi diusulkan oleh komisaris dan ditentukan oleh pemegang saham.

Sebelumnya, Men BUMN Sugiharto mengatakan, jabatan Alfred sebagai direktur keuangan bisa dipegang oleh deputi di bawahnya.

KPK-Kejagung Melangkah
Sementara itu, Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki mengatakan, tim penyelidik KPK bakal memanggil sejumlah mantan pejabat yang dianggap mengetahui kebijakan tanker tersebut, termasuk mantan Men BUMN Laksamana Sukardi. Kita akan periksa semua orang yang tahu kasus tersebut, jelas Taufiq, panggilan akrab ketua KPK, kepada pers di gedung KPK, Jakarta, kemarin.

Menurut Taufiq, penyelidikan yang dilakukan selama ini memperoleh kemajuan berarti sehingga ada peluang besar untuk meningkatkannya ke tahap penyidikan dan menetapkan tersangka.

Pada kesempatan itu, Taufiq, menyatakan KPK menyambut baik hasil temuan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Langkah kami diperkuat hasil temuan KPPU. Hasil temuan KPPU sangat membantu dan mempermudah kerja kami, pungkas Taufiq.

Sementara itu, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh memerintahkan Jaksa Agung Muda (JAM) Intelijen dan JAM Pidana Khusus untuk menangani kasus penjualan dua kapal tanker jenis VLCC milik Pertamina yang diduga merugikan negara USD 20-56 juta.

Saya sudah mendengar laporan tersebut. Saya sudah memerintahkan JAM Intelijen dan JAM Pidsus untuk menangani kasus tersebut, kata Arman, panggilan akrab Jaksa Agung, kepada pers di gedung Kejagung, Jakarta, kemarin.

Pada bagian lain, JAM Pidsus Sudhono Iswahyudi mengatakan, Kejagung akan berkoordinasi dengan KPK untuk menangani kasus tersebut.

Mengenai pencekalan terhadap Direktur Keuangan Pertamina Alfred Rohimone, Sudhono menyatakan akan dilakukan tindakan hukum apa pun, tetapi sebelumnya harus mempunyai bahan awal untuk menentukan sikap. Sekali lagi, masalah ini akan kita koordinasikan dengan KPK, pungkas Sudhono.

Laks: Jangan Politis
Pernyataan KPPU yang memutuskan terjadi persekongkolan yang merugikan negara USD 20 juta sampai USD 56 juta atas penjualan 2 unit VLCC, mendapat reaksi keras dari Laksamana Sukardi. Mantan menteri negara BUMN itu mengaku perlu memberikan klarifikasi karena jabatannya yang signifikan saat tanker itu dijual.

Menurut Laksamana, tidak ada indikasi atau sengaja melakukan persekongkolan dengan Frontline Ltd (pembeli), Goldman Sachs (financial advisor dan arranger), serta Equinox (broker) dalam proses divestasi VLCC berbobot 260 ribu DWT itu.

Yang benar saja. Temuan dan tuduhan adanya konspirasi atau persekongkolan itu tidak mendasar. Itu lebih banyak muatan politisnya, terang Laksamana kepada koran ini.

Artinya, menurut Laksamana, dalam memutuskan perkara, KPPU, KPK, atau pihak-pihak yang memeriksa penjualan tanker Pertamina seharusnya mengedepankan aspek legal (hukum), bukan pendekatan politis.

Hukum harus di atas politik. Jangan sampai hukum jadi alat politik. Ini yang harus diperjelas, katanya. Karena itulah, Laksamana yang menjadi menteri di era Megawati Soekarnoputri itu menyatakan telah menyiapkan dokumen untuk menjelaskan kronologi ihwal penjualan tanker itu. Saya sedang menyiapkan semua dokumen legal. Ini masalah hukum, bukan politis, tuturnya.(ton/sor/yun/agm)

Sumber: Jawa Pos, 8 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan