Demokrasi, Korupsi, dan Warisan Kolonial [05/08/04]
Indonesia kini mendapat sebutan bergengsi sebagai negara demokrasi ketiga terbesar jumlah penduduknya. Selain itu, Indonesia adalah negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia, yang berhasil mempraktikkan demokrasi dalam sistem politiknya.
Sebutan itu sendiri hanyalah gambaran sesaat pemungutan suara dalam pemilu. Mengesampingkan proses yang mencemaskan dalam masa transisi reformasi hingga tercapainya bentuk demokrasi saat ini.
Masa transisi itu sendiri telah meninggalkan kepedihan akibat tewasnya ribuan warga, yang disusul pemerkosaan, penjarahan, bumi hangus ribuan rumah di Maluku, Jakarta, Poso, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Aceh, dan beberapa kota lainnya.
Jumlah pengungsi sempat membengkak hingga 1,5 juta jiwa. Ini menempatkan Indonesia sebagai negara yang paling besar jumlah pengungsinya akibat konflik internal.
Analis Barat sempat meramalkan Indonesia akan mengikuti skenario Yugoslavia atau Uni Soviet. Konflik di negeri ini akan menjalar di kawasan Asia Tenggara. Ramalan tersebut ternyata meleset. Sebaliknya, Indonesia bukan hanya mampu mempertahankan keutuhan wilayahnya, tetapi juga membangun institusi demokrasi yang kuat, seperti tercermin dalam pemilu lalu.
Tadinya Lembaga Ketahanan Nasional, Badan Intelijen Negara, dan Mabes Polri sempat merilis perkiraan intelijen yang mengkhawatirkan dalam menyongsong pemilu. Disebutkan, akan terjadi eskalasi aksi kekerasan, kerusuhan, pembakaran, dan pembunuhan. Perkiraan itu ternyata jauh meleset. Sebab, pemilu kali ini, seperti dikemukakan para pemantau dari mancanegara, berjalan tertib dan sangat demokratis.
Para pengamat asing menyebut pemilu parlemen dan presiden lalu menjadi tonggak bersejarah, bukti Indonesia mulai mapan berdemokrasi. Para petinggi AS malah berpendapat, keberhasilan Indonesia akan menjadi model bagi negara-negara Islam, yang selama ini memandang demokrasi berseberangan dengan Islam.
Akan tetapi, di Indonesia sendiri tidak ada reaksi atas gemuruh sambutan dan pujian tersebut. Malah ada yang merasa aneh karena sebagian rakyat Indonesia justru melihat pemilu lalu sebagai tidak bermanfaat. Untuk pertama kalinya pula dalam sejarah pemilu RI, jumlah golput mencapai rekor terbesar. Dalam pemilu putaran II, jumlahnya diperkirakan akan lebih membengkak.
Lantas, jika pengertian demokrasi tidak bisa dipisahkan dari partisipasi politik rakyat secara keseluruhan, seperti dalam pemilu, jelas demokrasi kita barulah sebatas elite politik, yang dalam hal ini diwakili fungsionaris parpol, kalangan kampus, dan pejabat negara.
Masalahnya bukan pada aspek sosialisasi maupun komunikasi politik. Tetapi sesungguhnya sejak awal sudah muncul keraguan dan pertanyaan, apakah demokrasi demikian yang akan mengantar bangsa Indonesia menuju gerbang kemakmuran dan keadilan?
TIDAK ada memang bukti- bukti sejarah yang menunjukkan hubungan kausal demokrasi dengan kemakmuran. Sebab, negara-negara maju yang sekarang menjadikan demokrasi mirip berhala awalnya bukanlah berangkat dari kedaulatan di tangan rakyat dan pengakuan atas hak dan kebebasan individu.
Proses sejarah yang lazim dilalui selalu berada pada tataran kekerasan, perang, revolusi, dan penjarahan negeri seberang. AS yang sekarang menjadi negara raksasa dengan nilai perdagangan yang dapat memorak- porandakan perekonomian dunia, misalnya, berawal dari kehadiran imigran yang nekat merampas tanah-tanah pertanian dan perburuan bangsa Indian.
Sementara itu, perkembangan teknologi menyusul kemudian, saat penjarahan perlu diefisienkan akibat kompetisi yang makin ketat dan kerap beralih dalam bentuk perang.
Itulah awal surplus ekonomi negara-negara Eropa Barat dan AS hingga terbentuknya masyarakat bangsa yang stabil dan mapan. Demokrasi dalam bernegara baru belakangan dikenal, atau setelah revolusi Perancis dan revolusi industri di Inggris.
Kalaupun ada yang tidak melalui tahapan kekerasan tersebut, sistem politiknya jauh dari sebutan demokratis. Contohnya saja Singapura di bawah PM Lee Kuan Yew, Korea Selatan era Park Chung-hee dan Chun Doo-hwan, atau Malaysia yang tetap mengedepankan UU Keamanan Dalam Negeri.
Persoalannya bukanlah relevan atau tidaknya demokrasi dalam kehidupan suatu bangsa, melainkan lebih pada adanya upaya mengaburkan persoalan keterbelakangan dan kemiskinan di negara-negara Dunia Ketiga. Dari masalah yang paling nyata, seperti ketidakadilan dan pengisapan, dialihkan ke ruang abstrak, demokrasi.
Sebab terbukti, di balik jargon demokrasi, kita menyaksikan, ketika Barat mengecam perlakuan tidak adil terhadap buruh di Dunia Ketiga, umpamanya, perusahaan mereka di Indonesia tidak kalah ganasnya membungkam buruh dan memaksakan upah sebatas tidak mati kelaparan. Mereka bahkan membayar aparat keamanan menertibkan buruh.
Ketika Barat mengeluhkan korupsi melanda birokrasi Indonesia, kalangan pengusahanya tidak kalah gesitnya menggelembungkan nilai proyek dengan menyuap pejabat. Lebih ironis lagi, seperti diakui Bank Dunia beberapa waktu lalu, staf yang bertugas di Indonesia ikut menikmati uang haram. Sementara rakyat Indonesia harus mengencangkan ikat pinggang agar dapat mencicil utang luar negeri.
Hal yang sama juga muncul dalam keprihatinan atas hutan tropis, yang nyaris menimbulkan boikot ekspor kayu lapis Indonesia. Sebab, pada waktu hampir bersamaan, kalangan pengusaha Barat sibuk melobi pejabat dan wakil rakyat agar perusahaan tambang mereka dapat beroperasi di kawasan hutan lindung maupun cagar alam.
Masih banyak contoh mengerikan, seperti di bidang HAM, dilakukan Barat terhadap warga di Dunia Ketiga. Mereka berperilaku seperti di zaman perbudakan.
DALAM konteks demikian, rakyat Indonesia menyaksikan parade demokrasi yang dipuji Barat, berdampingan dengan korupsi. Dalam arti, Indonesia tidak hanya kampiun dalam demokrasi di Dunia Ketiga, tetapi juga dalam korupsi, yang menurut survei Transparansi Internasional tahun lalu berada di urutan keenam terkorup.
Tidak hanya itu. Aksi bajak laut ikut pula menempatkan Indonesia sebagai negara yang paling berbahaya di dunia bagi pelayaran internasional.
Demokrasi tidak akan pernah menyelesaikan masalah ini. Sebab, persoalannya bukan sekadar supremasi hukum, tetapi juga menyangkut sistem hukum warisan kolonial yang kita banggakan. Padahal, kita tahu, asas hukum demikian tidak akan pernah memihak rakyat kecil, kecuali pada penguasa yang dulu diwakili Belanda.
Hingga sekarang kita masih menganggap asas pembuktian terbalik tidak sesuai dengan sistem hukum dan kepribadian bangsa Indonesia. Maka, logis jika mantan Presiden Soeharto belum bisa dibuktikan korupsi kendati pengusutan sudah berjalan enam tahun. Demikian pula pejabat lainnya.
Dalam hal ini sangatlah wajar jika muncul suara sumbang, siapa pun yang memenangi pemilu tidak akan membawa perubahan berarti di Indonesia. Suara sumbang yang didendangkan di berbagai pelosok dan melahirkan keengganan mencoblos dalam pemilu mendatang.
Tulisan ini diambil dari Kompas, 5 Agustus 2004