"Deponeering" , Pertaruhan Terakhir!
Putusan banding atas praperadilan surat ketetapan penghentian penuntutan kasus Bibit-Chandra telah dikeluarkan. Hasilnya, meneguhkan putusan PN Jaksel yang membatalkan SKPP kasus Bibit-Chandra. Dapat dikatakan, Anggodo menang lagi (Kompas, 4/6)!
Tentu saja terhadap putusan ini ada silang pendapat perihal plus-minus, terkhusus alasan hakim untuk meneguhkan hal tersebut dengan menerima legal standing Anggodo. Namun, apa pun itu, putusan ini telah memberikan dampak yang tidak kecil pada kasus Bibit-Chandra, bahkan boleh jadi nasib KPK dan pemberantasan korupsi ke depan jadi taruhannya.
Apabila dibaca secara jeli, setidaknya ada empat kemungkinan langkah selanjutnya yang dapat diambil kejaksaan. Pertama, melakukan kasasi atas putusan ini. Memang kontroversial, apalagi aturan hukum memberikan catatan tentang banding merupa- kan proses terakhir yang seharusnya final and binding bagi sidang praperadilan. Akan tetapi, tidak tertutup kemungkinan untuk hal tersebut karena Mahkamah Agung pernah melakukannya untuk kasus tertentu, misalnya kasus yang melibatkan Ginandjar Kartasasmita beberapa tahun lalu.
Kedua, logika dasar putusan ini adalah SKPP ini dianggap tak sah. Karena SKPP-nya dianggap tidak sah, ada kemungkinan untuk ”meralat” dan mengeluarkan SKPP baru dengan alasan yang ”lebih” sah. Kejaksaan dapat mengeluarkan SKPP baru untuk meralat alasan yang agak ngawur perihal ”alasan sosiologis” dikeluarkannya SKPP. Memang, ini tidak kalah kontroversialnya. Akan terjadi perdebatan besar soal apakah SKPP bisa dikeluarkan setelah proses praperadilan terjadi atas kasus yang sama.
Ketiga, melanjutkan perkara Bibit-Chandra ke persidangan untuk membuktikan jika Bibit-Chandra bersalah atau tidak. Keempat, deponeering. Atas hak oportunitas, Jaksa Agung dapat mengesampingkan perkara ini demi kepentingan umum.
Ketidakseriusan kejaksaan
Jika memilih opsi satu atau dua, bukan hanya akan ada perdebatan besar secara substansi dan teknis hukum, melainkan juga akan mempertontonkan kegagalan jajaran Kejaksaan Agung menerjemahkan perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sedari awal SKPP dikeluarkan dengan alasan sosiologis, sudah menunjukkan betapa ”enggan”- nya kejaksaan menghentikan perkara ini, bahkan setelah ada ”perintah” Presiden!
Jika dirunut, itikad perintah Presiden Yudhoyono untuk menyelesaikan perkara ini melalui pembentukan Tim Delapan yang menemukan sejumlah kejanggalan dan berujung pada kesimpulan kasus ini harus dihentikan. Hal yang bukan tanpa dasar karena Tim Delapan menemukan secara detail peran Anggodo yang berujung pada catatan soal kuatnya mafia hukum bermain dalam ”kriminalisasi” KPK. Hal yang jadi cikal bakal pemberantasan mafia hukum yang ditindaklanjuti dengan pembentukan satuan tugas anti-mafia hukum.
Karenanya, pada pidato Yudhoyono yang merespons hasil temuan Tim Delapan dengan jelas mengatakan bahwa perkara ini harus dihentikan karena dengan menghentikan ”akan lebih banyak manfaat daripada mudaratnya”. Dengan kata lain, Presiden sebenarnya memerintahkan agar penegakan hukum yang tidak tepat ini dihentikan. Ketidakseriusan kejaksaan dalam mengeluarkan SKPP di atas dapat berujung pertanyaan besar soal keseriusan Presiden Yudhoyono menghentikan perkara ini.
Ketika memilih melanjutkan perkara ke persidangan untuk melakukan proses hukum atas Bibit-Chandra, ”tamparan” yang jauh lebih keras akan mengena kepada diri Presiden Yudhoyono. Tindakan membuat Tim Delapan menjadi sia-sia. Bukan hanya sekadar itu, tetapi juga memberikan pertanda lemahnya kemampuan Presiden untuk mengoordinasikan kebijakan ketika merespons laporan Tim Delapan.
Hal lain, dengan melanjutkan hal ini ke persidangan, akan menambah keruwetan penegakan hukum antikorupsi dan pemberantasan mafia hukum yang sering digadang-gadang Yudhoyono sebagai salah satu program unggulannya. Harus diingat, Bibit-Chandra akan mengalami masa penghentian sementara (lagi) ketika masuk ke persidangan. Hal yang berarti KPK lagi-lagi hanya akan memiliki dua komisioner. Pertanyaan soal nasib perkara-perkara korupsi di KPK akan membesar.
Pada saat yang sama, sulit bagi Presiden untuk kembali mengeluarkan perppu penunjukan komisioner seperti yang telah ia lakukan tahun lalu. Penolakan besar melakukan intervensi atas lembaga negara independen macam KPK tentu menjadi catatan tersendiri bagi Yudhoyono jika mau mengambil tindakan penyelamatan KPK dengan aturan semacam perppu.
Pilihan terbaik yang mungkin tentu saja adalah dengan meminta Jaksa Agung melakukan deponeering. Apalagi, hal ini yang paling selaras dengan pidato Presiden. Dengan deponeering, Yudhoyono dapat memperbaiki itikad yang telah ditunjukkannya dalam kasus Bibit-Chandra. Lebih mendalam, Presiden dapat menunjukkan gairah yang kuat menyelamatkan nasib lembaga pemberantasan korupsi atau upaya pemberantasan korupsi itu sendiri.
Oleh karena itu, dengan memerintahkan Jaksa Agung untuk segera bertemu dengan lembaga-lembaga terkait dalam upaya pengeluaran deponeering menjadi penting. Menjadi semacam pertaruhan terakhir, baik bagi Yudhoyono maupun KPK. Bahkan, boleh jadi, menjadi pertaruhan terakhir bagi kita semua yang masih menginginkan adanya penegakan hukum antikorupsi di negeri ini.
Zainal Arifin Mochtar Pengajar Fakultas Hukum UGM Yogyakarta, Direktur PuKAT Korupsi FH UGM Yogyakarta
Tulisan ini disalin dari Kompas, 7 Juni 2010