In-Depth Analysis: Akal-Akalan Parlemen

DPR kembali mempertontonkan dagelan politik kepada masyarakat luas. Belum lepas dari masalah keabsahan pengajuan hak angket, Pansus Angket berencana menyambangi BPK, Mabes Polri, dan Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin dan Pondok Bambu. Menurut klaim mereka, tujuan dari kunjungan tersebut adalah menerima masukan dan data atas berbagai macam pelanggaran hukum yang dilakukan KPK dalam melaksanakan tugas mereka sebagai penegak hukum.

Meskipun publik makin deras menolak pansus hak angket KPK, tampaknya tak ada sinyal dari DPR untuk menyudahi manuver politiknya. Implikasinya jelas, citra DPR di mata publik kembali terpuruk mengingat materi angket nyatanya tak ada satupun yang mengindikasikan penguatan terhadap KPK sebagaimana yang sedari awal mereka sampaikan. Dari sisi KPK, upaya Pansus Angket yang terus dilakukan dapat menunda proses penanganan korupsi, terutama korupsi E-KTP yang kini sedang dinanti publik luas.

Pansus Angket KPK tampaknya sedang mengangkangi aturan yang mereka buat sendiri. Dalam Pasal 199 ayat (2) UU MD3 disebutkan bahwa pengusulan hak angket harus disertai dengan dokumen yang memuat materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki serta harus disertai alasan dari sebuah penyelidikan. Tak heran banyak pihak yang mengatakan pansus angket telah mengalami disorientasi.

Berkaca ke belakang, niat DPR menggulirkan hak angket mulai tercium paska Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR dengan KPK (19/04). Mereka beralasan angket perlu dilakukan karena beberapa alasan. Pertama, temuan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK terhadap laporan keuangan KPK tahun 2015. Kedua, seringnya terjadi kebocoran dokumen (Sprindik atau Surat Dakwaan). Ketiga, pengakuan penyidik KPK, Novel Baswedan, yang menyebut enam nama politisi yang menekan saksi dalam perkara megakorupsi KTP-El, Miryam S Haryani, untuk membatalkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saat pemeriksaan sebagai saksi.

Namun nyatanya, dalam pelaksanaan kerja pansus angket, tiga hal di atas tak lagi menjadi prioritas karena mereka tak menemukan celah apapun untuk menghantam KPK. Akibatnya, kerja Pansus Angket menjadi ngawur, menerabas berbagai macam logika umum, termasuk dalam menentukan metoda kerja.

Ambil contoh misalnya agenda mereka menemui para koruptor ke LP Sukamiskin. Menurut mereka, kepentingan untuk bertemu koruptor adalah mencari tahu adanya pelanggaran hukum yang dilakukan KPK atas mereka yang telah menjadi terpidana. Dari sisi metoda dan penentuan sumber informan, Pansus Angket bisa dikatakan sangat ngawur. Koruptor yang diwawancara mereka tentu akan menyampaikan hal negatif terkait KPK karena mereka dijebloskan penjara oleh lembaga anti rasuah ini. Pastinya, secara hukum hakim telah memutuskan mereka melakukan korupsi.

Pendek kata, Pansus terkesan sedang berupaya mencari-cari kesalahan yang dilakukan KPK. Penting untuk diingat bahwa panitia angket ini akan bekerja bukan dalam waktu yang singkat. Dalam Pasal 206 UU MD3 dikatakan bahwa panitia angket melaporkan tugasnya kepada rapat paripurna DPR paling lama enam puluh hari sejak dibentuknya panitia angket. Dengan demikian, dapat dipastikan dalam waktu yang cukup lama KPK tidak bisa leluasa untuk menjalankan mandat UU untuk memberantas korupsi karena tekanan politik yang tak kunjung berhenti. (Kurnia/Adnan)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan