In Depth Analysis: Menuntaskan Perkara E KTP
Penanganan kasus dugaan korupsi proyek KTP Elektronik (E-KTP) kembali menjadi sorotan. Setelah menetapkan Sugiarto sebagai tersangka pada 24 April 2014 silam, kasus ini seolah-olah berjalan di tempat. Sugiarto merupakan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Dirinya disangka telah menyalahgunakan kewenangan dalam proyek pengadaan KTP berbasis nomor induk kependudukan, secara elektronik tahun anggaran 2011-2012 di Kemendagri.
Jika dihitung dari setelah penetapan terangka, kasus ini sudah 2 tahun 5 bulan berada pada proses penyidikan. Hal ini tentu saja bukan kondisi yang menguntungkan bagi KPK. Karena hal ini memperpanjang daftar perkara di KPK yang penyidikannya memakan waktu lebih dari 2 tahun. Memang secara hukum tidak ada aturan yang diterobos. Hanya saja, hal ini menunjukkan performa KPK menurun dan tidak lebih baik dari Kepolisian dan Kejaksaan. Padahal KPK diciptakan karena kedua lembaga tersebut dianggap belum maksimal dalam melakukan pemberantasan korupsi.
Perkembangan terbaru dalam kasus E KTP, KPK menemukan kerugian Negara sebesar Rp2 triliun. Perhitungan ini diperoleh dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), yang sekaligus merevisi pernyataan KPK sebelumnya yang menyebutkan kerugian Negara sebesar Rp1,12 triliun. Selain kerugian negara, KPK juga telah merampungkan sejumlah pemeriksaan terhadap para saksi, yaitu Nazarudin (terpidana korupsi pengadaan wisma atlit), pejabat Perum Percetakan Negara Rl (PNRI), PT. Pos Indonesia, PT. Indosat, Perum Bulog, dan salah satu Dirjen Kemendagri.
Lambatnya penanganan perkara ini tidak hanya berdampak buruk bagi KPK, tetapi juga masyarakat yang lebih luas mengingat kasus ini sangat erat dengan pencatatan kependudukan. Pertama, isu dugaan korupsi E KTP ini menjadi semakin liar, terlebih setelah pemeriksaan Nazarudin (terpidana korupsi pengadaan wisma atlit) sebagai saksi. Dalam sejumlah pemeriksaan, dirinya menyatakan keterkaitan Gamawan Fauzi (Mantan Mendagri) dalam kasus dugaan korupsi E KTP. Selain itu, Nazarudin juga pernah menyebutkan sejumlah nama anggota DPR RI yang terlibat perkara ini. Jika dibiarkan hal ini berpotensi memperkeruh suasana.
Persoalan lainnya, tersangka yang tidak ditahan selama proses penanganan perkara berjalan. Meskipun tersangka beralasan sakit, lambatnya penanganan perkara ini menimbulkan asumsi negatif di masyarakat. KPK bisa dinilai tebang pilih, pertanyaannya mengapa hanya tersangka kasus E KTP saja yang tidak ditahan? Kemungkinan buruk lainnya, preseden ini bisa digunakan oleh tersangka-tersangka lainnya yang sedang berhadapan dengan KPK.
Kedua, dampak kerugian dari kasus ini sebenarnya tidak sebatas kerugian materil sebesar Rp2 triliun. Namun, ada kerugian langsung kepada masyarakat yang layak dipertimbangkan. Sampai saat ini sekurangnya sebanyak 22 juta penduduk belum mengurus E KTP. Padahal pada tanggal 1 Oktober 2016, pemerintah akan menonaktifkan data KTP dan segera memberlakukan E KTP. Akibatnya, penduduk yang belum memiliki E KTP akan kesulitan mengakses pelayanan publik seperti surat-surat penting seperti surat nikah, surat izin mengemudi (SIM), BPJS, izin usaha, pendidikan, mendirikan bangunan, dan perbankan.
Dan ketiga, akibat lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah ruang korupsi baru setelah proyek E KTP ini diimplementasikan. Pergantian dan pencatatan kependudukan secara massal memberikan ruang bagi oknum di kelurahan untuk mendulang keuntungan. Misalnya saja, masyarakat di tambun utara harus merogoh kocek sebesar Rp125 ribu untuk pengurusan E KTP. Padahal pengurusan E KTP cepat dan gratis.
Dengan kondisi seperti ini, sudah selayaknya KPK segera mempercepat perkara E KTP. Termasuk membongkar skandal yang lebih besar, karena hampir tidak mungkin kasus bernilai hampir Rp6 triliun hanya menyeret seorang PPK saja. Selain itu, upaya pencegahan dalam ranah penyelamatan kepentingan negara yang lebih besar harus berjalan secara pararel. Sehingga akses pelayanan publik tidak terganggu.***