Demokrasi Berbasis Korupsi
AMARTYA SEN, peraih nobel bidang ekonomi 1998, dalam bukunya yang berjudul Beyond The Crisis: Development Strategies in Asia (terjemahan Indonesia diterbitkan oleh Mizan, 2000) menyatakan bahwa peran instrumental demokrasi (pemilihan umum, politik multipartai, media yang bebas, dan lain-lain) dalam memastikan bahwa pemerintahan benar-benar menanggapi kebutuhan dan kesulitan rakyatnya memiliki signifikansi praktis yang besar.
Sen juga mengutarakan bahwa kelaparan secara substansial tidak pernah terjadi di negara independen dengan bentuk pemerintahan demokratis dan pers yang relatif bebas. Lebih lanjut Sen mengatakan bahwa watak tak demokratis sebagian pemerintahan di Indonesia dan Korea Selatan memainkan peran penting dalam memicu terjadinya krisis ekonomi.
Paparan Sen mengenai peran demokrasi dalam sebuah negara mungkin belum atau bahkan tidak pernah terlihat di Indonesia. Meskipun sudah menerapkan tiga 'warna' demokrasi (liberal, terpimpin, dan Pancasila), apa yang dipaparkan Sen tersebut belum terwujud di Indonesia. Apalagi implementasi demokrasi masa transisi pascakejatuhan Soeharto (1998).
Pihak internasional bisa saja mengatakan bahwa Indonesia adalah negara demokratis yang berpenduduk besar. Ini bila dikaitkan dengan Pemilu Juni 1999 yang lalu. Namun, dua tahun pascapemilu dan empat tahun pascakrisis, peran demokrasi masih terbatas pada peran elite parpol, anggota legislatif, serta kalangan eksekutif. Kalangan yudikatif hampir tak tersentuh oleh pergantian rezim.
Rakyat Indonesia belum merasakan dampak demokrasi dalam tataran praktis secara signifikan. Gambaran yang ada justru memperlihatkan korupsi (KKN) semakin merajalela, orang miskin semakin bertambah, kesenjangan semakin lebar, merajalelanya kriminalitas, dan sebagainya.
Di sisi lain, ungkapan Sen bahwa watak tak demokratis pemerintah memainkan peran penting dalam memicu terjadinya krisis ekonomi adalah sebuah fakta temuan Sen. Ironisnya, pemerintahan demokratis pascakejatuhan Soeharto yang diwarnai korupsi yang terang-terangan adalah sebuah fakta pula. Jadi di sini pendapat Sen tentang krisis di Indonesia telah dibantah dengan fakta yang terjadi dalam empat tahun krisis yang diwarnai oleh pemerintahan yang 'demokratis'.
Lalu pertanyaan pun muncul, mengapa bisa terjadi hal yang demikian? Sedikit jawaban dari Noam Chomsky dalam bukunya Secret, Lies, and Democracy (lihat Katjasungkana, 1997) mungkin dapat membantu analisis berikut.
Chomsky memandang AS sebagai negara yang sangat tidak demokratis di dalam negeri. Di AS memang ada pemilu berkala, recall, referendum, dan partai-partai bebas. Namun, keterlibatan publik dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan sangat marginal. Berbagai pergeseran dalam kebijakan publik merupakan akibat dari kepentingan berbagai kelompok bisnis yang berbeda-beda. Kekuasaan yang sebenarnya terletak di tangan investor, pemilik perusahaan, dan bank.
Apa yang diutarakan Chomsky adalah sebuah sisi lain dari kehidupan demokrasi di AS. Salah satu bagiannya ternyata persis dengan apa yang terjadi di Indonesia saat ini. Pemilu multipartai pada 7 Juni 1999 dilanjutkan dengan pemilihan presiden yang demokratis, interpelasi parlemen, sidang istimewa MPR, dan dua kali sidang tahunan MPR terasa tidak memberi arti bagi perbaikan kualitas kehidupan rakyat. Berbagai kebijakan yang menyangkut kepentingan publik digeser oleh kepentingan para pengusaha besar.
Bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp320 triliun dan obligasi pemerintah untuk rekapitalisasi perbankan Rp655 triliun hanya diperuntukkan bagi segelintir orang (Dawam Rahardjo, 2001). Demikian pula penanganan utang luar negeri swasta yang tadinya antara swasta dan swasta (private to private) dapat berubah menjadi G to G (government to government) (Adiwarman Karim, 2001). Sementara itu, program privatisasi dan divestasi juga menjadi sorotan publik karena disinyalir ada permainan di dalamnya. Kesimpulan sementara, demokrasi belum mampu menjadi arena implementasi kesejahteraan rakyat.
Di daerah, demokrasi juga masih belum menjadi alat perbaikan kesejahteraan rakyat. Pemilihan kepala daerah, alokasi APBD, adalah dua hal rawan yang memiliki bobot untuk dikorupsi melalui proses demokrasi. Hal yang demikian biasanya terjadi antara pengusaha, anggota parlemen, dan eksekutif.
Demokrasi pascakejatuhan Soeharto telah menjadi alat baru untuk mencuri uang negara. Dan sangat mungkin pencurian uang negara berguna untuk membuat propaganda dan jargon-jargon demokrasi maupun reformasi.
Dengan melihat hal di atas, dapat dibuat kesimpulan bahwa yang terjadi di Indonesia pada saat ini adalah implementasi demokrasi berbasis korupsi yang berdampak sangat luar biasa dalam menjatuhkan kualitas kehidupan rakyat. Mengapa bisa terjadi?
Hal ini dapat dikaitkan dengan dua grand theory yang dikemukakan oleh Francis Fukuyama dan Samuel Hutington (Christianto Wibisono, 1991). Fukuyama dalam bukunya The End of History and The Last Man mengemukakan bahwa sistem demokrasi Barat adalah model yang dapat ditiru oleh umat manusia bahwa penyelesaian konflik politik dilakukan tanpa kekerasan. Sedangkan Samuel Hutington dalam bukunya The Clash of Civilization and The Remaking of World Order menyatakan bahwa akan ada konflik dahsyat dari tiga peradaban besar yaitu Barat, China Confuciunism dan Islam, yang saling berebut pengaruh.
Pendapat Fukuyama itu mirip dengan cita-cita Indonesia baru dan wacana masyarakat madani yang digulirkan pascakejatuhan Soeharto. Banyak pihak sangat optimis untuk membentuk sebuah tatanan masyarakat berperadaban di Indonesia. Sayangnya, pascakejatuhan Soeharto banyak sekali terjadi kasus penculikan, pembunuhan, pembantaian, teror, dan peledakan bom di berbagai tempat. Cita-cita Indonesia baru dan masyarakat madani pun pupus seiring berjalannya waktu. Sementara itu, amendemen UUD 1945 (salah satu visi reformasi) ternyata semakin menunjukkan perseteruan yang dilatarbelakangi kepentingan dan nilai-nilai yang dianut. Hal ini mirip dengan yang disampaikan Hutington.
Hutington sendiri tidak memercayai bahwa teori Fukuyama akan diterima. Hal ini karena dalam konflik politik yang berkembang saat ini sangat sulit diselesaikan dengan jalan 'tanpa kekerasan'. Kekerasan inilah yang digunakan oleh mereka yang memegang kekuasaan saat ini untuk melakukan korupsi (KKN).
Jika dalam teori Hutington disebutkan adanya perseteruan peradaban, maka di Indonesia perseteruan tersebut terjadi antara mereka yang bermental status quo dan korup dengan mereka yang ingin meluruskan berbagai penyimpangan (reformasi). Kelompok bermental status quo dan korup ini terdiri dari berbagai kelompok dan latar belakang yang berbeda, termasuk yang pernah berkecimpung dalam organisasi Islam. Sayangnya mereka tidak mewakili nilai-nilai Islam dalam menjalankan politiknya.
Kekerasan bagi mereka sudah identik dengan korupsi (KKN). Publik pun bisa terkecoh, namun watak korup yang sudah tertanam lambat laun diketahui oleh masyarakat. Sayangnya tingkat pendidikan masyarakat yang kebanyakan rendah menjadikan sebagian elite dan parpol tetap leluasa melakukan korupsi di segala lini.
Besar kemungkinan di tahun 2004, korupsi akan tetap menjadi aktivitas yang membantu 'jalannya' demokrasi di Indonesia seiring dengan kebangkrutan yang semakin parah. Sebaliknya, jargon demokrasi adalah alat untuk melanggengkan korupsi.(Erwin Febrian Safra; Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Andalas, Padang)
Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, Rabu, 29 Oktober 2003