Denny Indrayana Tersangka, Puncak Pembangkangan dan Kriminalisasi Kepolisian

Koalisi masyarakat sipil menilai penetapan Denny Indrayana sebagai tersangka dalam kasus payment gateway sebagai puncak rangkaian kriminalisasi terhadap KPK dan pendukungnya.

Bareskrim Mabes Polri menetapkan Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkum HAM) Denny Indrayana sebagai ditetapkan sebagai menjadi tersangka oleh Bareskrim Mabes Polri, dalam dugaan kasus korupsi proyek penyelenggaraan pembayaran pengurusan paspor secara elektronik (payment gateway) di Kemenkum HAM 2014 oleh Bareskrim Mabes Polri.

Koalisi masyarakat sipil anti kriminalisasi yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesia Legal Roundtable (ILR), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), serta para penggiat anti-korupsi dan HAM menilai penetapan tersangka ini merupakan satu rangkaian kriminalisasi terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penyidik dan pendukung KPK.

Hal ini dikemukakan dalam konfrensi pers koalisi yang dilaksanakan Kamis, (26/3) di Kantor Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBHI) Jakarta.

Sebelumnya, Bareskrim Mabes Polri telah menetapkan Mantan Pimpinan KPK yaitu Abraham Samad (AS) dan Bambang Widjojanto (BW), penyidik KPK Novel Baswedan.

Penetapan ini juga mencerminkan pembangkangan yang dilakukan Kepolisian kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang sebelumnya telah jelas memerintahkan dihentikannya kriminalisasi. Namun, arahan Presiden dianggap angin lalu oleh Kabareskrim Mabes Polri Irjen Pol Budi Waseso.

Peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar mengatakan, seharusnya kepolisian mendengar dan melaksanakan perintah kepala negara dalam menghentikan kriminalisasi. Pembangkangan ini sama saja menodai program prioritas pemberantasan korupsi yang digaungkan Jokowi saat berkampanye untuk menjadi Presiden.

“Presiden harus bersikap dan menindak tegas para pembangkang yang terus menerus melakukan kriminalisasi ini,” kata Erwin saat menjelaskan kepada wartawan.

Menurutnya, tindakan semena-mena yang dilakukan Budi Waseso membenarkan tesis bahwa Presiden Jokowi adalah boneka oligarki. Hal ini diperkuat dengan lambat merespon atas kriminaliasi kepada mantan pimpinan KPK, penyidik, dan penggiat antikorupsi.

Pengacara publik YLBHI, Donny Ardianto mengatakan pembangkangan ini menimbulkan tanda tanya besar, apakah kedudukan Kepolisian ‘lebih ‘tinggi’ dibandingkan Presiden sebagai Kepala Negara.

“Kriminalisasi yang dilakukan kepolisian mencerminkan masalah kekuasaan secara de facto,” ujarnya.

Kepolisian seakan memperluas lingkup kekuasaannya sehingga dapat mengancam-mengancam proses demokrasi di Indonesia. “Kita prihatin atas penetapan tersangka Denny Indrayana dan kriminalisasi yang terus dilakukan oleh kepolisian,” kata Donny.

Koalisi meminta Presiden memanggil Wakapolri Badrodin Haiti dan Kabareskrim Polri, Budi Waseso untuk menjelaskan masih dilanjutkannya proses kriminalisasi terhadap pendukung KPK. Selain itu, Presiden juga harus membentuk tim independen dalam mengusut proses kriminalisasi yang terus terjadi saat ini.

"Jokowi sebaiknya juga tidak perlu segan untuk mengambil sikap tegas memecat pihak-pihak yang dinilai membangkang dan bertanggung jawab terhadap berlanjutnya proses kriminalisasi terhadap mantan pimpinan KPK, pendukung, dan pegawai,"  tegasnya.

Proses Penatapan Tersangka Denny Indrayana Penuh Rekayasa Hukum

Kuasa Hukum Denny Indrayana sekaligus  pegiat antikorupsi dan HAM Nurcholis Hidayat mengatakan, dugaan kasus korupsi Payment Gateway yang disangkakan kepada Dennym dipenuhi maladministrasi, mulai dari proses pelaporan kasus sampai pada tahap penyidikan. Pasalnya, penyidikan langsung dilakukan tanpa melalui proses penyelidikan terdahulu.

Kejanggalan lain yang kasat mata terlihat dari  kesamaan waktu keluarnya laporan kepolisian LP/226/II/2015/Bareskrim dengan surat perintah penyidikan (sprindik) tertanggal 24 Februari 2015. Hal tersebut telah melanggar Pasal 1 angka 2 dan angka 5 UU No 8/1981 tentang KUHAP dan Pasal 4 dan Pasal 15 Peraturan Kapolri No 14/2012 tentang manajemen perkara.

Dimulainya penyidikan 24 Februari 2015 lalu menguatkan dugaan bahwa surat pemberitahuan dimulainya penyelidikan (SPDP) ke Kejaksaan diberikan setelahnya. Seharusnya surat tersebut diberikan sebelum penyelidikan dilakukan. Selain itu ditemukan juga fakta adanya keterlambatan penyampaian Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari penyidik kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU).

“Ini penyelelidikan prematur karena bersamaannya waktu sprindik serta laporan kepolisian (LP),” ucap Nurcholis.

Rekayasa kasus makin terlihat ketika Denny tidak didampingi oleh kuasa hukum saat pemeriksaan dilakukan pada 12 Maret 2015. Hal ini bertentangan dengan Pasal 27 ayat 1 dan 2 peraturan Kapolri No 8/2009. "Ini jelas pelanggaran administrasi, karena penyidik melanggar aturan mereka sendiri," tegansya.

Sementara itu, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Bivitri Susanti mengatakan, tidak terlihat kerugian negara atas proyek payment gateway pada Kasus Denny Indrayana. Sebab, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 32, 4 miliar yang dikatakan sebagai kerugian negara versi Bareskrim Mabes Polri tidak ditemukan.

"Tidak ada kerugian negara sebesar Rp32,4 miliar yang dilaporkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) soal pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Seluruh dana tersebut sudah disetor ke rekening negara," ujar Bavitri.

Ini hanya masalah administrasi bukan korupsi. Karenanya, jabatan Denny Indrayana selaku Wamenkum HAM saat itu ialah sharing komite. Bukan sebagai kuasa pengguna anggaran.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan