Di Balik Pembebasan Tugas Puteh [21/07/04]
Dengan alasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 22/1999) tidak mengatur masalah nonaktif bagi kepala daerah, Presiden Megawati Soekarnoputri akan melakukan pembebasan tugas sementara terhadap Abdullah Puteh sebagai Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam. Langkah ini dilakukan untuk memperlancar proses pemeriksaan Puteh sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus pembelian helikopter Mi-2 buatan Rusia.
Menurut Sekretaris Negara/Sekretaris Kabinet Bambang Kesowo, untuk pembebasan tugas Puteh akan diterbitkan tiga instruksi presiden dalam waktu dekat. Pertama, instruksi kepada Gubernur NAD Puteh untuk menaati dan memenuhi jadwal pemeriksaan KPK. Berikutnya, instruksi kepada Wakil Gubernur NAD untuk melaksanakan tugas gubernur selama Puteh menjalani pemeriksaan KPK. Terakhir, instruksi kepada Menko Polkam selaku Ketua Badan Pelaksana Harian Darurat Sipil Pusat untuk melaksanakan tugas dan kewenangan gubernur selaku penguasa darurat sipil daerah (Kompas, 20/7).
Tindakan pembebasan tugas ini dilakukan oleh Presiden sebagai respons atas perintah KPK untuk memberhentikan sementara Puteh sebagai Gubernur NAD. Sebagaimana diketahui, berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 30/2002) bahwa dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan KPK berwenang memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya.
Hari-hari sebelum langkah pembebasan tugas ini dilakukan, berkembang perdebatan tentang rencana pemberhentian sementara Puteh sebagai Gubernur NAD. Presiden Megawati, misalnya, dalam debat terbuka yang diadakan Komisi Pemilihan Umum secara tegas setuju untuk menonaktifkan Puteh. Tetapi, kemudian Megawati mementahkan sendiri penegasan itu dengan alasan tidak ada istilah nonaktif bagi kepala daerah. Apalagi Direktur Jenderal Otonomi Daerah Depdagri Oentarto Sindung Mawardi menyatakan, pemberhentian sementara Puteh baru dapat dilakukan setelah ada usulan dari DPRD.
Kalau dibaca dengan teliti, UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah memang tidak mengatur masalah pemberhentian sementara bagi kepala daerah. Berdasarkan ketentuan Pasal 49-54 UU No. 22/1999, terdapat tiga bentuk pemberhentian kepala daerah (Saldi Isra, Koran Tempo, 24/1/2002).
Pertama, pemberhentian karena kepala daerah (1) tidak lagi memenuhi persyaratan-persyaratan untuk dapat diangkat sebagai kepala daerah, (2) melanggar sumpah/janji sebagai kepala daerah, (3) melanggar ketentuan turut serta dalam suatu perusahaan, membuat keputusan yang menguntungkan diri pribadi, keluarga, dan kroni yang secara nyata merugikan kepentingan umum, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat mempengaruhi keputusan dan tindakan sebagai kepala daerah, dan menjadi advokat dan kuasa hukum, dan (4) mengalami krisis kepercayaan publik yang luas akibat kasus yang melibatkan tanggung jawabnya, dan keterangan kepala daerah atas kasus itu ditolak oleh DPRD.
Jika tindakan atau perbuatan kepala daerah memenuhi alasan-alasan di atas, DPRD dapat melakukan persidangan untuk memberhentikan kepala daerah. Menurut ketentuan Pasal 50 ayat (2) UU No. 22/1999, keputusan pemberhentian dapat dilakukan apabila persidangan dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota yang hadir. Kemudian, hasil proses politik di DPRD ini disahkan oleh presiden.
Kedua, pemberhentian langsung oleh presiden apabila kepala daerah terbukti melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun atau lebih, atau diancam dengan hukuman mati sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pemberhentian itu baru dapat dilakukan setelah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht vangewijsde).
Ketiga, pemberhentian karena adanya penolakan terhadap laporan pertanggungjawaban kepala daerah. Cara ini dilakukan dengan proses politik yang lebih panjang. Kalau laporan ditolak, DPRD harus memberi kesempatan kepada kepala daerah untuk memperbaiki laporan pertanggungjawaban dalam jangka waktu paling lama 30 hari. Perbaikan itu dibahas lagi dalam sidang paripurna DPRD. Kalau sekiranya masih ada keberatan dan tetap menolak laporan yang telah diperbaiki, DPRD dapat mengusulkan pemberhentian kepala daerah kepada presiden.
Kalau diletakkan dalam kerangka UU No. 22/1999, secara jujur harus diakui, tidak ada ketentuan tentang pemberhentian sementara atau penonaktifan bagi kepala daerah. Namun, itu tidak berarti konstruksi hukum tentang pemberhentian sementara tidak ada. Misalnya, Pasal 25 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah yang mengatur apabila gubernur dan atau wakil gubernur berstatus sebagai terdakwa, presiden memberhentikan sementara gubernur dan atau wakil gubernur dari jabatannya.
Lalu, apakah, dengan demikian, pembebasan tugas Puteh dapat dikatakan sebagai langkah yang tepat? Meski pemberhentian sementara dan pembebasan tugas sama-sama tidak diatur dalam UU No. 22/1999, tindakan yang seharusnya dilakukan oleh Presiden Megawati adalah memberhentikan sementara Puteh sebagai Gubernur NAD. Alasan hukum untuk melakukan pemberhentian sementara adalah berdasarkan perintah Pasal 12 ayat (1) huruf e UU No. 30/2002. Dengan dasar itu, kekosongan aturan pemberhentian sementara yang terdapat dalam UU No. 22/1999 dapat ditutupi dengan UU No. 30/2002. Apalagi, kehadiran UU No. 30/2002 harus dilihat sebagai aturan khusus (lex specialis derogat legi generalis) dalam menangani kasus korupsi.
Alasan lain yang jauh lebih mendasar, secara hukum pembebasan tugas dan pemberhentian sementara punya konsekuensi yang sangat berbeda. Pembebasan tugas tidak secara otomatis hilangnya posisi Puteh sebagai Gubernur NAD. Dengan langkah yang dilakukan Megawati, Puteh tetap saja sebagai gubernur, tetapi untuk sementara tugas-tugasnya dilaksanakan oleh orang lain. Setidaknya, instruksi presiden kepada Wakil Gubernur NAD cukup dijadikan bukti bahwa pembebasan tugas hanya berlangsung selama proses pemeriksaan di KPK.
Berbeda dengan pembebasan tugas, pemberhentian sementara punya konsekuensi hilangnya posisi Puteh sebagai Gubernur NAD. Dengan posisi demikian, selama masa pemberhentian sementara, Puteh akan kehilangan hak untuk menggunakan semua fasilitas publik yang terkait dengan jabatannya. Di samping itu, pemberhentian sementara harus dijalani sampai proses hukum berakhir.
Berdasarkan penjelasan di atas, langkah Megawati melakukan pembebasan tugas sementara Puteh dapat dikatakan sebagai upaya menyelamatkan Puteh. Bisa saja, semua ini dilakukan Megawati sebagai bagian dari skenario menghadapi pemilihan presiden putaran kedua. Bukankah Puteh adalah salah seorang kader Partai Golkar?(Saldi Isra, Analis dan Dosen Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang)
Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 21 Juli 2004