In-Depth Analysis: Menanti Tuntasnya Renegosiasi Pajak Freeport
Renegosiasi Kontrak Karya antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport Indonesia (PTFI) masih berjalan alot. Penyebab utamanya perbedaan skema fiskal. Pemerintah condong ke skema prevailing, yaitu skema pajak yang dinamis mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku, sementara PTFI menginginkan skema naildown yang mengacu pada pasal di Kontrak Karya yang selama ini digunakan dan bersifat tetap.
Skema pemungutan pajak merupakan salah satu dari empat poin renegosiasi yang belum tuntas. Tiga aspek lainnya adalah perpanjangan kontrak, pembangunan smelter, dan kewajiban divestasi. Seharusnya semua poin sudah selesai direnegosiasi 6 tahun yang lalu. Pasal 169 Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) menyatakan bahwa semua kegiatan pertambangan yang dilakukan dalam kerangka rezim kontrak yang telah ada saat undang-undang ini dibuat, tetap dinyatakan berlaku sampai berakhirnya periode kontrak, dengan kewajiban melakukan penyesuaian isi kontrak paling lambat 1 tahun sejak berlakunya UU.
Dampak fiskal dari perubahan rezim pengelolaan seharusnya dapat memaksa PTFI untuk menyesuaikan pengenaan sistem perpajakan dengan ketentuan yang berlaku. Bukan menggunakan skema pengenaan pajak tetap yang disepakati saat kontrak dibuat.
Berdasarkan resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) No. 1803 tentang Kedaulatan Permanen Negara atas Kepemilikan Sumber Daya Alam Tahun 1962, disebutkan bahwa kesepakatan mengenai pembagian keuntungan yang diperoleh dari kegiatan pengusahaan sumber daya alam oleh investor asing harus diatur berdasarkan peraturan nasional. Hal ini pernah dilaksanakan oleh Inggris dan Norwegia yang pada tahun 1975 mengesahkan legislasi baru untuk memaksa pengenaan pajak yang lebih tinggi kepada pemegang konsesi minyak di negaranya., menyesuaikan dengan naiknya keuntungan yang didapatkan akibat melonjaknya harga minyak dunia (IGJ, 2017).
Untuk konteks Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengungkapkan bahwa dengan skema prevailing, meskipun tarif Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) yang dikenakan lebih rendah dibandingkan dengan KK - tarif PPh Badan bersadarkan Undang-undang Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008 sebesar 25%, sementara dalam KK PTFI 35%- pemerintah tetap akan mendapat tambahan pajak dari objek pajak lainnya yaitu pajak dividen, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10%, Pajak Penjualan (PPn) 2.5% - 3%, dan bea keluar 7.5%. Selain pajak, pemerintah juga akan mendapatkan tambahan penerimaan negara dari royalti komoditas tembaga 4%, emas 3.75%, perak 3.25%, dan iuran sewa tanah (landrent).
Keinginan pemerintah untuk mengubah skema pajak menjadi prevailing ini patut didukung karena kontribusi penerimaan yang diberikan PTFI terus menurun sejak tahun 2010. Bahkan pemerintah selaku pemegang 9.36% saham tidak mendapatkan pemasukan dividen sejak tahun 2012 (Katadata.co, 2015). Sudah sepatutnya momentum renegosiasi dimanfaatkan pemerintah semaksimal mungkin untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (Mouna/Ade)