In-Depth Analysis: TGPF Novel Harus Segera Dibentu
Penyelidikan kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan belum menemukan titik terang. Hingga hari ke-114 penyelidikan, Polri belum berhasil mengungkap para pelaku penyiraman air keras ke wajah Novel, yang terjadi pada Selasa, 11 April lalu. Akibat serangan tersebut, Novel harus dirawat di Singapura untuk memulihkan matanya yang terluka parah.
Novel sendiri telah mengumpulkan semua informasi yang menguatkan dugaan keterlibatan seorang jenderal polisi dalam upaya pengaburan barang bukti kasus penyiraman air keras terhadap dirinya. Novel memang tak berencana menyerahkan bukti tersebut ke penyidik kepolisian. “Menemukan pelaku lapangan yang menyerang saya saja tidak bisa, bagaimana ini yang lebih besar,” ujarnya. Ia akan memberikan seluruh informasi apabila telah dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) independen.
Ketidakpercayaan Novel terhadap polisi untuk dapat menuntaskan kasusnya sangat kuat, meskipun Presiden Joko Widodo melalui Kapolri Jendral Tito Karnavian mengatakan bahwa pemerintah akan membentuk tim investigasi gabungan KPK dan polisi. Novel melihat bahwa tim gabungan ini tidak berbeda dengan sebelumnya. Adanya rencana kerja sama antara KPK dan Polri ditengarai bukan karena masalah penyiraman itu saja. Menurut dugaan Novel, ada kemungkinan Kapolri memiliki bukti atau mendapat informasi bahwa ada jenderal atau aparat dibawahnya yang menerima suap untuk mengaburkan barang bukti atau menghambat upaya pengungkapan pelaku penyerangan terhadap dirinya. Sementara itu, suap adalah bentuk kejahatan korupsi yang menjadi domain dari tugas-tugas KPK.
Publik tentu berharap penyelesaian kasus Novel harus menjadi perhatian Presiden dan para pemimpin di negeri ini. Karena sebelum mencuatnya kasus ini, Novel telah mendapatkan teror beberapa kali. Sebenarnya teror ini bukan hanya dialami ia seorang, penyidik lainnya pun mendapat serangan teror dari berbagai kasus yang ditanganinya.
Harapannya, kasus Novel adalah kasus yang terakhir yang menimpa para penyidik KPK, terutama karena mereka sedang bekerja untuk menjalankan tugas sebagai abdi negara, yakni memberantas korupsi yang masih menjadi momok negeri ini.
Di sisi lain, Kapolri Jendral Tito Karnavian tampak menghindari pembahasan terkait kasus teror penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan. Ia memilih pergi ketika dihampiri para peliput di lingkungan Markas Besar Polri, Jakarta Selatan, kemarin (1/8). Menanggapi perilaku Tito tersebut, pengamat kepolisian Bambang Rukminto menilai sang Kapolri mengalami dilema dalam menuntaskan penyidikan kasus Novel. Menurutnya, komposisi pejabat di tubuh Polri menjadi halangan Tito untuk menuntaskan penyidikan kasus yang terjadi pada 11 April 2017 ini. Bambang menuturkan, Tito akan mengalami kesulitan untuk menjalin kerja sama untuk menuntaskan kasus ini.
Jelas sudah ada beberapa kondisi yang membuat publik kehilangan kepercayaan kepada Polri untuk menuntaskan kasus Novel. Mau tidak mau, Polri harus dibantu oleh kekuatan lain di luar yang dapat mengakselerasi kerja pengungkapan kasus Novel melalui mekanisme TGPF. Mengingat kasus Novel sudah berjalan hampir 120 hari tanpa ada perkembangan berarti, Presiden semestinya mengeluarkan keputusan Presiden untuk membentuk TGPF yang didalamnya melibatkan berbagai pihak. TGPF penting artinya untuk mengungkap dengan cepat teror terhadap Novel karena ada indikasi kuat adanya keterlibatan petinggi Polri yang menyebabkan Polri kesulitan penuntasan kasus tersebut. Dalam menjalankan tugasnya, TGPF harus diawasi langsung oleh Presiden. Serta selain melibatkan tim ahli, perlu juga melibatkan masyarakat sipil, agar kredibilitasnya lebih kuat dan dapat diterima oleh publik.*** (Liska/Adnan)