In-Depth Analysis: Soeharto, Korupsi, dan Gelar Pahlawan Nasional

Kontroversi seputar Soeharto seakan sirna seiring dengan kematiannya pada 2008 silam. Selama hidup, ia adalah tokoh internasional, dengan berbagai macam reputasi, termasuk sebagai pemimpin yang dikenal otoriter. Disebut demikian karena dunia internasional membicarakan dirinya dan masyarakat ilmiah dari berbagai penjuru dunia menelitinya. Tak kurang majalah Time yang berbasis di New York, USA pernah mengupas indikasi korupsi yang dilakukan Soeharto beserta estimasi kekayaan sebesar US$ 15 miliar dalam bentuk properti, uang tunai, perhiasan, benda antik, dan pesawat jet pribadi.

Selain Time, dugaan praktek korupsi Soeharto dan anak-anaknya juga disorot oleh harian Independent yang berbasis di UK. Pada 1996, harian ini mengupas bagaimana skala korupsi pada era Orde Baru terjadi, dan beberapa contoh pemberian fee proyek raksasa yang melibatkan perusahaan internasional.

Meskipun demikian, desakan di dalam negeri agar pengadilan terhadap Soeharto dilakukan, terutama untuk membongkar kejahatan korupsi keluarga dan kroninya tak berbuah manis. Memang terdapat bukti bahwa langkah politik telah ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada pemerintahan transisi Habibie, dengan lahirnya Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN dimana pasal 4 dinyatakan perintah untuk menangani korupsi, termasuk kepada Soeharto, keluarga maupun kroninya. Akan tetapi gerak hukum Gedung Bundar (Kejaksaan Agung) sangatlah lamban –untuk tidak mengatakan macet–. Hingga akhir hayatnya, Soeharto tidak pernah bisa diadili dalam kasus korupsi.

Meski kematiannya sudah berumur 8 tahun, akan tetapi pengaruh politiknya, khususnya di partai Golkar tetap mengakar, terutama karena kehadiran putra-putrinya sebagai pengurus. Paska Munaslub Golkar, Ketua Umum terpilih, Setya Novanto langsung mengutarakan keinginannya untuk menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Usulan ini sejatinya sudah berkali-kali diajukan, akan tetapi mendapatkan penolakan dari beberapa kalangan.

Disadari atau tidak, usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto justru kembali mengingatkan publik atas berbagai macam pekerjaan rumah negara untuk meluruskan berbagai kontroversi Orde Baru yang hingga kini tidak selesai. Deretan kasus pelanggaran berat HAM dan penyelesaian perkara mega korupsi era Orde Baru tak ada satupun yang dituntaskan. Bahkan anak-anak Soeharto dan kroni masih bisa menikmati semua sumber daya yang mereka dapatkan selama Soeharto berkuasa. Hukum tak pernah serius untuk mengungkap dan menginvestigasi kejahatan korupsi yang pernah terjadi di masa lalu.***

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan