Di Garut APBS itu Partisipatif...
Intan, melongok keluar ketika saya mulai membidikkan kamera. Bukan lewat jendela. Kepala mungilnya menerobos dinding kelas yang bolong melompong.
Bangunan sekolah yang dihuni Intan bersama 136 siswa SDN Haurkuning 03, Kecamatan Cisompet, Kabupaten Garut, tidak layak pakai. Dindingnya jebol, atap tanpa eternit, lantai mengelupas, anyaman bambu pembatas ruangan compang-camping, tiang penyangga keropos. Debu beterbangan di dalam kelas.
Kondisi ruang kelas 1, 2 dan 3, di deret bangunan belakang, memprihatinkan. Dimakan usia dan minim perawatan, bangunan yang didirikan pada 1982 itu tampak ringkih. Pun, ruangan yang itu masih harus dipakai bergantian, dibagi pershift antara siswa kelas 1 dan 2. Ruang kelas di ujung bangunan yang sedianya untuk kelas 1, sama sekali tidak dapat digunakan.
Tiga unit ruang kelas plus satu ruang kecil untuk kantor guru berada di bangunan terpisah. Kondisinya tak jauh berbeda; kotor dan berdebu. Jendela pecah, eternit rubuh, dinding kumuh, buku-buku pelajaran dan perangkat praktik bertumpuk di pojok. Ada meja bola pingpong di belakang tempat duduk siswa. "Tidak ada lagi ruangan tersisa," kata Sumpena, guru SDN Haurkuning, Sabtu (17/3/2012).
Bangunan di deret depan itu baru berdiri pada 2008. Sayang, unit yang dibangun dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) itu tak terawat baik pascagempa yang mengguncang Garut dan Tasikmalaya, pada 2010. Retakan di dinding belum diperbaiki, jendela yang hancur tak kunjung diganti.
Padahal, setiap tahun, sekolah menerima dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah pusat sekitar Rp 80 juta. APBN 2011 juga mengalirkan Rp 33.048.000 lewat program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT AS). Ditambah lagi, Bantuan untuk Siswa Miskin (BSM) senilai Rp 360 ribu persiswa pertahun.
Kemana perginya dana ratusan juta itu? Tidak pernah ada yang tahu, selain kepala sekolah.
Anggota komite sekolah SDN Haurkuning 03, Suherman, mengatakan, Kepala Sekolah sangat tertutup dalam pengelolaan anggaran sekolah. Komite sekolah tidak dilibatkan dalam penyusunan Rencana Anggaran Penerimaan dan Belanja Sekolah (RAPBS). "Bahkan saya tidak tahu berapa jumlah dana BOS yang diterima sekolah. Saya tanya ke kepala sekolah tidak dijawab," kata Suherman.
Penyusunan RAPBS idealnya dilakukan bersama-sama antara kepala sekolah, guru, komite sekolah, dengan melibatkan orangtua siswa dan masyarakat sekitar. Disusun secara partisipatif, pengelolaan anggaran lebih transparan dan bermanfaat maksimal. Semua pihak terlibat dalam mengatur dana yang masuk, disesuaikan dengan kebutuhan sekolah. Ketika dana tidak cukup, bagaimana kemudian mereka mencari alternatif solusinya. Sekolah, pada akhirnya, dimiliki dan dirawat bersama-sama.
Indonesia Corruption Watch (ICW) bekerjasama dengan Garut Goverment Watch (GGW), dengan didanai donasi supporter ICW, menggelar pelatihan penyusunan APBS Partisipatif di 28 sekolah di Kabupaten Garut. Pelatihan dilakukan lima kali di setiap sekolah, mulai sosialisasi, berlatih membaca dan menyusun anggaran, hingga rencana aksi. "Pada akhirnya masyarakat yang harus bergerak sendiri untuk melakukan perubahan. Kami hanya memfasilitasi dan mengaktivasi gerakan," ujar sekjen GGW Agus Rustandi.
APBS Partisipatif, mengajak masyarakat peduli dengan kondisi sekolah, sekaligus mendorong transparansi anggaran. Transparansi mencegah peluang terjadinya korupsi. Farodlilah