In-Depth Analysis: Politik Uang dalam Pilkada

Politik uang masih menjadi masalah dalam penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah.  Walau ancaman sanksi bagi pelaku dan penerima makin berat, tapi masih banyak kandidat atau tim sukses yang mengandalkan uang untuk memenangkan persaingan.

Dalam Undang-undang 10 Tahun 2016 tentang Pilkada maupun Peraturan KPU 12 Tahun 2016 tentang kampanye, kandidat yang terbukti melakukan politik uang bisa didiskualifikasi. Sedangkan tim kampanye, anggota partai, relawan, dan pemilih, bisa terkena sanksi pidana berupa penjara dan denda.

Namun ancaman tersebut tak membuat banyak kandidat dan tim sukses bersaing secara adil. Terbukti dari hasil temuan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam Pilkada Serentak 2017. Setidaknya terjadi 600 kasus dugaan politik uang di 101 daerah yang menyelenggarakan pemilihan.

Politik uang merupakan istilah orang Indonesia berkaitan dengan vote buying dan fenomena yang terkait didalamnya.  Setidaknya ada empat unsur dalam politik uang yaitu, vote buying atau membeli suara, vote broker atau orang/kelompok orang yang mewakili kandidat untuk membagikan uang/barang, uang atau barang yang akan dipertukarkan dengan suara, serta pemilih dan penyelenggara pemilihan yang menjadi sasaran politik uang.

Berdasarkan pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), politik uang biasanya terjadi menjelang atau pada hari pemungutan suara. Itu sebabnya politik uang selalu diasosiasikan dengan ‘serangan fajar’. Bentuknya tidak cuma berupa uang, tapi bisa juga barang seperti sembilan bahan pokok, peralatan pertanian,  hingga voucher doorprice.

Dalam perkembangannya modus politik uang terus mengalami perbaikan. Jika sebelumnya kandidat atau tim pendukung hanya sekedar bagi-bagi uang atau barang dengan harapan pemilih akan terpengaruh tanpa bisa mengontrol pilihan pemilih. Kini, kandidat atau tim pendukung mulai memastikan uang atau barang yang mereka berikan dibarter dengan suara.  Caranya pemilih menunjukkan bukti bahwa mereka telah memilih si kandidat.

Selain pemilih, sasaran politik uang adalah penyelenggara pemilihan. Objek yang dipertukarkan suara pemilih dalam bentuk manipulasi daftar pemilih dan hasil pemilihan. Kandidat atau tim sukses memberi uang, barang, atau janji jabatan kepada penyelenggara.

Politik uang tidak hanya merusak proses pemilihan dan membuat persaingan menjadi tidak adil, tapi juga menjadi bibit munculnya korupsi di daerah. Kandidat kepala daerah akan menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan uang termasuk cara-cara haram seperti menerima sumbangan yang dilarang aturan atau obral izin dan memakai sumber daya negara terutama oleh petahana. Ketika berkuasa, bisa dipastikan mereka akan menggunakan kewenangannya untuk mengembalikan modal pemilihan atau membalas jasa para donaturnya.

Oleh karena itu, harus ada upaya serius untuk menghentikan politik uang. Dimulai dari perbaikan regulasi, antara lain terkait dengan jangka waktu kadaluarsa pelaporan. Selain itu, apabila politik uang dianggap sebagai bagian dari korupsi, penting dipertimbangkan untuk menggunakan Undang-undang tindak pidana korupsi untuk menjerat pelaku.

Sedangkan dalam jangka panjang, perbaikan tata kelola dan kaderisasi partai menjadi kebutuhan mendesak. Kandidat kepala daerah yang diusung  atas dasar pertimbangan kualitas dan integritas, bukan besarnya mahar politik. Begitu juga dengan warga sebagai pemilih. Mereka harus terus dididik agar paham bahwa Pilkada merupakan instrumen mereka untuk memilih calon kepala daerah terbaik.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan