In-Depth Analysis: Pemeriksaan Novel dan Harapan Publik
Seratus dua puluh lima hari telah berlalu sejak penyiraman air keras terhadap salah satu penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan. Senin (14/8) akhirnya Novel Baswedan diperiksa sebagai saksi korban kasus penyiraman air keras yang dialaminya.
Dalam pemeriksaan ini, Novel Baswedan mendapatkan 20 pertanyaan seputar kronologi kejadian sebelum dan sesudah penyerangan. Pemeriksaan ini dilakukan di Singapura, tempat Novel Baswedan menjalani pengobatan mata yang terkena air keras.
Saat dimintai keterangan, Novel Baswedan tidak sendirian. Ia ditemani oleh Pimpinan KPK, Agus Rahardjo dan Saut Situmorang. Tidak hanya oleh pimpinan KPK, Novel Baswedan juga ditemani oleh tiga kuasa hukumnya, Haris Azhar, Alghiffari Aqsa dan Yati Andriyani.
Pada saat proses pemeriksaan, Novel Baswedan menyatakan merasa kecewa atas penyidikan kasusnya. Salah satunya karena pihak kepolisian mempublikasikan saksi kunci dalam kasusnya. Alghiffari menjelaskan bahwa polisi seharusnya menjaga dan melindungi para saksi. Hal ini sangat penting agar saksi bisa memberikan kesaksiannya dengan benar dan merasa aman.
Kekecewaan Novel pun tidak selesai sampai di sana. Novel menyayangkan bahwa pihak kepolisian tidak bisa menemukan sidik jari pelaku, padahal ini akan sangat membantu untuk membongkar siapa pelaku yang sebenarnya. Kondisi ini membuat tim advokasi Novel meragukan langkah serius kepolisian untuk mengungkap siapa pelakunya. Selain itu, beberapa hal lain yang ikut menguatkan adalah dilepaskannya seseorang yang diduga kuat sebagai pelaku dan proses penyidikan berkembang sangat lambat, lebih dari empat bulan. Maka muncul kekhawatiran bahwa pemeriksaan terhadap Novel ini hanya merupakan formalitas belaka.
Tentu saja semua pihak tidak berharap demikian. Pemeriksaan terhadap Novel Baswedan diharapkan bisa menemukan titik terang bagi kepolisian untuk menyelesaikan kasus ini. Presiden juga diharapkan segera memutuskan untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Adanya TGPF juga akan membantu dalam menyelesaikan kasus Novel Baswedan.
Penyelesaian kasus Novel harus benar-benar dikawal oleh publik. Jangan sampai yang terjadi pada Aktivis Indonesia Corruption Watch, Tama Satrya Langkun tahun 2010 terulang lagi. Saat itu, Tama Langkun mengalami pembacokan oleh sekelompok orang tidak kenal. Kejadian ini diduga kuat karena Tama Langkun sedang melakukan penelusuran kasus korupsi rekening gendut kepolisian. Berselang tujuh tahun, sampai hari ini, siapa pelaku dan dalang dari kejadian yang dialami Tama Langkun tidak pernah terungkap.
Peristiwa lainnya, menimpa Munir Said Thalib, salah satu aktivis Hak Asasi Manusia. Dalam perjuangannya yang belum selesai, Munir terpaksa harus berhenti. Ia meninggal karena diracun menggunakan zat arsenik dalam perjalanannya menempuh studi magister di Belanda. Tiga belas tahun sudah sejak pembunuhan Munir, tapi publik tidak pernah tahu siapa dalang dibalik kejadian ini.
Maka, urgensi pembentukan TGPF menjadi penting untuk mengungkap dan membawa pelaku beserta dalangnya ke meja pengadilan. Setelah melakukan pemeriksaan, pada 17 Agustus 2017, Novel Baswedan akan menjalani operasi besar di mata sebelah kirinya. Harapan publik tidak hanya kembali normalnya penglihatan Novel Baswedan. Tetapi, setelah adanya proses pemeriksaan terhadap Novel, kepolisian bisa segera mengungkap siapa dalang dan pelaku dari kejadian ini. (Nisa)