Demokrasi dan UU MD3
Selain rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, salah satu produk legislasi yang penuh kontroversi belakangan ini adalah UU MD3 (MPR,DPR,DPD,DPRD) atau yang dikenal dahulu sebagai UU SUSDUK. UU ini disorot karena polemik pembahasannya dan materi muatan yang bermasalah.
Pertama berkaitan dengan polemik pembahasannya, jika dibaca secara lebih cermat dalam naskah akademik rancangan revisi UU MD3, ruang lingkup dan pembahasannya hanya mencakup gagasan penambahan sejumlah kursi pimpinan MPR,DPR dan DPD. Akan tetapi pada kenyataannya antara naskah akademik dan pasal-pasal yang diubah menjadi sangat berbeda satu dengan lainnya. Sejumlah pasal kontroversi semisal kriminalisasi terhadap pihak yang dianggap merendahkan citra DPR justru tidak pernah dibahas sama sekali. Kekacauan dalam penyusunan UU tersebut makin tampak nyata saat pimpinan Badan Legislasi (Baleg) DPR mengakui mereka tidak melakukan public hearing (dengar pendapat) masyarakat sebelum mengesahkan UU tersebut. Tentu sesuatu yang bertentangan dengan UU tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan perundang-Undangan (12/2011)
Drama polemik UU ini makin sempurna saat Presiden Jokowi menyatakan tidak pernah mengetahui, maupun diberitahu keberadaan sejumlah pasal bermasalah tersebut. Seolah semua pihak yang harusnya bertanggungjawab perlahan berbalik arah. Alhasil, pengakuan presiden yang terkejut tersebut tidak diaktualisasikan secara konkrit untuk menjawab keresahan masyarakat. Presiden Jokowi mengaku prihatin dan tidak ingin menandatangani, akan tetapi juga tidak menempuh langkah hukum untuk memperbaiki kekacauan legislasi.
Jika pembahasannya bermasalah, lalu bagaimana dengan materinya? Setidaknya ada tiga isu utama yang paling banyak diperdebatkan. Meliputi antara lain izin pemeriksaan terhadap anggota DPR yang melibatkan MKD, pasal kriminalisasi terhadap orang yang dianggap merendahkan citra DPR dan upaya panggilan paksa berupa penyanderaan selama 30 hari oleh pihak Kepolisian.
Ketiga pasal ini kontroversi karena muatannya tumpang tindih, melanggar Putusan MK dan bertentangan dengan aturan lainnya seperti KUHP. Fraksi-fraksi yang setuju seolah tutup mata terhadap pasal-pasal ketentuan tersebut dan tetap melanjutkan pembahasannya hingga disahkan dalam paripurna DPR.
Kini publik harus menelan pil pahit demokrasi. Demokrasi yang secara definisi menurut Abraham Lincoln adalah sebuah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat sudah melenceng dari khitahnya. Pada satu sisi, UU MD3 menjadi tameng DPR agar semakin sulit diproses secara hukum. Pada sisi lain, memudahkan para pengkritik wakil rakyat untuk dijeruji.
Praktis langkah terakhir saat ini disandarkan kepada masyarakat yang menguji sejumlah pasal kontroversial tersebut kepada Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of constitution. Sekalipun peluang tersebut kecil karena makin menguatnya infiltrasi politik kepada MK belakangan ini, tetapi upaya sejumlah warga masyarakat untuk meluruskan kekacuan konstitusional ini tetap harus mendapatkan apresiasi. Semoga perkara ini tidak kembali dijadikan bahan “dagangan” oleh pihak berkepentingan. (Donal/Ade)