Desentralisasi: Maju Terus, Pantang Korupsi
Masalah desentralisasi akhir-akhir ini kembali mencuat ke permukaan sehubungan dengan pidato Presiden di depan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pekan lalu, yang akan meninjau kembali pelaksanaan desentralisasi, khususnya menata ulang daerah pemekaran yang bermunculan dalam lima tahun terakhir di berbagai wilayah di Indonesia. Berbagai reaksi muncul menanggapi pidato Presiden yang mengejutkan pejabat daerah itu, terutama bagi daerah pemekaran yang kini jumlahnya hampir 1/3 (144 kabupaten dan 27 kota) dari seluruh kabupaten di Indonesia (440 kabupaten).
Pidato Presiden itu perlu kita cermati, terutama implikasinya terhadap kebijakan desentralisasi, buah gerakan reformasi yang sudah berumur hampir lima tahun itu. Kita patut bertanya pada keinginan pemerintah pusat di balik pernyataan itu. Informasi mengenai daerah pemekaran sendiri sangat minim, bahkan sampai sekarang boleh dibilang belum ada studi khusus tentang itu. Termasuk di kalangan pejabat dan instansi pemerintah, belum banyak laporan yang memadai soal itu. Lalu mengapa daerah pemekaran ditata ulang, apa dasar pertimbangan kebijakan itu, apakah ada keinginan pusat untuk kembali memperkuat kontrolnya pada daerah.
Seperti kita tahu, sejak desentralisasi digulirkan, dengan keputusan UU No 22/1999 dan direvisi dalam UU No 32/2001, otoritas kebijakan publik telah ditransfer secara besar-besaran dari pusat ke daerah. Dengan itu, berbagai kebijakan penting menyangkut hajat hidup rakyat kini ada di tangan pemerintah daerah. Di sisi lain, menyusul kebijakan itu, muncul daerah-daerah pemekaran baru, yang membuka akses baru bagi rakyat dan di daerah bersangkutan untuk menikmati sumber-sumbernya penting, baik dari pusat maupun daerahnya.
Pelaksanaan desentralisasi sendiri sejauh ini dinilai banyak pihak telah menyimpang. Bahkan sementara kalangan elite politik ada yang berkeinginan untuk mengerem laju desentralisasi karena dinilai kebablasan dan kembali ke sentralisasi. Tetapi, di mana letak penyimpangannya dan apakah perlu kita kembali ke sentralisasi? Pertanyaan ini penting kita ajukan di sini agar kita tidak salah dalam mengambil kebijakan yang sangat menentukan hajat hidup rakyat banyak itu.
Sebenarnya kebijakan untuk menggulirkan desentralisasi itu sudah pada jalur yang benar. Selain kita tidak mungkin menyerahkan pelayanan publik di negeri ini sepenuhnya kepada pemerintah pusat, desentralisasi juga mendorong demokratisasi dan perbaikan pelayanan publik lebih dekat ke rakyat. Mereka yang ragu terhadap desentralisasi umumnya berpendapat desentralisasi akan mendorong disintegrasi nasional. Tetapi, dalam banyak kasus kita justru menemukan desentralisasi menjadi obat penawar daerah untuk tidak memisahkan diri, seperti dalam kasus Riau, Aceh, dan Papua, dan daerah-daerah kaya sumberdaya alam lainnya.
Persoalan utama desentralisasi bukan terletak pada perlu tidaknya desentralisasi, yang ujung-ujungnya lebih mengarah kembali ke sentralisasi. Tetapi, lebih pada pelaksanaannya yang selama ini memang terjadi banyak distorsi. Disinyalir banyak kalangan desentralisasi telah melahirkan elite kaya baru di daerah, raja-raja kecil (big boses), oligarki dan korporatisme lokal (Vedy R, Hadiz, 2003; Tornguist, 2005). Desentralisasi yang mestinya bisa digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah, ternyata hanya ditangkap oleh sekelompok elite lokal, dengan segala penyalahgunaan wewenang dan praktik korupsi yang marak selama ini. Kalau di zaman Orde Baru korupsi hanya terkonsentrasi di pusat, dalam bingkai kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN), kini justru telah menyebar ke seluruh daerah di Indonesia.
Maraknya wabah korupsi ini bukan hanya semata masalah perilaku menyimpang pejabat di daerah, tetapi lebih bersumber secara sistemik dari tidak jelasnya arah kebijakan desentralisasi. Dilihat dari aliran dana, misalnya yang seringkali menjadi sumber peluang terjadinya korupsi, kontrol pemerintah pusat terhadap daerah masih sangat dominan. Proporsi sumber dana keuangan daerah terlihat sebagian besar (rata-rata sekitar 75%) masih tergantung pada pusat; dari dana perimbangan pusat-daerah (DAU dan DAK). Sementara, proporsi dana dari PAD masih sangat kecil (rata-rata sektiar 7%). Di sisi lain, dilihat dari alokasi dana yang ada, hanya sekitar 25% saja digunakan untuk belanja pembangunan daerah, sementara sekitar 57% digunakan untuk belanja rutin menggaji pegawai, yang dulunya menjadi tanggung jawab pusat.
Hal itu, selain menunjukkan rendahnya kapasitas daerah untuk menyelenggarakan pembangunan, juga tingginya ketergantungan daerah pada pusat. Korupsi di daerah muncul karena ketergantungan dan peluang yang dicipta aliran dana ini. Karena itu, kita tidak bisa melihat korupsi ini sebagai produk daerah semata, tetapi juga produksi sistem yang diciptakan pemerintah pusat. Karenanya pemerintah pusat seharusnya juga ikut bertanggung jawab. Dana dikorupsi bukan hanya oleh pejabat daerah, tetapi juga oleh pejabat pusat yang mengendalikan dan mengontrol aliran dana itu.
***
Bila kecenderungan ini tidak segera distop dengan langkah terobosan kebijakan strategis, berkah desentralisasi itu akan menguap hilang begitu saja. Rakyat akan kehilangan kesempatan emas mendapat peluang politik dan ekonomi yang diciptakan oleh desentralisasi untuk kesejahteraan mereka.
Melihat sumber persoalannya, kita tidak bisa menyalahkan desentralisasi sebagai sumber masalah, terlebih menuding masyarakat daerah sebagai pihak yang serba salah, sementara pemerintah cuci tangan lepas dari tanggung jawab. Dengan itu, kembali ke p usat atau sentralisasi juga bukan solusi yang tepat. Bahkan dalam konteks sekarang kembali ke sentralisasi boleh dikata ide gila, sebagai spekulasi politik from zero to nothing. Selain dengan itu buah desentralisasi yang kita perjuangkan selama lima tahun akan hilang musnah begitu saja, sentralisasi juga belum tentu membuahkan hasil yang kita harapkan.
Menjalankan politik big-bang seperti desentralisasi, dengan segala peluang dan tantangan yang ada, memang sebuah perjuangan politik panjang. Kalau di zaman perjuangan merebut kemerdekaan dulu kita mengenal pepatah maju terus pantang mundur. Demikian halnya dengan desentralisasi, kita harus maju terus. Tetapi, harus dengan pepatah baru maju terus, pantang korupsi, agar sumberdaya yang ada tidak hilang, dikorup, sehingga betul-betul membawa berkah bagi rakyat di daerah.
Kita perlu mendorong desentralisasi ini lebih terdesentralisasi lagi, ke kabupaten ke bawah, disertai dengan penguatan kelembagaan dan pendalaman demokratisasi (deepening democracy) di berbagai ranah sosial kemasyarakatan di daerah. Sementara, di satu sisi, kebijakan pemerintah daerah perlu lebih diturunkan lagi ke bawah (scaled down), sehingga mampu menangkap aspirasi yang berkembang dari bawah. Di sisi lain, kapasitas sipil perlu ditingkatkan lebih ke atas (scale up) agar semakin mengontrol dan menangkap peluang yang diciptakan oleh desentralisasi. Dua sisi perbaikan ini akan meningkatkan kapasitas daerah untuk mengatasi penyalahgunaan wewenang, distorsi kebijakan, dan wabah korupsi di daerah. q - o
Lambang Trijono, Dosen Fisipol UGM, Direktur Lembaga PADII (Peace and Development Initiatives Indonesia), Yogyakarta.
Tulisan ini disalin dari Kedulatan Rakyat, 7 September 2006