Dari Proyek Asuransi Dapat Rp 5 Miliar

Dugaan terjadinya korupsi dalam proyek pengadaan jasa asuransi di KPU seperti yang diendus KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) semakin kuat. Kemarin, PT Asuransi Umum Bumida (Bumi Putera Muda) 1967, rekanan KPU dalam proyek asuransi, mengaku mengucurkan dana USD 563.190 (sekitar Rp 5,350 miliar) kepada KPU. Namun, pihak perusahaan membantah uang itu sebagai uang sogokan.

Keterangan tersebut diungkapkan Tasman Gultom, kuasa hukum Ahmad Fauzi Darwis, direktur utama PT Asuransi Bumida 1967, setelah diperiksa di KPK sekitar pukul 17.30 kemarin. Menurut dia, kliennya memang mengucurkan dana USD 563.190 atau 34 persen dari nilai total premi asuransi diri (jiwa) yang dipertanggungkan, yaitu Rp 14,8 miliar. Pemberian itu bersifat diskon. Itu resmi dan semua ada tanda terimanya. Perusahaan juga sudah melakukan kewajibannya, tegasnya.

Dia menjelaskan, premi itu diberikan untuk sekitar lima juta panitia pemilu dari KPU, KPUD, PPS, PPK, dan KPPS. Dalam pelaksanaannya, pihak perusahaan sudah membayarkan klaim sebesar Rp 607 juta kepada panitia yang meninggal.

Pengacara berpenampilan plontos tersebut juga membenarkan bahwa kliennya memberikan komisi kepada agen alias perantara, yaitu Mualim Muslich dan Sri Hariyanti. Untuk agen, pemberian itu berupa komisi, ungkapnya.

Gultom membenarkan bahwa Mualim mendapatkan dana 16 persen, yaitu Rp 2,30 miliar. Sedangkan untuk Sri Hariyanti, dikucurkan dana Rp 3,8 miliar atau 25 persen. Kemudian, Hariyanti memberikan uang Rp 500 juta kepada Mualim.

Dengan pemberian uang kepada KPU dan agen tersebut, total uang yang diberikan PT Bumida sebesar 75 persen. Apakah wajar? Semua pemberian itu, baik diskon maupun komisi, adalah hal yang wajar dalam industri asuransi. Dan, itu ada aturannya, ujarnya.

Jumlah 75 persen tersebut sangat besar. Apakah tidak rugi? Perusahaan sudah menghitung untung ruginya, katanya. Ketika ditanya kapan ada negosiasi pemberian 34 persen tersebut, dia tidak menjawab secara tegas.

Bagaimana dengan proses mendapatkan proyek yang dilakukan tanpa tender tersebut? Yang tahu itu agen. Jadi, perusahaan tidak tahu bagaimana prosesnya. Yang berhubungan dengan KPU itu agennya, ungkapnya seolah menimpakan semuanya kepada dua agen tersebut.

Padahal, dua agen itu sebenarnya juga merupakan staf di PT Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putera 1912 (satu grup dengan PT Bumida, Red). Menurut dia, agen itulah yang menjadi corong KPU saat hendak meminta jatah uang komisi tersebut.

Sementara itu, sumber koran ini menegaskan kembali keterangannya bahwa penandatanganan kontrak pengadaan jasa asuransi itu dilakukan saat anggarannya tidak ada. Dia juga membeberkan kejanggalan-kejanggalan yang ada. Kontrak ini sangat janggal. Seperti ada permainan di baliknya. Yang terlihat jelas, kontrak dibuat tanpa ada dasar anggarannya, katanya.

Karena tidak ada anggarannya, lantas KPU minta perubahan anggaran ke DPR RI. Kemudian, keluarlah ABT (anggaran biaya tambahan). Dengan ABT itu, KPU mengurus SKO (surat keterangan otorisasi) revisi APBN dan cairlah uang itu untuk dibayarkan kepada PT Bumida.

Yang juga patut dipertanyakan, menurut dia, kontrak senilai Rp 14,8 miliar itu hanya untuk pelaksanaan pilpres I dan pilpres II. Pilpres pertama digelar 5 Juli 2004, sedangkan pilpres II pada 20 September 2004. Dengan demikian, rentang waktunya hanya dua bulan lebih 15 hari.

Nilai proyek sebesar itu hanya untuk waktu yang sangat pendek, apakah wajar? tanya sumber tersebut. Lagipula, tambahnya, awal kontrak dibuat tanpa ada anggaran.

Sementara itu, hingga kini KPK berhasil mengamankan sebagian dana siluman yang telanjur dibagi-bagikan kepada beberapa pihak. Jumlahnya Rp 4,775 miliar. Dana yang oleh KPU disebut dana taktis itu dikumpulkan dari uang pemberian rekanan logistik pemilu.

Anggota KPU yang sudah mengembalikan uang itu adalah Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin USD 44,9 ribu dan anggota KPU Daan Dimara USD 30 ribu. Selain itu, Rusadi Kantaprawira mengembalikan USD 7.804, yang digunakan istrinya untuk keluar negeri. Ditambah dari barang bukti kasus penyuapan yang dilakukan Mulyana kepada auditor BPK. Selain itu, pengembalian dari oknum anggota DPR, BPK, dan orang di Ditjen Keuangan.

Dari pemeriksaan, selain Rusadi, beberapa oang sudah mengakui menggunakan dana itu untuk istri mereka ke luar negeri, katanya. Sumber tersebut kemudian membeberkan istri siapa saja, tapi berpesan untuk tidak diberitakan.

Dia menegaskan, KPK sudah mendapat bukti-bukti berupa tanda penerimaan atau tiket perjalanan mereka. Kami berharap, uang negara segera diserahkan. ujarnya. Selain itu, dia mengungkapkan adanya pinjaman uang dari beberapa perempuan yang menjadi teman dekat pejabat di kesekjenan KPU. Lagi-lagi dia mewanti-wanti agar nama orang KPU yang mempunyai teman dekat itu tidak disebutkan. (lin)

Sumber: Jawa Pos, 11 Juni 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan