In Depth Analysis: Proses Hukum Keponakan Ketua MA
Dari sekian banyak perkara korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan, proses hukum atas perkara yang melibatkan La Nyalla Mataliti - Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) - adalah yang paling alot dan banyak mendapat perhatian publik. La Nyalla ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur sejak maret 2016 dalam perkara korupsi dan pencucian uang dana hibah KADIN Jawa Timur pada 2011-2014 yang merugikan uang negara senilai Rp 5,3 miliar.
Namun menjerat La Nyalla sebagai tersangka kasus korupsi bukanlah perkerjaan mudah karena mendapatkan perlawanan dari mantan ketua KADIN Jawa Timur ini. Upaya Kejati Jawa Timur menetapkan sebagai tersangka korupsi akhirnya dimentahkan oleh kubu La Nyalla dengan mengajukan permohonan praperadilan dan dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Surabaya sebanyak tiga kali berturut yaitu pada bulan Maret, April dan Mei 2016 lalu. Bahkan dalam status sebagai burononan kejaksaan pun – karena diduga kabur ke Singapura- permohonan La Nyalla tetap dimenangkan.
Dari ketiga Putusan pra peradilan Pengadilan Negeri Surabaya dalam perkara La Nyalla, putusan yang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Mangapul Girsang pada Senin (23/5) lalu yang dinilai paling kontroversial. Hakim Mangapul tidak mempermasalahkan gugatan praperadilan yang diajukan atas nama putra La Nyalla, Muhammad Ali Affandi. Hakim tidak saja menyatakan penyidikan kepada La Nyalla tidak sah, namun upaya cegah tangkal (cekal) yang diberlakukan Kantor Imigrasi dan pemblokiran rekening Bank milik La Nyalla juga tidak sah.
Kekalahan jaksa hingga tiga kali berturut-turut di sidang praperadilan La Nyalla sebenarnya sudah diprediksi oleh pihak Kejati jawa Timur. Kepala Kejati Jawa Timur Maruli Hutagalung menduga dikabulkannya permohonan praperadilan yang diajukan La Nyala karena ada dugaan campur tangan “orang pusat”. Meski demikian Maruli enggan menyebutkan siapa yang dimaksud “orang pusat” tersebut.
Meski Maruli tidak menyebutkan siapa “orang pusat” yang melakukan intervensi yang memenangkan La Nyalla, namun banyak pihak yang menduga bahwa yang dimaksud adalah Ketua Mahkamah Agung (MA), Hatta Ali. La Nyalla diakui oleh Hatta Ali sebagai keponakannya, meski ia membantah melakukan intervensi dan meminta tidak dikaitkan dengan kasus hukum yang membelit La Nyalla.
Proses hukum terhadap La Nyalla Mataliti- keponakan Ketua MA – menarik untuk dicermati. Pertama, mekanisme praperadilan saat ini mulai massif digunakan oleh tersangka korupsi -termasuk La Nyalla – agar lepas dari proses hukum dan membatalkan statusnya sebagai tersangka. Praperadilan La Nyala tidak bisa dilepaskan dari putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2015 lalu yang memperluas objek pra peradilan sebagaimana yang selama ini diatur dalam Pasal 77 huruf (a) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Saat ini objek praperadilan tidak hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan, namun MK juga memperluas ranah praperadilan termasuk sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.
Upaya meloloskan diri dari proses hukum melalui mekanisme praperadilan perlu diwaspadai dan sudah tentu dapat menghambat upaya pemberantasan korupsi. Praperadilan saat ini sudah dianggap sebagai pengadilan “keempat” karena prosesnya seringkali menyimpang jauh cenderung masuk pada pemeriksaan pokok perkara dan melihat bukti-bukti yang harusnya menjadi kewenangan dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk memeriksa dan memutus perkara. Selain La Nyalla, tersangka korupsi lain yang juga lolos dari proses hukum melalui sidang praperadilan dan status tersangkanya dicabut adalah Komjen Budi Gunawan-saat ini Wakil Kapolri dan Hadi Purnomo, mantan Dirjen Pajak. Perkara korupsi yang melibatkan keduanya juga tidak dilanjutkan oleh KPK.
Kedua, dikabulkannya permohonan praperadilan dari tersangka yang melarikan diri– seperti ketika La Nyalla buron - dapat menjadi preseden yang buruk bagi upaya pemberantasan korupsi. Perkara ini dapat menjadi contoh dan membuka peluang bagi dikabulkannya permohonan praperadilan yang diajukan para pelaku korupsi yang melarikan diri. Jika permohonan dikabulkan dan statusnya sebagai tersangka dinyatakan tidak sah maka pelaku baru kembali sebagai orang bebas.
Menyikapi kedua hal tersebut maka agar proses peradilan terhadap keponakan Ketua MA berjalan fair dan mencegah politisasi maka sebaiknya KPK melakukan supervisi terhadap institusi Kejati Jawa Timur yang menangani perkara La Nyalla ini. Jika muncul adanya intervensi atau ketidakseriusan maka sebaiknya KPK tidak ragu untuk mengambil alih. Ketika akhirnya perkara La Nyalla dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor maka KPK dan juga Komisi Yudisial sebaiknya juga melakukan pemantauan terhadap hakim untuk memastikan bahwa nantinya akan lahir putusan yang seadil-adilnya. Pada sisi lain Ketua MA juga perlu menerbitkan Peraturan Mahkamah yang intinya agar hakim tidak mengabulkan permohonan yang diajukan oleh pemohon atau pelaku yang melarikan diri.***