DAU, Dikembalikan atau Dimanfaatkan

"Tak Perlu Lagi Ada DAU," judul Jati Diri Jawa Pos 29/12/08. Dalam tulisan itu redaksi mengopinikan, sebagai dana umat, sudah seharusnya DAU (Dana Abadi Umat) dikelola untuk kepentingan kemaslahatan umat atau untuk perbaikan kualitas pelayanan ibadah haji. Bukan untuk yang lain, apalagi untuk tunjangan pejabat Depag.

Ide membentuk DAU didasari besarnya potensi yang tersimpan dalam prosesi perjalanan haji. Setelah melalui beberapa kali seminar, Menag saat itu, dr Tarmizi Tahir, membentuk DAU yang dihimpun dari efisiensi biaya perjalanan ibadah haji, dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat dalam bidang pendidikan dan dakwah, kesehatan, sosial, ekonomi, pembangunan sarana dan prasarana ibadah, serta penyelenggaraan ibadah haji.

Dilihat dari sini tampak betapa mulianya niat pembentukan DAU. Namun, di balik niat suci itu terkandung satu problem utama yang menodai kesucian niat itu, yaitu DAU sesungguhnya adalah dana milik jamaah haji karena seluruh biaya penyelenggaraan haji di negeri ini dari dana jamaah haji, tanpa ada subsidi negara. Pemerintah, dalam hal ini Depag, hanya bertindak sebagai pengelola.

Dengan demikian, dana itu adalah hak para jamaah haji yang tidak boleh dimanfaatkan siapa pun tanpa seizin pemiliknya. Pemanfaatan tanpa izin dapat dikategorikan pencurian, meski untuk tujuan yang baik. Pertanyaannya, apakah ketika mengambil dana itu Depag sudah meminta izin kepada para jamaah?

Selain itu, ternyata sejarah perjalanan DAU pun dipenuhi banyak masalah. Dana yang seharusnya untuk kemaslahatan umat itu ternyata sering disalahgunakan untuk kemaslahatan pejabat negara. Contoh paling nyata penyelewengan DAU melibatkan Menag era Megawati, Said Agil Al-Munawar, yang divonis hukuman lima tahun penjara. Selain Agil, mantan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag Taufiq Kamil dihukum empat tahun penjara atas kasus yang sama. Sejarah penyalahgunaan itu akan semakin panjang bila laporan ICW tentang gratifikasi DAU tersebut benar adanya.

Dari sinilah saya sepakat dengan gagasan untuk meniadakan DAU seperti judul Jati Diri Jawa Pos, minimal menghentikannya untuk sementara waktu. Namun, bagaimana dengan nasib DAU 1,4 triliun yang telanjur dipungut dari jamaah haji di masa lalu? Perlukah dikembalikan ke jamaah?

Belajar Ke Malaysia

Sebagai hak jamaah haji adalah berhukum wajib bila Depag mengembalikan dana itu kepada pemiliknya, meskipun toh langkah ini cukup berat. Namun, Depag bisa mengambil jalan lain yang "agak ringan" dengan meminta keridhaan seluruh jamaah haji di masa lalu yang dananya masuk dalam DAU untuk dimanfaatkan demi kepentingan umat. Tentu saja jalan ini harus disertai dengan komitmen tinggi menjaga amanah itu.

Bila langkah ini diambil, Depag sebagai pengelola DAU bisa belajar pada Malaysia dalam pengelolaan dana perjalanan haji. Di negeri jiran itu, dana haji yang dikelola Tabung Haji Nasional Malaysia (THNM) menjadi lembaga keuangan yang meraksasa dan memberikan manfaat besar kepada masyarakat luas.

THNM merupakan lembaga nonbank di bawah pemerintahan federal Malaysia yang bertugas melayani masyarakat yang berniat menunaikan ibadah haji. Selain menerima setoran haji, lembaga ini diberi wewenang menyelenggarakan pelaksanaan haji. Dengan demikian tugas THNM tidak jauh berbeda dengan tugas Dirjen Penyelenggaraan Haji Depag.

Namun, berbeda dengan Depag, THNM berhasil menjadi penyelenggara perjalanan haji yang sukses. Lihat saja, selama beberapa tahun jamaah haji Malaysia mendapat pelayanan prima. Sebagai contoh, penginapan yang disediakan bagi jamaah haji reguler asal Malaysia hanya berjarak 100-300 meter dari Masjidilharam dengan kualitas hotel berbintang. Bahkan, tenda untuk menanti wukuf di Padang Arafah pun dilengkapi pendingin ruangan nan sejuk di tengah panasnya padang pasir.

Sementara jamaah haji Indonesia harus tinggal jauh dari Masjidilharam. Untuk perjalanan haji 1429 H kemarin, jarak pemondokan jamaah haji asal Indonesia dari Masjidilharam lebih dari 10 km. Belum lagi fasilitas penginapan untuk mereka jauh di bawah penginapan yang disediakan THNM untuk jamaah haji Malaysia.

Selain itu, pada 2008 THNM memberikan subsidi 100 juta RM dari keuntungan 2007 untuk 27.000 jamaah haji. Dana sebesar itu digunakan untuk subsidi biaya penerbangan, penginapan, dan uang saku 2.600 RM bagi setiap jamaah. Bila dikurskan ke rupiah, setiap JCH Malaysia mendapat uang saku sekitar Rp 6,5 juta (1 RM = Rp 2.500). Jumlah yang tidak sedikit. Bahkan, THNM bersama Lembaga Pembangunan Industri Pembinaan Malaysia saat ini menjajaki kerja sama dengan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi untuk membangun hotel Tabung Haji di Makkah. Direncanakan THNM mempunyai hotel sendiri di Makkah menjelang 2011 (Berita Harian, 3/11/2008).

Kesuksesan THNM bukan hanya dalam pelayanan peribadatan para tamu Allah di Tanah Suci. Mereka bahkan mampu menginvestasikan dana haji yang dihimpunnya ke berbagai bidang usaha, seperti pembangunan Kuala Lumpur International Airport (KLIA) yang sangat megah, pembangunan pembangkit listrik Bakun Dam di Serawak, dan perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Alhasil, "DAU" di Malaysia membawa kemaslahatan yang maksimal dan menjadi salah satu tulang punggung ekonomi negeri jiran itu.

Allahu a'lam

Ahmad Khoirul Fata, aktivis Jaringan KB PII Muda Jatim

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 2 Januari 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan