Daya Tarik Korupsi Buku
Di era reformasi ini sudah biasa pejabat negara masuk penjara karena kasus korupsi. Menteri, gubernur, bupati, wali kota, hingga anggota DPR/DPRD kini banyak yang menginap di penjara. Di antara mereka ada yang melakukan korupsi dana haji, dana kelautan dan perikanan, dana sapi, dana beras, hingga korupsi dana buku. Anehnya, semakin banyak kasus korupsi yang diungkap, bukannya membuat efek jera di kalangan pejabat, justru semakin banyak dan semakin berani praktik korupsi di negeri ini.
Dari sekian banyak kasus korupsi di negeri ini, kasus korupsi buku tergolong menarik diamati karena buku adalah media untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Lebih-lebih lagi kasus korupsi buku itu terjadi di Sleman, Yogyakarta, yang notabene sebagai kota pendidikan. Terkait dengan korupsi buku tersebut, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman sudah divonis penjara, kini menurut KPK, Bupati Sleman juga sudah dijadikan tersangka. Semakin lengkaplah wajah buram korupsi di Tanah Air dengan terungkapnya kasus korupsi buku di Sleman, Yogyakarta.
Wabah korupsi di negeri ini sudah merambah ke semua lini, mulai dari korupsi dana haji, korupsi dana Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), hingga korupsi dana buku. Pelaku korupsi di Tanah Air ternyata tidak tanggung-tanggung, mulai dari politisi busuk, politisi yang kelihatan alim, pejabat negara, hingga tokoh agama. Kasus korupsi buku di Sleman, Yogyakarta, menjadi sangat menarik diamati di tengah maraknya demo guru menuntut kesejahteraan.
Selain itu, korupsi buku di Sleman, Yogyakarta, juga ikut merusak citra Yogyakarta sebagai kota pendidikan. Semestinya Yogyakarta bisa menjadi teladan tentang dunia pendidikan, termasuk perhatian dan kecintaan pada buku. Sungguh sangat ironis dan memalukan manakala di kota pendidikan ini justru terjadi korupsi buku. Lebih memprihatinkan lagi, pelaku yang terlibat dalam korupsi buku ini Kepala Dinas Pendidikan dan Bupati Kabupaten Sleman.
Buku adalah sumber ilmu pengetahuan dan lewat buku pulalah usaha mencerdaskan kehidupan bangsa bisa diwujudkan. Tidak sepantasnyalah dilakukan korupsi buku di tengah giatnya usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Apalagi saat ini guru sebagai bagian penting dalam proses pendidikan masih dalam kondisi memprihatinkan sehingga mereka terpaksa melakukan demo untuk menuntut perbaikan kesejahteraan.
Menjadi pemandangan yang sangat kontras manakala di tengah penderitaan guru justru terjadi korupsi buku dan yang lebih tragis lagi korupsi buku itu terjadi di kota pendidikan. Korupsi memang tidak mengenal tempat, tidak mengenal jabatan, dan tidak mempunyai etika sama sekali. Itulah sebabnya penyakit korupsi bisa merambah ke mana saja dan juga bisa dilakukan oleh siapa saja. Ketika hati nurani sudah buta dan tatkala nilai kejujuran sudah rapuh, maka korupsi pun semakin merajalela. Namun, sekali lagi citra Yogyakarta sebagai kota pendidikan sangat terusik dengan terjadinya korupsi buku yang dilakukan oleh pejabat yang semestinya bisa menjadi panutan. Dampak dari korupsi buku ini sangat luar biasa, sebab langsung atau tidak buku senantiasa memberi sentuhan pendidikan yang sangat berarti bagi anak didik.
Sedikit atau banyak anak didik di Yogyakarta akan mengetahui bahwa telah terjadi korupsi buku di daerahnya. Mereka telah disuguhkan pelajaran lewat praktik langsung tentang korupsi yang dilakukan oleh Kepala Dinas Pendidikan dan bupatinya sendiri. Pendidikan seperti ini sekali lagi sungguh luar biasa dampak negatifnya, baik bagi anak didik di Yogyakarta maupun bagi masyarakat luas. Selain itu, citra Yogyakarta sebagai kota pendidikan secara langsung atau tidak akan ikut pudar. Padahal, betapa susahnya dewasa ini membangun citra Yogyakarta sebagai kota pendidikan di tengah banyaknya krisis moral yang melanda kota ini. Memang korupsi tidak mengenal batas dan tidak peduli apakah yang dikorupsi dana buku, dana pajak, dana sapi, dana haji, dan lain- lain. Tindakan korupsi cenderung menghalalkan segala cara, demi untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Pelaku korupsi jelas tidak punya hati nurani karena tindakan mereka cenderung mencari kebahagiaan di atas penderitaan orang lain. Mereka menghalalkan segala cara sehingga begitu banyak orang yang menderita akibat tindakan korupsi yang mereka lakukan. Anehnya lagi, kenapa korupsi di negeri ini tidak bisa membuat efek jera. Sebab, sepertinya tidak pernah ada rasa takut dalam melakukan korupsi di negeri ini.
Memalukan Yogyakarta selama ini selalu tampil menjadi pelopor dalam berbagai perjuangan tentang kebaikan sehingga kota ini mendapat berbagai predikat yang membanggakan. Yogyakarta disebut sebagai kota perjuangan, kota budaya, kota pendidikan, kota reformasi, dan lain- lain. Namun, ketika di kota ini (Sleman) terjadi korupsi buku, sungguh sangat memalukan. Buku merupakan sumur ilmu pengetahuan dan lewat buku pulalah anak-anak bangsa bisa dicerdaskan.
Menjadi satu kesatuan yang utuh antara buku, guru, dan anak didik sehingga tatkala ada satu bagian yang rusak akan berdampak buruk pada bagian yang lain. Apalagi guru saat ini diuji kesabarannya terkait dengan kesejahteraan yang masih memprihatinkan, ditambah lagi terjadi korupsi buku yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Lalu, bagaimana nanti nasib anak bangsa ini manakala mereka melihat pemandangan aneh yang tak patut diteladani? Di sisi lain, pemerintah terus mendengung-dengungkan peningkatan kualitas pendidikan. Betapa buramnya wajah pendidikan bangsa ini manakala buku sebagai sumber ilmu pengetahuan sudah menjadi sasaran korupsi.
Untuk membangun kembali citra Yogyakarta sebagai kota pendidikan, tampaknya tak ada pilihan lain kecuali mengusut tuntas kasus korupsi buku yang terjadi di Sleman. Siapa pun pihak yang terlibat, hendaknya harus diseret ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan tindakan bejat yang mereka lakukan.
Hukum harus ditegakkan secara adil kepada siapa pun, baik bupati, DPRD, maupun pejabat Dinas Pendidikan. Jangan ada tebang pilih dalam penegakan hukum, dengan komitmen yang benar harus dikatakan benar dan yang salah dikatakan salah. Tidak boleh muncul sikap ewuh pakewuh dalam menegakkan keadilan, apalagi permainan rekayasa karena mengamankan jabatan seseorang. Kalau kasus korupsi buku ini ditangani dengan jujur dan adil, barangkali citra Yogya sebagai kota pendidikan akan pulih kembali. Semoga nama baik Yogya sebagai kota pendidikan tidak akan tercemar karena kasus korupsi buku ini.
Hamdan Daulay Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tulisan ini disalin dari Kompas, 31 Juli 2007