Depag dan Devalidasi Moral
Maraknya pemberitaan dugaan korupsi di lingkungan Departemen Agama (Depag) melahirkan beberapa penafsiran di masyarakat. Ada yang merespons dengan penuh keheranan, ah masa, kok bisa, aneh, masa iya sih...! Kelompok lain hanya tertawa dan mengganggap temuan di Depag itu sebagai bukan sesuatu yang aneh.
Secara sosiologis, terhadap departemen yang membawa kata agama ini, muncul dua pandangan berbeda. Kelompok pertama termasuk ke dalam kelompok orang yang hyperperception, yaitu orang yang memosisikan Depag sebagai lembaga orang bersih, yang mengelola masalah keagungan dan keluhuran budi. Depag dianggap penjaga gawang dari elite moral. Sementara kelompok lain, memosisikan aparat pemerintah (tidak terkecuali Depag) adalah manusia biasa, yang memiliki potensi dapat dirayu materi. Kelompok terakhir ini memosisikan orang Depag, atau lembaga Depag setara dengan lembaga lainnya. Dapat disebut dengan kelompok underperception, yaitu kelompok yang memersepsikan lembaga pemerintah sebagai sesuatu hal yang rendahan, korup, dan buruk.
Sehubungan dengan masalah korupsi di Depag kali ini, ada tiga hal yang perlu dikritisi bersama, yaitu kasus korupsi depag dilihat dari sudut pandang struktural, simbol sosial, dan sikap keberagamaan.
Birokrasi memang korup
Citra birokrasi negara kita masih buruk. Itulah hukuman sosial yang masih melekat dalam diri budaya birokrasi negara ini. Bukan hanya lamban dalam memberikan layanan kepada masyarakat, tetapi tidak efektif, berbiaya mahal, koruptif, dan sebutan buruk lainnya.
Stereotype (penyamarataan) seperti ini sudah barang tentu sangat tidak adil. Karena sebetulnya, masih bisa kita temukan birokrat yang berkinerja positif dalam budaya birokrasi kita, walau jumlahnya mungkin tidak besar. Merujuk pada stereotype di atas, terkuaknya dugaan korupsi dalam tubuh Depag, bukanlah hal yang aneh, dan bukan pula sebagai sebuah informasi baru.
Di lingkungan penegak hukum, misalnya, di kenal istilah mafia peradilan. Kelompok mafia ini, terdiri dari oknum kejaksaan, kepolisian, pengacara atau aparat penegak hukum yang lainnya. Mereka bermain, dan memainkan hukum, dengan satu kepentingan yang sama, yaitu mendapatkan uang. Kemudian, dugaan korupsi pun menguat di lingkungan pendidikan. Kedua departemen ini, merupakan sebagian contoh dari departemen pemerintahan yang memiliki citra buruk.
Ada satu hal yang menarik untuk dikemukakan, yaitu adanya kesamaan gejala korupsi antara satu departemen dengan departemen lainnya, yaitu korupsi kolektif dan kolutif. Korupsi kolektif, artinya tindak penyelewengan dana rakyat ini dilakukan secara bersama-sama. Disebut kolutif karena melibatkan instansi lain, baik legislatif (khususnya dalam memperlancar peraturan dan perundangan), maupun rekanan bisnis. Modus korupsi kolektif dan kolutif ini mampu membangun pertahanan pembelaan yang sangat kuat dibandingkan korupsi yang dilakukan sendirian. Modus seperti ini pun, terjadi pula dalam pengurusan masalah haji di lingkungan Depag.
Bila kita menganut pola pikir menyalahkan sejarah, gejala ini dapat ditarik ke belakang, dengan menyalahkan pemerintahan Orde Baru. Budaya KKN adalah budaya yang subur di lingkungan lembaga pemerintahan masa Orde Baru. Secara struktural dan sistemik, aparatur Depag adalah bagian dari sistem budaya Orde Baru. Oleh karena itu, sebagai sebuah subsistem budaya organisasi (corporate culture), maka budaya kerja di Depag tidak jauh beda dengan budaya organisasi di instansi lain. Mungkin iya ada perbedaan, tetapi dalam kerangka makro, budaya organisasi di lingkungan Depag tak jauh beda dengan budaya pemerintahan Orba lainnya. Oleh karena itu, masuk akal bila masyarakat saat ini masih menemukan sisa budaya Orba di lingkungan departemen ini.
Untuk memecahkan masalah seperti ini, kiranya publik perlu mendukung kebijakan Presiden SBY untuk melakukan penggantian pegawai eselon I di seluruh departemen atau instansi pemerintah lainnya. Kebijakan ini, selain strategis juga dapat mempercepat proses pemotongan budaya (pemotongan generasi) dan melakukan transformasi budaya menuju masyarakat yang beradab.
Uang tidak beragama
Ibarat menanti reality show di media elektronik, masyarakat Indonesia hari-hari ini sedang disuguhi drama eliminisasi (penyingkiran) elite politik dari pentas politik nasional. Satu per satu, orang yang menjadi penyakit bangsa dan beban masyarakat, dieliminasi dan dimasukkan ke dalam kotak (penjara). Entah butuh berapa lama, dan entah kapan, kita akan menemukan penghuni terakhir bangsa Indonesia yang menjadi pilihan rakyat dan bersih dari cacat politik dan cacat moral.
Reformasi 1999 telah menggusur TNI dan Polri dari rumah politik (DPR). Pejabat legislatif yang korupsi diancam kurungan penjara. Beberapa elite legislatif di berbagai daerah di Indonesia bahkan sudah masuk bui. Kasus korupsi di KPU telah mengusur elite akademik masuk ke dalam tahanan. Dan, kini, berita terbaru, elite Depag yang notabene elite agama, juga menghadapi tuduhan korupsi. Rangkaian dan catatan ini mungkin masih panjang lagi.
Tetapi pada intinya, masyarakat mencatat bahwa berbagai status sosial dengan latar belakang sosial yang berbeda, ternyata masih rentan terhadap serangan rayuan uang rakyat. Simbol keagamaan (kiai haji, ustaz, dan Depag), simbol pendidikan (sekolah, profesor), simbol ekonomi (konglomerat, pengusaha, dan bank), simbol politik (partai, DPR), simbol kekuatan-kekuasaan (polisi, TNI), simbol keadilan (kejaksaan, pengacara), ternyata masih rentan dari rayuan uang. Bahkan, kelompok mahasiswa pun, tidak steril dari rayuan uang ini. Publik masih ingat peran uang dalam memobilisasi massa demonstran? Masih ingat pula publik akan peran uang dalam memobilisasi rakyat kecil untuk demonstrasi? Kasus tersebut memberikan sebuah ketegasan kepada masyarakat bahwa lembaga dan simbol sosial tersebut, sampai saat ini, ternyata tak memiliki kekebalan moral dan kekebalan lembaga dari serangan virus korupsi.
Berdasarkan pemikiran ini, dapat ditarik beberapa simpulan pemikiran. Bahwa status sosial ternyata bukan sebuah jaminan untuk membentengi diri dari tindak pidana korupsi, karena memang uang tidak memiliki agama, uang tidak memiliki moral, dan uang tidak memiliki kartu keanggotaan yang tetap.
Uang, dengan semangatnya sendiri, dengan sifatnya sendiri, dengan karakternya sendiri, dapat mengalir bebas ke mana arah yang disukainya. Uang hanya memiliki sifat tunggal, yaitu sesuai dengan hukum pasar, ke mana permintaan tinggi, di sanalah uang akan mengalir. Maka tak heran, siapa pun orangnya atau apa pun lembaganya, pada saat ada kesempatan mengakses uang dan dirinya merasa butuh uang, maka si uang itu akan mengalir ke tangannya. Uang, memang tidak memiliki majikan (tuan) yang tunggal.
Penutup
Memang patut disayangkan kalau Depag menuai citra yang buruk. Padahal, lembaga ini adalah penjaga utama moralitas bangsa dan negara. Kendati demikian, kiranya masyarakat dapat menarik pelajaran terhadap adanya kejadian seperti ini. Pertama, Depag bukanlah agama, Depag bukan lembaga sakral yang bebas dari kelemahan. Depag hanya salah satu lembaga birokrasi yang diciptakan pemerintah dan diisi oleh aparatur pemerintah. Oleh karena itu, untuk memperbaiki citra yang buruk kali ini, mau tidak mau, seluruh aparatur departemen agama ini harus kembali bangkit untuk melakukan reformasi birokrasi dan mereformulasi budaya kerja departemennya.
Kedua, penyelewengan kewenangan adalah sebuah indikasi adanya ketidakberesan dalam administrasi dan atau manajemen organisasi. Oleh karena itu, perlu ada upaya profesionalisasi manajemen di lingkungan Depag, baik di tingkat pusat maupun daerah. Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengemukakan satu hal yang mungkin sekadar hipotesis, yaitu mungkin ada kesungkanan untuk melakukan kritik, bila pimpinan sebuah organisasi itu adalah seorang yang berkharisma atau dianggap berkarisma (misalnya kiai). Hilangnya kemampuan kritik, atau suburnya budaya sungkan, dapat memengaruhi kesehatan budaya organisasi.
Terakhir, pembongkaran kasus korupsi di lingkungan Depag ini mudah-mudahan menjadi awal dari proses desakralisasi Depag, desakralisasi kiai, dekomersialisasi haji, dan sebagainya. Simbol agama, ritual keagamaan, mudah-mudahan tidak lagi dijadikan sebagai sumber eksploitasi (tambang uang) bagi kalangan tertentu.
Hal yang lebih penting lagi yaitu perlunya objektivikasi sikap keberagamaan. Artinya, publik perlu kritis kepada siapa pun (entah kiai, ustaz, profesor, jenderal, mahasiswa, wartawan, atau siapa pun). Karena mereka pun adalah manusia. Dengan sikap objektif ini, mudah-mudahan perilaku kita terhindar dari budaya organisasi yang subjektif. Tidak perlu ditanya lagi sikap kita terhadap politikus, TNI, Polri, penegak hukum. Yang kita alami baru-baru ini adalah kita menganggap pintar dan bersih kepada akademisi, akhirnya terperangah dengan kasus KPU. Kita menganggap bersih dan bebas korupsi kepada ulama, kita kaget dengan kasus Depag.
Akhirnya, kita semua bertanya, siapakah dan manakah, rujukan moral yang valid (tepat) untuk dijadikan teladan? Rakyat kita saat ini tengah menonton perilaku politik yang melakukan devalidasi moral. Rakyat hari ini tengah melihat drama hidup dengan moralitas yang tidak sesuai dengan nurani kerakyatan, kebangsaan, dan keadaban. Drama yang ada adalah drama lisan moral yang tidak valid karena hanya sebuah hiasan bibir. Tindak-tanduk kita tidak valid karena hanya trik kepentingan politik. Kedermawanan kita tidak valid karena hanya kampanye sesaat. Kepedulian kepada umat kita tidak valid karena hanya sebuah upaya menggali simpati ekonomi rakyat untuk kepentingan pribadi. Keilmuan kita pun tidak valid karena dihinggapi kepentingan materialisme dan bukan kebenaran ilmiah. Moralitas pakaian kita tidak valid karena membuka aurat sosial yang menjijikkan. Inilah, hidup kita, hidup di masyarakat korup.(Momon Sudarma, penggiat sosiologi di Akper Aisyiyah dan Stikom Bandung)
Tulisan ini diambil dari Pikiran Rakyat, 24 Juni 2005