Darurat Seleksi KPK: Tolak upaya meloloskan kandidat bermasalah

Tahapan proses seleksi pimpinan KPK sudah memasuki fase akhir. Senin (15 Agustus 2011), panitia seleksi sudah melakukan tahapan wawancara yang diikuti oleh seluruh kandidat yang masuk pada 10 besar. Adapun sepuluh besar calon pimpinan KPK tersebut antara lain Abdullah Hehamahua, Abraham Samad, Adnan Pandupradja, Aryanto Sutadi, Bambang Widjojanto, Egi Sutjiati, Handoyo Sudrajat, Sayid Fadhil, Yunus Husein, dan Zulkarnain

Masing- masing kandidat telah  “ditelanjangi” semua rekam jejak hidupnya sampai kepada hal-hal yang bersifat pribadi dalam proses wawancara tersebut. Tentu menjadi sesuatu hal yang wajar untuk mencari pimpinan KPK yang terbaik. Sehingga meminimalisir potensi persoalan yang muncul dari internal KPK di kemudian harinya .

Jika pansel bersifat objektif dan tidak “masuk angin”, dari proses wawancara yang dilalui kemaren sebenarnya sudah sangat terlihat kualitas masing-masing kandidat. Sangat mudah membedakan kandidat yang layak dan  tidak layak untuk diloloskan menuju tahapan fit and proper test di Senayan. Publik awam yang menyaksikannya pun sudah bisa membedakan mana emas dan loyang.  Tentu amat janggal jika pansel meloloskan kandidat yang demikian, kecuali ada kepentingan lain yang menyusupi pansel.

Tiga aspek seperti integritas , leadership dan komitmen pemberantasan korupsi harus ditempatkan sebagai faktor utama dalam menilai masing-masing kandidat. Tidak boleh ada negoisasi dibalik itu semua, sehingga memaksakan untuk meloloskan orang yang bermasalah.

Hal yang tidak kalah pentingnya, pansel tidak boleh terjebak dengan cara berfikir “bagi-bagi jatah”. Dengan cara memaksakan kandidat yang bermasalah untuk diloloskan hanya dengan pertimbangan keterwakilan institusi. Penting untuk dicatat, bahwa tidak ada satu dasar hukum pun yang mewajibkan KPK diwakili oleh unsur Kepolisian dan Kejaksaan. Sehingga cara berfikir demikian amat sesat disaat kita meletakkan KPK sebagai sebuah lembaga extra yang dibentuk untuk membersihkan korupsi, termasuk di dua institusi tersebut.

Temuan Investigasi
Berdasarkan hasil temuan koalisi yang dilakukan terhadap seluruh kandidat, menyimpulkan dua nama yang dianggap tidak layak untuk diloloskan oleh pansel, yakni Aryanto Sutadji dari latar belakang kepolisan dan Sayid Fadhil. Keduanya dianggap minim prestasi dalam pemberantasan korupsi, namun justru ramai dengan persoalan-persoalan.

Setidaknya ada 17 temuan yang terkait dengan dua kandidat tersebut. semuanya meliputi persoalan integritas hingga komitmen pemberantasan korupsi yang masih “dangkal” . Pansel tidak boleh tutup mata atas temuan ini. Karena jika masih diloloskan, justru akan menjadi bumerang bagi KPK di waktu yang akan datang.

Sulit dibantah, bahwa masa depan KPK saat ini berada pada tangan pansel. Sehingga pansel harus bekerja secara profesional dan menjauhkan diri dari calon-calon titipan yang sebenarnya tidak layak untuk memimpin KPK.

Atas persoalan ini, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak:

  1. Pansel diharamkan meloloskan kandidat-kandidat yang bermasalah yang berpotensi mematikan KPK dan gerakan pemberantasan korupsi;
  2. Jangan ada calon titipan. Pansel harus bersikap profesional dengan mengutamakan aspek kualitas masing-masing calon sebagai faktor utama;
  3. Pansel jangan sampai sesat berfikir, bahwa KPK harus diisi oleh jatah polisi dan jaksa. Karena bertentangan dengan UU dan ahistoris dengan alasan KPK didirikan.

Jakarta, 16 Agustus 2011

Koalisi Masyarakat Sipil

Indonesia Corruption Watch – Mappi FHUI – Transparency International Indonesia – Pusat Studi Hukum dan Kebijakan – Indonesia Legal Roundtable

----------

Resume Hasil Penelusuran Rekam Jejak dan Pemantauan Wawancara
Terhadap Dua Calon Yang Diduga Paling Bermasalah
 

No.

Nama Capim

Informasi

1.

Aryanto Sutadi

1.       Tidak jujur melaporkan kekayaan dalam LHKPN

·         LHKPN calon terakhir melaporkan tanggal 20 Mei 2001, Total harta yang tercantum dalam LHKPN sebesar Rp1,3 miliar.

·         Per: 18 maret 2011, total harta yang dilaporkan Rp. 4,44 Miliar,

·         Jumlah kekayaan 5 Miliar, safe deposit box dan memiliki 9 rekening (diakui dalam wawancara pansel)

·         Namun, berdasarkan temuan hasil pemeriksaan LHKPN sementara, seharusnya total harta yang dilaporkan adalah Rp. 8,51 Miliar

2.       Tidak patuh melaporkan LHKPN saat menjabat sebagai:

·         Direktur I Keamanan Negara dan Kejahatan Trans-nasional (2004)

·         Kapolda Sulawesi Tengah

·         Direktur IV Narkoba Bareskrim Polri (2005)

·         Kadiv. Binkum Mabes Polri

·         Pati Mabes Polri (2009)

3.       Mengakui merekayasa LHKPN

Dalam sesi wawancara dengan peneliti calon mengakui LHKPN yang dilaporkam saat itu sepenuhnya hasil rekayasa.”Tidak saya laporkan semua. Kalau saya laporkan semua LHKPN Pak Kapolri bisa saya kalahkan,” ujarnya.  

Menurutnya saat itu terjadi kesepakatan di Mabes Polri bahwa laporan LHKPN besarannya dibuat seragam sesuai dengan tingkatan.”Kalau tidak salah Pak Kapori itu Rp. 5 miliar. Wakilnya Rp. 4 miliar. Kabareskrim Rp. 3 miliar. Wakabareskrim Rp. 2 miliar. Kalau saya waktu itu Direktur, jadi tidak boleh diatas Rp1,5 miliar. Itu melatih munafik namanya,” ujarnya. Salah satu yang tidak dilaporkan adalah rumah di daerah Kemang, Jakarta Selatan.

 4.     Menoleransi Rekening Gendut Para Jenderal Polisi

Dalam Sesi Wawancara, calon memaklumi kekayaan Para Jenderal dengan jumlah Rp. 10 Miliar. Menurutnya, Jenderal yang memiliki kekayaan hingga Rp. 10 Miliar masih dianggap wajar. Calon mengungkapkan itu dapat terjadi karena Polisi memiliki Usaha sampingan. Pernyataan ini mengkonfirmasi dugaan bahwa Jenderal Polisi seringkali menggunakan kekuasaannya untuk memuluskan usahanya.

5.       Mengakui pernah menerima imbalan (gratifikasi) sebagai rasa terimakasih. Menurutnya menerima imbalan/gratifikasi tidak ada masalah selama tidak melalaikan kewajiban.

Dalam sebuah wawancara peneliti ICW pada saat tracking, yang bersangkutan menyebutkan bahwa ”Saya sih gak pernah memeras. Meminta. Tapi kalau diberi saya terima,” ujarnya.  Menurutnya budaya menerima barang atau uang dari pihak berperkara telah membudaya di Polri.”Semua melakukan itu,”. Saya dulu pernah terima televisi 61 inci entah dari siapa. Setiap tahun sekarang ini pasti ada parsel ke rumah saya sampai 100 buah,” ujarnya.

 6.    Tidak mengakui pernah membentak penyidik KPK asal dari kepolisian dalam kasus Rusdiharjo

·         Berdasarkan informasi yang didapatkan, calon pernah mendatangi KPK (dengan seragam lengkap Polri), dan membentak salah seorang penyidik yang sedang menangani kasus korupsi KBRI Malaysia yang melibatkan mantan Kapolri, Rusdiharjo. Kasus ini ditangani oleh KPK..

·         Tanpa koordinasi dengan KPK, penahanan Rusdiharjo yang berdasarkan serah terimanya ditahan di Rutan Mabes Polri, kemudian dipindahkan ke Mako Brimob, dengan alasan ruang tahanan di Rutan Mabes Polri penuh. Pimpinan KPK meminta agar Polri memindahkan ke Rutan Mabes Polri jika sudah ada ruangan kosong disana. Hal ini dijawab dengan kurang patut oleh AS yang saat itu menjabat sebagai Kepala Divisi Pembinaan Hukum Polri, “terserah mabes mau tempatkan kemana”. Menurut AS, penempatan Rusdihardjo di Mako Brimob tak akan mengganggu proses persidangan. Permasalahan jarak ataupun waktu tempuh menuju pengadilan yang dipersoalkan KPK tak masalah. Yang penting, lanjutnya, Rusdihardjo akan datang jika dipanggil dan memenuhi jadwal sidang. Bahkan AS berpendapat seharusnya Rusdiharjo tidak ditahan.

7.      Pekerjaan sampingan yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan hukum PT. Mitra Dana Putra Utama Finance

·         Jabatan calon saat itu: Direktur Serse Umum Polri

·         Direktur perusahaan: Tjie Putra Willy Karamoy

·         Sejak tahun 2002

·         Penghasilan: Rp. 360.000.000,-

·         Pada saat wawancara dengan panitia seleksi yang bersangkutan mengakui pekerjaan sampingan ini diakui sebagai Konsultan hukum PT. Mitra Dana Putra Utama Finance sampai sekarang

8.  Berdasarkan hasil tracking yang bersangkutan juga memiliki pekerjaan sampingan sebagai konsultan Konsultan hukum perusahaan Kaos POLO.

§  Jabatan calon saat itu: Direktur Serse Umum Polri

§  Direktur perusahaan Kaos POLO: Jemi Wantono

§  Sejak tahun 2002

§  Penghasilan: Rp. 60.000.000,-

9.  Diduga terlibat kasus sengketa tanah PT. Krakatau Steel (Persero) dengan PT. Duta Sari Prambanan (King Hartono mengaku sebagai ahli waris dari ARIMAMI yang merupakan isteri Jenderal Purnawirawan Soemitro)

·          Ada dugaan penyalahgunaan wewenang oleh AS sebagai Deputi V di BPN, ketika memerintahkan PT. Krakatau Steel untuk melakukan pembayaran pada King Hartono.

·          Nilai yang harus dibayar Rp. 106.430.000.000,- atas tanah seluas 665.200 m2 yang termasuk dalam Hak Guna Bangunan (HGB) No.2/Kubangsari

·          Berdasarkan informasi, PT. KS sudah membayarkan senilai Rp. 17 Miliar pada King Hartono, padahal King Hartono diduga bukanlah ahli waris asli dari Arimami.

·          Diduga ada aliran dana pada calon akibat terbitnya surat tersebut.

·          Berdasarkan informasi yang didapatkan, kasus ini sedang diproses di Komisi Pemberantasan Korupsi, yang berdasarkan hasil kesimpulan tahap pengumpulan bahan dan keterangan, ada dugaan persekongkolan antara oknum BPN dengan KH

·          Proses sudah sampai pada tingkat ekspose menuju Penyelidikan.

·          Informasi tambahan: AS pernah melakukan intimidasi pada pelapor kasus ini

10.   SP3 Kasus Pemalsuan Ijazah Bupati Bangkalan, Fuad Amin

·          AS saat itu menjabat sebagai Direktur I Keamanan Negara dan Kejahatan Transnasional Mabes Polri

·          Dalam kasus yang dipimpin AS tersebut, tiga anggotanya diberikan teguran tertulis karena pelanggaran disiplin. Saat itu kasus di SP3 (dihentikan) dengan alasan kasus Ijazah Palsu tidak terbukti, padahal penyidik tidak dapat membuktikan atau menunjukkan adanya ijazah asli.

·          Salah satu penyidiknya adalah Oktavinus Farfar yang juga merupakan Ketua Tim Investigasi Kasus Munir.

·          AS belum dikenakan sanksi, karena saat itu kewenangan menjatuhkan sanksi terhadap AS ada di tangan Kapolri.

11.   SP3 Kasus Pemalsuan Ttd dalam Akta HPH di Kaltim

·          AS sebagai Direktur Reserse Pidana Umum (selaku Penyidik) menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan pada tanggal 4 Juli 2002

·          Penghentian penyidikan ini dinilai janggal, karena:

·          Terdapat sejumlah bukti kuat bahwa memang adanya dugaan pemalsuan tanda-tangan pemilik HPH (berdasarkan bukti: Laboratorium Forensik Mabes Polri, yang menyimpulkan bahwa tanda-tangan TINI LIEM (pemilik HPH) tidak identik seperti yang ada dalam surat palsu tersebut, tanggal 3 Oktober 2001 dan dikirim ke Reskrim Mabes Polri 8 Oktober 2001); serta sejumlah Akta yang yang dibuat dengan dasar surat dengan tandatangan palsu tersebut.

·          Penghentian penyidikan diduga tidak dilakukan dengan proses yang benar, karena belum ada koordinasi atau eksposes dengan JPU, padahal SPDP sudah dikirim pada Kejaksaan tanggal 2 Agustus 1999.

·          Kasus bermula dari dilakukannya perubahan Akta kepengurusan PT. SIMA AGUNG oleh seseorang bernama Herman Kusumo yang awalnya dititipkan oleh TINI LIEM pada Herman agar ditolong untuk mengurus persoalan tanah seluas 40.000 Ha terkait dengan PT. SIMA AGUNG yang diklaim milik orang lain.

·          Berdasarkan Akta tersebut dilakukan penjualan HPH, dan semua surat yang membutuhkan tanda-tangan TINI LIEM telah dipalsukan.

·          Laporan Polisi dilakukan pada tanggal 16 Juni 1999, dengan pelapor TINI LIEM tentang dugaan pemalsuan surat jual beli saham PT. SIMA AGUNG dan penggelapan.

Tjetje Iskanda (ahli waris TINI LIEM) menyampaikan surat permohonan perlindungan hukum pada Kapolri, Irwasum, Kabareskrim, Kadivbinkum, dan Kadivpropam Polri, tanggal 15 Februari 2010 

2

Sayid Fadhil

1.          Dianggap banyak melalaikan tugas sebagai dosen Tetap di UNSYIAH Banda Aceh

2.          Terlalu banyak aktifitas di luar tugasnnya sebagai dosen sehingga karir akademisnya tersendat hanya golongan IIIC (yang diakui)

3.          Mengakui tidak memiliki prestasi dalam hal Pemberantasan Korupsi

4.          Motivasi calon lebih pada meniti karir dijakarta dibanding komitmen terhadap pemberantasan korupsi

5.          Mengakui memiliki Kartu Tanda Penduduk ganda

6.          Tidak jujur dalam penyampaian identitas diri

a.      Tidak mencantumkan aktifitas sebagai staf ahli anggota DPR RI asal Aceh Teuku Rifky Harsya dalam biodata yang diserahkan kepada panitia seleksi KPK

b.      Tidak mencantumkan kepemilikan rumah/ alamat rumahnya di Jakarta dalam biodata

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan