Demi Keadilan Koruptor
Artalyta Suryani atau akrab dipanggil Ayin, terpidana kasus suap kepada jaksa Urip Tri Gunawan, adalah simbol dari sebuah perlakuan istimewa koruptor oleh negara.
Setelah kepergok bahwa Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum menyulap penjaranya menjadi kamar berkelas hotel berbintang, ia hanya dipindahkan dari Rumah Tahanan (Rutan) Pondok Bambu, Jakarta Timur, ke lembaga pemasyarakatan (LP) khusus wanita, Tangerang.
Tak ada usaha untuk melacak kemungkinan dirinya menyuap petugas LP, sebagaimana dalam kasus Gayus Tambunan yang sempat pelesiran ke luar negeri. Seakan-akan kejadian semacam itu dianggap sebagai sesuatu yang biasa, lumrah, dan tak ada kaitannya dengan persoalan hukum, kecuali sekadar melanggar disiplin dan kode etik. Atas nama gaji yang rendah, aparat penegak hukum dibiarkan menerima tambahan penghasilan dari narapidana.
Dewi fortuna seperti terus mendekati Ayin karena pengajuan peninjauan kembali (PK) atas putusan majelis kasasi Mahkamah Agung (MA) menuai buah manis. Vonis kasasi MA yang sebelumnya lima tahun dikurangi enam bulan oleh majelis PK MA dengan alasan bahwa apa yang dilakukan Ayin tidak menimbulkan kerugian kepada negara. Kepindahan dia dari Rutan Pondok Bambu ke LP khusus wanita, Tangerang, tak berimbas sama sekali pada pengetatan atas diri Ayin.
Bahkan dari sana pula, remisi atau pengurangan hukuman penjara berturut-turut dia terima, yakni satu bulan untuk perayaan Waisak 2010 dan dua bulan 20 hari untuk perayaan Kemerdekaan RI 17 Agustus 2010. Akumulasi pengurangan hukuman, baik berdasarkan putusan PK MA maupun kebijakan remisi yang diterbitkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia itu berujung pada pembebasan bersyarat. Ia kini telah menghirup udara bebas.
Keistimewaan koruptor
Ayin, dan juga yang sejenis dengannya, baik mereka yang berlatar belakang penegak hukum, pengusaha, maupun pejabat negara, tidak hanya menikmati keroposnya hukum yang berlaku, tetapi juga secara bersamaan bisa menyajikan sebuah kemewahan hidup dalam status sebagai terpidana korupsi.
Sebuah kenyataan yang ironis mengingat, secara hukum, perbuatan korupsi telah dikategorikan sebagai tindakan kriminal yang luar biasa. Namun mirisnya, sifat luar biasa tersebut tidak menjadi ruh bagi praktik penegakan hukum. Bahkan sebaliknya, keluarbiasaan itu diterjemahkan sebagai perlakuan luar biasa istimewa bagi pelakunya. Oleh karena itu, kita tidak perlu menjadi heran mengapa korupsi tidak bisa ditangani karena orang yang melakukannya tidak mendapatkan kenistaan hukum, sosial, ekonomi, dan politik sama sekali.
Orang yang melakukan korupsi seakan membentuk jaring sosialita tersendiri yang membuat publik tidak merasa muak dengannya, tetapi justru menyanjungnya. Korupsi tidak lagi menjadi sebuah kejahatan kriminal, tetapi menjadi cara untuk membangun kelas sosial yang terpandang.
Fenomena koruptor menjadi layaknya selebriti, tersangka, atau terdakwa korupsi yang terpilih menjadi kepala daerah merupakan sebuah tanda adanya penyimpangan akut pada penegakan hukum kita.
Hukum yang tak mengadili
Dalam konteks kasus Ayin, ada mata rantai persoalan yang berujung pada kebijakan pembebasan bersyarat. Kita mulai dari putusan PK MA yang mengurangi hukuman Ayin dengan sandaran argumentasi bahwa suap yang dia lakukan tidak berakibat pada kerugian negara. Seharusnya sebagai hakim, majelis hakim PK MA tidak sempit memandang persoalan kerugian negara karena, dalam praktik korupsi, kerugian negara bisa timbul baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sebagaimana telah disinggung dalam banyak literatur, kejahatan finansial seperti korupsi merupakan sebuah organisasi yang bisa bertahan dan terus memperkuat dirinya karena dukungan pendanaan yang kuat. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi harus diarahkan pada upaya, bukan hanya menjerat pelakunya, tetapi juga melumpuhkan organisasi kejahatan itu.
Dalam kasus Ayin, suap dirinya terhadap jaksa Urip Tri Gunawan, mantan Ketua Tim Pemeriksa Kasus Korupsi BLBI senilai Rp 37 triliun yang melibatkan Syamsul Nursalim, bos BDNI, bukan tanpa kepentingan. Dari persidangan terhadap Urip Tri Gunawan, terungkap bahwa Syamsul Nursalim masih menunggak utang sebesar Rp 4,76 triliun kepada negara.
Sebelumnya, Urip Tri Gunawan bersama timnya juga telah menyimpulkan bahwa tidak ada indikasi pidana korupsi dalam kasus penyelesaian kewajiban BDNI. Dengan demikian, suap Ayin kepada Urip Tri Gunawan, selaku aparat penegak hukum, memiliki motif untuk menghentikan proses hukum terhadap Syamsul Nursalim.
Logika sederhana mengatakan, berhentinya penanganan kasus Syamsul Nursalim oleh Kejaksaan Agung karena adanya suap membuat kerugian negara dalam kejahatan suap itu menjadi terang benderang. Uang senilai Rp 4,7 triliun yang semestinya menjadi milik negara masih dikuasai Syamsul Nursalim karena adanya kongkalikong dalam penegakan hukumnya. Tak mengherankan jika dengan kemampuan finansialnya seorang Ayin bisa mendapatkan perlakuan bak tokoh penting di penjara.
Perbuatan baik selama di penjara juga menjadi alasan kuat mengapa Ayin bisa mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Sayangnya, perbuatan baik yang dimaksud dalam peraturan pemerintah tersebut berlaku untuk semua narapidana, baik koruptor, maling ayam, pembunuh, pemerkosa, maupun perampok.
Padahal secara umum, koruptor memiliki perbedaan status sosial, pendidikan, dan ekonomi yang lebih tinggi daripada pelaku kejahatan jalanan (street crimes). Itu mengapa korupsi dikatakan sebagai kejahatan kerah putih (white collar), bukan kerah biru (blue collar).
Dengan kemapanan itu, pelaku korupsi tidak menghadapi kesulitan sama sekali untuk berbuat baik karena memberikan uang kepada petugas LP juga bisa dianggap berbuat baik. Jika konstruksinya demikian, hukum yang ada hanya akan ditegakkan untuk memenuhi rasa keadilan koruptor sekaligus membalas kebaikannya, bukan untuk mengadili kejahatan luar biasanya.
Adnan Topan Husodo Wakil Koordinator ICW
Tulisan ini disalin dari Kompas 28 Januari 2011