Di Balik Dinding Istana
"Mendorong tronton mogok”. Terasa sangat sulit mengharap ketegasan dan keseriusan pemerintahan Presiden SBY dalam pemberantasan korupsi. Mari kita lihat sikap Presiden terhadap kembali bergejolaknya relasi KPK-Polri setelah KPK menyidik indikasi korupsi di Korps Lalu Lintas Polri. Awalnya, pada pidato 8 Oktober 2012 kita mulai menemukan ketegasan sikap Presiden. Namun, sayang, pidato itu jadi terkesan tak berwibawa ketika dalam realita masih ditemukan pergesekan berkepanjangan Polri dan KPK. Sebutlah gugatan Korlantas Polri terkait penyitaan alat bukti, penarikan penyidik yang sedang menangani kasus korupsi, dan bahkan proses kriminalisasi terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan, yang belum berhenti hingga kini. Di mana Presiden SBY?
Dinding Istana
Salah satu persoalan yang disinggung dalam pidato 8 Oktober adalah tarik-menarik penyidik KPK yang bertugas di Polri. ”Saya akan segera mengeluarkan peraturan pemerintah yang tepat, baik untuk KPK dan kemudian juga baik untuk Polri”, demikian diungkapkan Presiden. Peraturan dimaksud adalah PP No 63/2005 tentang SDM KPK. Presiden ingin merevisi sejumlah pasal. Dua bulan berselang, revisi PP yang dijanjikan tak kunjung ada.
Yang terjadi justru tarik-menarik di tingkat kementerian. Kementerian PAN keberatan dengan perpanjangan masa tugas pegawai dan penyidik KPK. Angka 8 tahun sebagai masa tugas maksimal sempat muncul dari seorang utusan kementerian ke KPK, seperti diungkapkan seorang pemimpin KPK di media massa.
Padahal, tanpa direvisi pun masa tugas maksimum pegawai KPK di PP 63 sudah 8 tahun. Dan, jika ini sempat terjadi, KPK akan lumpuh. Betapa tidak, 45 pelaksana tugas selain polisi dan jaksa akan berhenti dari lembaga ini. Padahal, mereka orang-orang andal yang bertugas di bagian pengaduan masyarakat, penyelidikan, dan bagian sentral lain di KPK.
Hingga akhir 2012, KPK mengungkapkan setidaknya 31 penyidik KPK telah ditarik Mabes Polri dan 13 lain terancam ditarik. Jika ini terus terjadi, sementara Presiden tetap ”bersembunyi” di balik dinding istana, niscaya Maret 2013 KPK akan kehabisan penyidik dari Polri. KPK akan lumpuh. Koruptor akan bersorak-sorai.
Padahal, KPK sedang memulai penyidikan skandal dana talangan Bank Century Rp 6,7 triliun, indikasi korupsi Hambalang dengan proyek Rp 2,5 triliun dengan tersangka terbaru menteri aktif dari Partai Demokrat, proyek pengadaan Al Quran yang menjerat politisi Golkar, sederet kasus mantan Bendahara Demokrat, Nazaruddin, mafia anggaran, dan kasus lain.
Hal itu tentu tak boleh dibiarkan. Ada dua hal yang harus dilakukan KPK. Pertama, memperjuangkan 28 penyidik yang alih status jadi pegawai tetap KPK dan kedua, mengangkat penyidik KPK di luar polisi dan jaksa. Dua tugas berat KPK ini tentu akan menghadapi perlawanan dari pihak yang tak ingin KPK kuat.
Untuk poin pertama, sikap Presiden tampak mendua. Selain revisi PP No 63 ternyata tak mengatur lebih lanjut alih tugas ini, dukungan politik terhadap 28 penyidik yang telah diangkat menjadi pegawai tetap KPK pun nyaris tak terdengar. Presiden cenderung kompromistis dengan mengatakan, ”Saya akan lakukan hal yang baik untuk KPK, baik juga untuk Polri.” Sebuah utopia ketika ada indikasi perlawanan balik saat KPK menangkap seorang jenderal dalam kasus dugaan korupsi.
Padahal, aturan hukum di Pasal 7 PP No 63/2005 jelas mengatur. Pegawai negeri yang dipekerjakan, termasuk penyidik Polri dapat beralih status menjadi pegawai tetap KPK, dan jika mereka sudah diangkat, ia diberhentikan dengan hormat sebagai PNS. Artinya? Menjadi kewajiban Polri memberhentikan dengan hormat penyidik itu dan mereka bisa bertugas maksimal di KPK. Kita tahu, Polri menolak patuh pada PP No 63 dengan alasan, para penyidik harus mengundurkan diri terlebih dahulu. Apa dasar hukumnya? Tak jelas.
Alih Status
Selain PP No 63/2005, ada dua aturan lain yang patut ditinjau, yaitu PP No 15/2001 yang diubah tiga kali menjadi PP No 8/2010 tentang Pengalihan Status Anggota TNI dan Anggota Polri menjadi PNS Jabatan Struktural; dan PP No 1/2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri. Dua aturan hukum itu yang sering dikutip para petinggi Polri terkait alih status penyidik KPK.
Dengan membandingkan ketiga peraturan, ternyata yang berlaku dalam kasus ini hanya PP No 63/2005 tentang SDM KPK. Sebab, memang peraturan ini satu-satunya yang membahas KPK, sementara dua lainnya tidak. PP No 15/2001 tentang Alih Status Anggota Polri tak bisa menjangkau KPK karena yang dapat beralih status adalah anggota Polri untuk jabatan struktural. Penyidik di KPK tak termasuk jabatan struktural sebagaimana dijelaskan PP No 100/2000 yang mengatur khusus pengangkatan PNS dalam jabatan struktural. Pegawai KPK bukan PNS. Apalagi, KPK tak termasuk 10 instansi sipil yang disebut oleh perubahan ketiga PP Alih Status Polri dan TNI itu.
Bagaimana dengan PP No 1/2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri? Bukankah jika PP SDM KPK mengatakan penyidik harus diberhentikan dengan hormat, konsekuensi hukumnya berlaku syarat pemberhentian di PP No 1/2003 ini? Tidak. Pertama, ruang lingkup alasan pemberhentian dengan hormat di PP ini hanya empat, salah satunya yang paling dekat adalah alasan ”pertimbangan khusus kepentingan dinas”. Dari uraian Pasal 7 PP No 1/2003, ini tak bisa berlaku pada pegawai KPK. Karena pemberhentian anggota Polri di sini adalah untuk dinas yang beralih-status jadi PNS seperti mengacu pada PP No 15/2001. Dua peraturan ”internal” Polri ini tak berlaku untuk alih status penyidik di KPK menjadi pegawai tetap.
Singkatnya, kausalitas ”pengangkatan menjadi pegawai tetap KPK” di PP No 63/2005 haruslah ditempatkan sebagai salah satu alasan khusus lain untuk pemberhentian dengan hormat. Dan, hal ini berlaku mutatis mutandis, tanpa harus mengundurkan diri terlebih dahulu.
Begitulah penjelasan sederhana ”kemelut hukum” penyidik KPK dan kebutuhan nyata dukungan pemerintah terhadap kerja KPK. Jangan sampai karena KPK sedang menangani indikasi korupsi Century dan baru saja menetapkan kader ”kesayangan” Demokrat, Andi Mallarangeng sebagai tersangka, ada keengganan Presiden sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat mendukung KPK.
Febri Diansyah, Pegiat Antikorupsi, Peneliti Hukum ICW
Tulisan ini disalin dari Kompas, 13 Desember 2012