In-Depth Analysis: Momentum Reformasi di Sektor Pertahanan

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Direktur Utama PT PAL Indonesia (Persero) M Firmansyah Arifin sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait pengadaan kapal Strategic Sealift Vessel (SSV) untuk pemerintah Filipina. Penetapan status tersangka merupakan tindak lanjut dari Operasi tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada Kamis (30/3/2017). Selain Firmansyah, KPK pun menangkap Arif Cahaya General manager Treasury PT PAL Indonesia serta Agus Nugroho pegawai Ashanti Sales Inc. Ashanti Sales Inc merupakan perusahaan perantara antara PT PAL Indonesia dengan pemerintah Filipina.

Terbongkarnya korupsi di PT PAL yang melibatkan petinggi perusahaan membuktikan bahwa sektor pertahanan terutama  alutsista sangat rawan penyelewengan. Tidak hanya dalam proses pengadaan, penyelewengan pun terjadi dalam proses perawatan alutsista. Modusnya mulai dari penggelembungan harga, suap kepada pejabat, pembelian alutsista dibawah spesifikasi harga, hingga pemangkasan biaya perawatan. Pembelian alutsista bekas pun tak luput dari masalah pada sisi pengawasannya.

Berdasarkan Government Defence Anti-corruption Index 2015 yang dirilis oleh Transparancy International,  Indonesia berada di grade D (rawan korupsi) untuk sektor pertahanan. Dalam laporan tersebut dijelaskan bahwa praktek korupsi di sektor pertahanan disebabkan oleh dua hal. Pertama, lemahnya kapasitas internal dalam proses pengadaan alutsista. Kedua, lemahnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengadaan alutsista.

Selain dua faktor tersebut, penyebab rawannya korupsi dalam proyek pengadaan sektor pertahanan adalah pengawasan yang lemah. Berbagai pengadaan terkait sektor pertahanan masih dianggap sebagai rahasia negara. Tidak hanya itu, berdasarkan Undang-Undang 31 tahun 1997 tentang peradilan militer kasus sektor pertahanan yang berwenang menangani adalah pengadilan militer. Itu sebabnya lembaga independen seperti KPK sulit untuk mengungkap kasus-kasus yang berhubungan dengan militer.

Dari sisi politik, parlemen pun tidak mampu menjalankan fungsi pengawasan dengan baik. Komisi I DPR RI  yang mengurus bidang pertahanan hanya berkutat dalam urusan penambahan anggaran alutsista TNI. Belum ada terobosan untuk melakukan pengawasan. Bahkan pernyataan Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah, terkait korupsi di PT. PAL tidak mencerminkan semangat antikorupsi, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut menyatakan bahwa komisi (suap) dalam jual beli di kasus PT PAL itu merupakan urusan internal perusahaan dan keberhasilan PT PAL menjual kapal SSV ke pemerintah Filipina adalah sebuah prestasi di tengah persaingan menembus pasar international.

Korupsi pengadaan di sektor pertahanan khususnya alutsista akan merugikan banyak pihak. Pertama, kedaulatan negara akan terancam jika menggunakan alat pertahanan yang tidak sesuai spesifikasi dan mudah rusak. Kedua, masyarakat sipil yang harus mendapat jaminan keamanan atas penggunaan alat pertahanan sebagai alat perlindungan. Ketiga, pengguna alat tersebut yaitu prajurit TNI. Sudah banyak kasus kecelakaan terjadi dalam penggunaan alat militer. Pada tahun 2016 setidaknya sudah ada 5 kecelakaan yang melibatkan  pesawat milik TNI seperti kasus jatuhnya pesawat Hercules type C-130 di Wamena Papua.

Karena itu, reformasi sektor pertahanan menjadi kebutuhan mendesak. Berbagai kerja sama termasuk penjualan kapal SSV yang masih melalui perantara (broker) harus segera dihentikan, diganti kerja sama langsung antara-pemerintah. Seperti yang dilakukan Presiden Jokowi dan Presiden Perancis Hollande dengan menandatangani MoU mengenai alutsista dan pasukan perdamaian.

Selain itu, sebagai komando tertinggi TNI Presiden Jokowi harus berperan mendorong reformasi di tubuh militer. Safari dalam rangka evaluasi dan audit di dalam tubuh TNI perlu dilakukan untuk memastikan kualitas prajurit serta perlengkapan yang digunakan. Terutama untuk mengevaluasi proses pengadaan di sektor pertahanan sehingga tidak kembali muncul praktek-praktek korupsi dalam pengadaan alutsista. Apalagi untuk tahun 2017, DPR dan Pemerintah telah menyepakati anggaran Kementerian Pertahanan (Kemhan) senilai Rp 108 triliun. Jumlah ini tertinggi dalam kurun 12 tahun terakhir.

Terakhir, terkait dengan pemberantasan korupsi, kasus PT. PAL seharusnya bisa menjadi pintu masuk bagi KPK untuk menangani kasus yang berhubungan dengan militer. Sebab sampai saat ini KPK sulit menyentuh kasus-kasus yang berhubungan dengan militer karena untuk kasus sektor pertahanan yang berwenang menangani adalah pengadilan militer. Untuk menghilangkan hambatan tersebut, DPR dan pemerintah wajib merivisi UU 31 tahun 1997 dengan menjalankan TAP MPR No VII Tahun 2000 tentang agenda Revisi UU No 31 Tahun 1997. (Jaya/Ade)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan