Delegitimasi Setengah Hati

KASUS pemeriksaan para pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh penyidik Polri dan rencana DPR memangkas kewenangan penuntutan KPK merupakan dua hal yang berbeda, tapi menyentuh dua hal yang sama. Dua hal yang sama tersebut adalah kewenangan multifungsi dan superbodi KPK. Dua hal itu merupakan kewenangan yang selama ini memberikan kekuatan tambahan bagi KPK sehingga citra sukses dan integritas pemberantasan korupsi melampaui Polri dan kejaksaan, baik dalam penyidikan maupun penuntutan.

Jika dewan jadi memangkas kewenangan multifungsi dan posisi superbodi KPK dalam pemberantasan korupsi, KPK hanya berwenang menyidik. Itu jelas bukan arah kebijakan yang sepenuhnya tepat. Seperti diungkapkan oleh Ian McWalter (JP Books, 2006), secara internasional UN Convention Against Corruption 2003 (Konvensi Antikorupsi) memang memungkinkan adanya perbedaan badan-badan yang bertanggung jawab untuk setiap area dan strategi antikorupsi negara peserta, baik dalam satu badan multifungsi atau badan-badan yang terpisah.

Tampaknya, alasan yang coba dibesarkan adalah kejaksaan merupakan satu-satunya lembaga penuntutan berdasar UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Jika demikian, menjadi tidak sinkron apabila KPK juga diberi kewenangan penuntutan berdasar UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pendekatan seperti itu jelas menunjukkan pandangan yang ahistoris atas dibentuknya KPK. Sejarah mencatat (konsideran menimbang UU KPK), salah satu pertimbangan dibentuknya KPK adalah in­stitusi-institusi yang telah ada belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Kelebihan Multifungsi
Multifungsi KPK memiliki kelebihan apabila dibandingkan dengan pemberian fungsi tunggal -penyidikan belaka. Sebab, menurut pandangan institusional, hukum merupakan instrumen kekuasaan, baik untuk memenuhi kepentingan-kepentingan personal atau ideologis maupun kebijakan individu atau kelompok yang mendukung. Individu atau kelompok akan berusaha merampas atau mengooptasi hukum dalam cara-cara yang mungkin. Untuk memenuhi hal tersebut, individu atau kelompok itu menginterpretasi, memanipulasi, dan menggunakan hukum untuk melayani tujuan-tujuan masing-masing (Tamanaha, 2006).

Kendati sama-sama menegakkan hukum, integritas Polri dan kejaksaan di satu pihak serta KPK di pihak lain yang instrumental tetap saja ditentukan oleh tujuan-tujuan institusional maupun individu masing-masing. Artinya, ketika fungsi penuntutan dikembalikan kepada kejaksaan dan KPK hanya berwenang menyidik, proses itu setidak-tidaknya telah melibatkan dua institusi dengan kepentingan, kebijakan, dan tujuan, baik yang bersifat personal atau ideologis, individual, maupun institusional yang berbeda. Sehingga, tarik-menarik kepentingan penyidikan dan penuntutan sangat terbuka.

Sebaliknya, pengalaman membuktikan, ketika KPK memiliki multifungsi, penyidikan dan penuntutan selalu terintegrasi, suatu potret penuh sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Dalam konteks itu, risiko munculnya kesenjangan interpretasi hukum dalam penyidikan dan penuntutan sangat kecil.

Penetapan tersangka terhadap dua komisioner KPK oleh Polri berdasar pasal-pasal penyalahgunaan kekuasaan (korupsi kekuasaan) membuktikan, secara institusional antara Polri dan KPK bukan hanya telah berbeda interpretasi terhadap norma-norma UU Antikorupsi (UU 31/1999 jo UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) dan KUHP, tapi juga perbedaan tujuan institusional atau personal dalam konteks menjaga integritas hukum.

Itu pun baru tahap penyidikan, khususnya mengenai penetapan tersangka. Bahkan, dalam kasus tersebut, fungsi koordinasi dan supervisi KPK dilangkahi Polri. Seharusnya, Polri dalam penyidikan dua komisioner KPK tetap berada dalam rentang koordinasi dan supervisi KPK, sebagaimana diatur dalam pasal 6-11 UU KPK (UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Artinya, Polri meng­anggap fungsi koordinasi KPK yang dijamin undang-undang dapat dikesampingkan dalam konteks seperti itu.

Karena itu, mendelegitimasi kewenangan penuntutan KPK berpotensi kontra produktif terhadap keberhasilan pemberantasan korupsi. Delegitimasi kewenangan penuntutan KPK juga tidak memiliki alasan substansial, terutama alasan tentang cara mendayagunakan hukum. Rasionalitas yang dikembangkan oleh kejaksaan maupun legislatif masih sangat formal dan seputar distribusi kekuasaan belaka. Sepatutnya, kejaksaan maupun DPR berargumen dengan menunjukkan ihwal cara mendayagunakan hukum yang lebih baik apabila kembali diserahkan kepada kejaksaan.

Resistansi terhadap Superbodi
Kejaksaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sebenarnya juga memiliki multifungsi, yakni penyidikan dan penuntutan, sama dengan KPK. Sejarah kewenangan penyidikan oleh kejaksaan terhadap tindak pidana korupsi pun diwarnai "perebutan" dengan Polri. Meskipun, akhirnya Polri harus tetap berbagi fungsi penyidikan dengan kejaksaan. Sejak dibentuk KPK, penyidikan menjadi kewenangan tiga institusi. Tapi, kewenangan penyidikan kejaksaan tidak menimbulkan resistansi seperti yang dihadapi KPK dalam ihwal penuntutan.

Resistansi terhadap kewenangan KPK yang sangat besar jika dibandingkan dengan Polri dan kejaksaan merupakan rasionalitas lain yang dikembangkan untuk mengembalikan penuntutan perkara korupsi kepada kejaksaan. Mengapa resistan? Sebab, kewenangan superbodi KPK menjadikan Polri dan kejaksaan subordinat.

Apabila kewenangan penuntutan dikembalikan kepada kejaksaan, fungsi koordinasi dan supervisi, termasuk pengambilalihan penuntutan, harus dihapus dari UU KPK. Tidak rasional apabila tanpa kewenangan penuntutan, KPK tetap memiliki wewenang koordinasi dan supervisi, termasuk pengambilalihan penuntutan. Artinya, separo kewenangan KPK dicabut. Sehingga, KPK tidak tepat lagi menyandang superbodi. Bahkan, penyidikan oleh KPK menjadi subjek koreksi kejaksaan. Posisi hubungan kejaksaan-KPK menjadi berubah dan berbalik arah. Belum lagi isu pembatasan atau penghapusan kewenangan menyadap dan merekam pembicaraan seperti diatur pasal 12 UU KPK.

Mengapa kewenangan penyidikan KPK tidak direncanakan untuk dicopot sekaligus sehingga KPK hanya berperan melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud pasal 13 UU KPK dan tugas memonitor sebagaimana diatur dalam pasal 14 UU KPK? Pada titik itu, KPK benar-benar tidak lagi menjadi penegak hukum dalam pemberantasan korupsi. Jadi, kuat kesan bahwa rencana pemangkasan kewenangan penuntutan dari KPK merupakan delegitimasi setengah hati atau semata-mata menyeimbangkan kewenangan antara Polri, kejaksaan, dan KPK.

Selain tidak rasional, rancang bangun lem­baga pemberantasan tindak pidana korupsi seperti itu tidak efisien. KPK kehilangan makna historis maupun instrumental. (*)

*). Dr Hari Purwadi SH MHum, dosen FH Universitas Sebelas Maret, Solo

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 17 September 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan