Delegitimasi Moral di Tubuh KPU

Berbagai ragam reaksi bermunculan ketika orang mendengar berita bahwa anggota KPU Mulyana W. Kusumah yang juga kriminolog lulusan Universitas Indonesia ditangkap dan ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Peristiwa ini jelas memiliki news value sangat tinggi.

Drama Mulyana menarik diikuti. Bahkan, mungkin kasus yang kini menghadang dia sangat menarik dijadikan tesis. Tesis para calon kriminolog menyoal kasus kriminolog yang tengah dihadang masalah.

Informasi dugaan kasus korupsi di tubuh KPU Pusat sebenarnya sudah diangkat sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) sejak Agustus 2004. Dalam temuannya, secara rinci koalisi LSM mencatat dugaan korupsi, antara lain, Rp 170,04 miliar (distribusi logistik), Rp 56,468 miliar (surat suara), Rp 2,775 (pengadaan mobil operasional KPUD), Rp 31,207 (pengadaan kotak suara), Rp 80,10 miliar (pembengkakan kotak suara), Rp 6,2 miliar (pengadaan bilik suara), dan Rp 28,554 miliar (pembengkakan bilik suara) (Kompas, 13 April).

Namun, dalam perkembangnnya, kasus dugaan korupsi itu bagaikan tertelan bumi. Tidak ada tindak lanjut dari pihak-pihak penyidik, baik KPK, kepolisian, maupun kejaksaan. Kini dugaan korupsi di KPU tersebut semakin terkuak dengan munculnya kasus Mulyana W. Kusumah.

Kondisi itu sungguh sangat ironis dan memprihatinkan.
Lembaga penyelenggara pemilu yang dihuni para i
ntelektual dan akademisi yang dikenal publik memiliki kredibilitas moral kok sampai diduga tersangkut praktik korupsi.

Munculnya dugaan korupsi di KPU tersebut akan menimbulkan image buruk di tengah masyarakat. Meskipun kasusnya masih bersifat dugaan, masyarakat yang awalnya percaya bisa berubah menjadi tidak percaya dan dapat dipastikan mereka pun sudah mulai mempertanyakan kredibilitas moral anggota KPU.

Kita mungkin masih ingat ketika rekrutmen anggota KPU Pusat dibuka. Masyarakat menginginkan dan mengharapkan betul orang-orang yang akan duduk sebagai anggota KPU Pusat tidak sekadar memiliki kapasitas, aksesibilitas, dan kompetensi intelektual, tapi juga orang-orang yang memiliki kredibilitas moral yang kuat.

Para anggota KPU Pusat dulu sudah melewati serangkaian fit and proper test, terutama berkaitan dengan uji kemampuan dan kompetensi. Bahkan, masyarakat saat itu mengharapkan orang-orang yang akan duduk di keanggotaan KPU Pusat berasal dari kalangan perguruan tinggi.

Orang-orang kampus dinilai publik tidak hanya memiliki kemampuan dan kompetensi, tetapi juga kredibilitas moral dan independensinya cukup memadai. Dan, setelah menjalani tes uji kamampuan dan kompetensi, keluarlah lima nama Nazaruddin Sjamsuddin (UI) dan kawan-kawan.

Semua anggota KPU Pusat adalah para intelektual, akademisi kampus, dan mantan aktivis yang sangat vokal ketika kampanye antikorupsi. Dengan komposisi tersebut, masyarakat berharap dan optimistis bahwa kerja dan kinerja KPU Pusat akan dapat berjalan dengan baik dan bebas dari korupsi.

Namun, semua harapan dan optimisme masyarakat tersebut kini bagaikan suara iklan minyak wangi di TV: Kesan pertama sungguh menggoda, selanjutkan terserah Anda.... dan ternyata sungguh mengecewakan.

Dugaan korupsi itu secara langsung maupun tidak akan b
erdampak pada legitimasi moral dan politik KPU, baik secara institusional maupun personal. Jika kasus korupsi tersebut berlanjut dan bergulir bagaikan bola salju, KPU secara perlahan-lahan, tapi pasti, akan mengalami proses delegitimasi moral dan politik di hadapan masyarakat.

Kalau dugaan korupsi di KPU benar adanya, tentu itu akan sangat memukul korps akademik dan juga dunia intelektual pada umumnya. Betapa korupsi telah mengakar dan meluas ke mana-mana. Betapa korupsi telah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari dan berada di lingkungan mana pun.

Memang, masih harus dibuktikan dan dijelaskan bagaimana kasus yang sebenarnya terjadi. Benarkah dapat dikategorikan korupsi atau masih berada di wilayah abu-abu? Ketidakjelasan peraturan bisa mengakibatkan kebingungan untuk menetapkan korupsi atau bukan.

Kita mendorong KPK untuk memprioritaskan penyelidikan kasus tersebut tanpa harus dilandasi motif-motif lain, selain karena tugas penegakan hukum dan penanganan kasus-kasus korupsi. Tidak peduli, apakah itu menyangkut anggota legislatif, gubernur, pejabat pemerintah, atau tokoh-tokoh seperti Mulyana dan anggota KPU yang lain.

Namun, sebelum semuanya jelas dan terbukti, kita tak perlu berspekulasi. Yang diharapkan, KPU sebagai lembaga tidak berdiam diri. Kalau perlu, KPU segera memberikan penjelasan kepada publik tentang apa yang sesungguhnya terjadi.
Wallahu a

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan