Delegitimasi Kewenangan Penuntutan KPK

Kewenangan tuntutan KPK diamputasi. Informasi itu terasa langsung "menggedor" dan "menikam" pada "jantung-hati" gerakan pemberantasan korupsi. Tak pelak lagi, pemberantasan korupsi dipaksa untuk menghadapi tantangan baru yang kian berat ditengah kedahsyatan perkembangan kejahatan korupsi yang masih kuat dan terus merajalela. Tindakan Panja RUU Pengadilan Tipikor dapat dikualifikasi sebagai tindak sewenang-wenang serta bagian penting dari proses delegitimasi atas tata nilai dan kesisteman pemberantasan korupsi yang ada.

Tindakan Panja RUU Pengadilan Tipikor dinilai sewenang-wenang karena memaksakan "mencabut" kewenangan penuntutan dari KPK yang diatur secara eksplisit di dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. RUU dimaksud seyogianya hanya mengatur hal ichwal mengenai Pengadilan Tipikor dan sama sekali tidak tersebut di dalam agenda dan daftar inventarisasi masalah yang diajukan oleh semua fraksi dan pemerintah. Jauh lebih penting dari hal tersebut, tindakan ini dilakukan tanpa kajian yang cukup mendalam karena tidak nazca akademis yang merekomendasikan hal tersebut, tidak melibatkan KPK secara intensif dalam proses diskusi.

Ada dua hal lainnya yang juga menarik untuk diajukan, yaitu: dewan sepertinya hendak mengejar "setoran" dan "ngebut" menyelesaikan berbagai undangan yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kualitas perundangan serta tengah dilakukannya upaya kriminalisasi terhadap kewenangan yang dimiliki KPK dengan cara memanggil pimpinan KPK tanpa dasar alasan yang dapat dipertanggung jawabkan.

Ada 3 (tiga) alasan yang dapat diajukan untuk sampai pada kesimpulan terjadinya proses deligitimasi kewenangan KPK berkaitan dengan dihapuskannya kewenangan penuntutan yang dimiliki oleh KPK, yaitu: kesatu, rancangan undang-undang telah mengabaikan "success story" penegakan hukum di era SBY-JK. Cerita sukses cukup menarik untuk dijadikan rujukan ketika SBY-JK membuat kebijakan membentuk Tim Tastipikor melalui Keppres No. 11 Tahun 2005. Masa kerja Tim yang hanya 2 (dua) tahun dengan fokus penyelesaian dugaan korupsi yang ada 16 BUMN, 4 Departemen, 3 Perusahaan Swasta dan 12 koruptor yang melarikan diri, dikualifikasi "berhasil" dan menunjukan hasil yang cukup baik.

Salah satu penyebab utama keberhasilan Timtastipikor, karena sistem penegakan hukumnya mencoba mengintegrasikan fungsi "penyidikan-penuntutan" dengan ditopang oleh lembaga BPKP yang mempunyai keahlian di bidang investigasi dan audit. Senyatanya, KPK adalah bentuk formalisasi dari Tim Tastipikor dengan mengukuhkan dan mengintegrasikan fungsi dan kewenangan penyidikan-penuntutan. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan bila KPK juga berhasil memperlihatkan kinerja terbaiknya dan menyeret koruptor dalam berbagai kasus korupsi kebalik jeruji besi penjara;

Kedua, salah satu kekhasan dan kekhususan dalam sistem pemberantasan korupsi adalah pemberian wewenang tertentu secara khusus pada KPK untuk meningkatkan optimalisasi pemberantasan korupsi. Hal tersebut juga untuk memenuhi asas KUHAP berupa efisiensi dan efektifitas penyidikan dan penuntutan sesuai prinsip sederhana, cepat dan murah. Di integrasikannya fungsi dan kewenangan penyidikan-penuntutan tidak hanya wujud kongkrit dari penerapan asas-asas KUHAP saja tetapi juga suatu upaya untuk meningkatkan akuntabilitas proses penegakan hukum. Ada cukup banyak fakta dapat menjelaskan, kepolisian dan penuntutan acapkali tidak "seiring jalan" dalam proses penanganan tindak criminal, khususnya korupsi;

Ketiga, terintegrasikannya fungsi penyidikan-penuntutan juga dapat digunakan untuk meminimalsisasi potensi korupsi diantara lembaga penegakan hukum. Ada cukup banyak fakta yang memperlihatkan "kecurangan" dalam proses bolak-balik perlara diantara penyidik dan penutut umum sehingga menyebabkan tersangka dengan terpaksa dilepaskan dari tahanan karena masa tahanannya sudad habis padahal proses bolak-balik perlara belum selesai. Keadaan sedemikian pada akhirnya menyebabkan terjadinya  ketidakpastian hukum. Indonesia pernah mempunyai sistem penegakan hukum yang menempatkan kepolisian menjadi pembantu Jaksa atau hulp magistraat. Pada periode itu, fakta dan potensi kecurangan diantara penyidik dan penutut umum tidak "sehebat" seperti saat ini.

Seluruh uraian di atas menegaskan akan banyak kemudharatan dapat terjadi dengan tindakan sewenang-wenang Panja RUU Tipikor mencabut kewenangan penuntutan KPK.

Bambang Widjojanto, Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Advisor Partnership for Governance Reform, Senior Partner WSA Lawfirm

Tulisan ini disalin dari Jurnal Nasional, 16 September 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan