In-Depth Analysis: Hilangnya Legitimasi Sebagai Ketua BPK RI
Setelah namanya muncul dalam salah satu dokumen Panama Papers, Ketua BPK RI, Harry Azhar Aziz dilaporkan oleh Koalisi Selamatkan BPK, sebuah gabungan lembaga non pemerintah yang terdiri dari ICW, IBC, IPC, Media Link, dan Perkumpulan Inisiatif. Mereka melaporkan Ketua BPK ke Komite Etik BPK, sebuah institusi internal BPK yang berfungsi mengadili dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan anggota BPK. Laporan itu dilakukan lantaran Ketua BPK dianggap tidak memasukkan daftar perusahaan yang dimilikinya, sebagaimana dokumen Panama Papers sebutkan, dalam LHKPN. Demikian halnya, Ketua BPK dituding menggunakan alamat kantor lamanya di DPR RI sebagai alamat kantor perusahaan yang didaftarkan di salah satu negara surga pajak.
Setelah menunggu beberapa waktu, lahir keputusan Majelis Kehormatan Kode Etik (MKKE) BPK RI yang menyatakan secara bulat bahwa Ketua BPK RI telah melanggar kode etik dan oleh karenanya dikenai teguran atau peringatan tertulis, sebagaimana dikatakan oleh salah satu anggota MKKE, Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa. Salinan putusan sidang itu juga ditembuskan kepada Koalisi Selamatkan BPK karena status mereka sebagai pelapor, meskipun dalam tembusan itu disebutkan bahwa dokumen bersifat rahasia.
Konsekuensi dari putusan MKKE itu sesungguhnya berat, karena menyebabkan Ketua BPK harus meletakkan jabatannya. Dalam UU No 15 tahun 2006 tentang BPK RI, dikatakan dalam pasal 19 huruf b bahwa Ketua, Wakil Ketua, ataupun anggota BPK diberhentikan dengan tidak hormat dari keanggotaannya dari BPK atas usul BPK atau Dewan Perwakilan Rakyat apabila terbukti melanggar kode etik BPK. Sebelum putusan final MKKE keluar sekalipun, sudah ada beberapa pihak yang meminta Harry Azhar mundur, salah satunya adalah Eva Kusuma Sundari, anggota DPR RI. Wakil Ketua PPATK, Agus Santoso saat itu, juga turut bersuara dan mendesak supaya Harry Azhar mundur dari jabatannya sebagai Ketua BPK RI.
Dengan putusan MKKE dan mengacu pada pasal 19 huruf b diatas, kini Ketua BPK RI tidak bisa mengelak lagi dari tuntutan publik supaya dirinya meletakkan jabatannya. Hal ini mengingat pasal 19 huruf b tidak mengatur derajat kesalahan atau jenis pelanggaran kode etik mana yang bisa memaksa pengunduran diri karena pasal itu hanya berpatokan pada status melanggar atau tidak melanggar. Dengan terbuktinya pelanggaran kode etik yang dilakukan Ketua BPK, maka pasal 19 huruf b ini secara otomatis berlaku.
Putusan MKKE itu sekaligus menempatkan posisi Ketua BPK RI dibibir jurang kejatuhan. Kini publik menunggu apakah akan ada sikap yang tegas dari BPK RI sendiri untuk memecat Ketua BPK RI, atau harus melalui mekanisme parlemen sebagaimana UU atur. Supaya situasi tidak berlarut-larut dan BPK semakin kehilangan legitimasinya di mata publik, Ketua BPK, Harry Azhar semestinya segera meletakkan jabatannya.***