Degradasi Pemberantasan Korupsi

Salah satu alasan mengapa korupsi kurang dipelajari sebagai masalah kebijakan mungkin karena perasaan tidak ada yang bisa dilakukan untuk itu.

Usia korupsi sama tuanya dengan pemerintah itu sendiri (Robert C Tilman: 1979). Tilman benar. Pasalnya, kebijakan pemerintah dalam pemberantasan korupsi kadang malah menimbulkan efek korupsi yang lebih akut meski kebijakan itu sebelumnya dimaksudkan sebagai tindakan preemtif ataupun preventif terhadap kasus korupsi.

Contoh, kebijakan terbaru pemerintah untuk menyelamatkan uang negara yang diambil anggota DPRD 2004-2009 melalui tunjangan komunikasi intensif (TKI) serta belanja penunjang operasional (BPO) pimpinan dan anggota DPRD dinilai kontraproduktif dengan usaha memberantas korupsi di negara ini.

Penggembosan
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) menerbitkan surat edaran (SE) No 555/3032/SJ pada 18 Agustus 2009 (SE 555) yang menjawab surat Ketua Asosiasi DPRD Provinsi Se-Indonesia bernomor 42/ADPSI/VII/2009 tanggal 31 Juli 2009.

Petikan isi SE itu menyatakan, jika sampai batas waktu yang ditentukan anggota DPRD belum melunasi pengembalian TKI dan BPO, tidak akan dilimpahkan kepada penegak hukum alias tidak dipidana. Ketentuan SE itu bak penggembosan ban pemberantasan korupsi.

Sebelumnya, dana TKI dan BPO yang diatur dalam Pasal 10A Peraturan Pemerintah (PP) 37 Tahun 2006 dan diberikan kepada anggota DPRD 2004-2009 dianggap sebagai uang korupsi. Sebab, dana itu tidak sesuai dengan peruntukan, bagian dari penyelewengan anggaran, dan merugikan keuangan negara.

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran menghitung, dana negara yang digelontorkan untuk memenuhi TKI dan BPO sebesar Rp 1,4 triliun. Potensi kerugian negara di beberapa daerah pun beragam. Di DKI Jakarta sebesar Rp 6,55 miliar, Banten Rp 3,79 miliar, Maluku Utara Rp 4,26 miliar, dan NTB Rp 1,1 miliar.

Berdasarkan penghitungan Badan Pemeriksa Keuangan pada semester I dan II tahun 2008, kerugian negara yang baru dikembalikan dari 152 daerah adalah Rp 210,8 miliar (Kompas, 31/08/09). Sisanya, 358 daerah, belum mengembalikan.

Korupsi
TKI dan BPO adalah bagian dari penyelewengan anggaran di daerah. Catatan penggiat antikorupsi memetakan, penyelewengan anggaran menjadi modus populer di daerah. Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM mencatat, selama tahun 2008-2009, korupsi merupakan modus teratas penyelewengan anggaran (63 persen).

Sebagai perbandingan, tahun 2000-2001, penyelewengan anggaran hampir terjadi di tiap daerah, dimainkan anggota DPRD. Lihat saja neraca belanja DPRD di delapan daerah yang tidak sesuai standar belanja DPRD dalam PP 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Kedelapan daerah itu, DPRD Bengkulu menghabiskan anggaran Rp 5,96 miliar (seharusnya hanya Rp 5,06 miliar), DPRD Lampung Rp 15,02 miliar (seharusnya Rp 8,46 miliar), DPRD DKI Jakarta Rp 90,03 miliar (seharusnya Rp 30,16 miliar), DPRD Jawa Timur Rp 29,80 miliar (seharusnya Rp 9,45 miliar), DPRD Kalimantan Barat Rp 10,32 miliar (seharusnya Rp 5,42 miliar), DPRD NTT Rp 8,09 miliar (seharusnya 4,95 miliar), DPRD NTB Rp 11,89 miliar (seharusnya Rp 4,44 miliar), DPRD Sulawesi Tengah Rp 8,17 miliar (seharusnya Rp 7,27 miliar) (HCB Dharmawan, dkk: 2004).

Kebijakan pemerintah tentang TKI dan BPO dalam PP 37 Tahun 2006 menuai banyak protes. Ketentuan TKI dan BPO lalu dicabut pemerintah. PP 21 Tahun 2007 terbit menggantikan PP 37 Tahun 2006, memidanakan anggota DPRD yang tetap mengonsumsi dana TKI dan BPO.

Bersamaan terbitnya PP 21 Tahun 2007, Mendagri menerbitkan SE 700/08/SJ (SE 700) ihwal tunggakan pengembalian dana TKI dan BPO. SE 700 memerintahkan agar jika sampai batas waktu yang ditentukan pimpinan dan anggota DPRD belum melunasi TKI dan BPO, mereka akan diseret aparat penegak hukum di daerah. Artinya, dengan ketentuan PP 21 Tahun 2007 dan SE 700, tanggal 22 Agustus 2009 adalah batas akhir anggota DPRD mengembalikan uang negara. Namun, kebijakan baru Mendagri (SE 555) telah mendegradasi usaha pengembalian uang negara itu.

Usaha memberantas korupsi harus terus jalan. Degradasi pemberantasan korupsi harus diakhiri. Pertama, Mendagri harus mencabut SE 555. Pencabutan itu penting guna menjaga emosi pemberantasan korupsi agar tidak kendur.

Kedua, aparat penegak hukum harus tetap aktif memeriksa anggota DPRD yang belum mengembalikan dana TKI dan BPO. Berharap kebijakan pemerintah menjadi kebajikan dalam pengembalian harta negara.

 Hifdzil Alim Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM

Tulisan ini disalin dari Kompas, 28 September 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan