Dari Nembang hingga Sumbangan Masjid [14/06/04]

Melalui malam dana, kandidat presiden meraup sumbangan miliaran rupiah. Tak semua sukses: ada yang cuma diberi nomor telepon palsu.

Tak cuma barang antik yang berharga miliaran rupiah. Sebuah alunan lagu pun bisa bernilai mahal. Dari bibir seorang calon presiden, dalam sebuah perhelatan megah yang dipenuhi ratusan tokoh politik dan pengusaha nasional, suara bariton calon presiden dari Partai Golkar, Wiranto, jadi barang lelang.

Semuanya terjadi di Ball Room Hotel Mulia, pertengahan Mei lalu. Sebuah panggung megah berlatar belakang foto diri Wiranto dengan tulisan Wiranto for President dibangun. Penyanyi cantik Krisdayanti pun ikut dipanggil untuk menghibur tamu. Pelawak Dedi Mi'ing Gumelar diminta berduet dengan Dewi Hughes, menjadi pemandu acara.

Karena sang tokoh memang gemar menyanyi, jadilah si empunya rumah ini didaulat tampil. Sio Mama, lagu daerah Maluku, dilantunkan mantan Panglima TNI itu untuk hadirin. Pengunjung memberikan aplaus meriah.

Selanjutnya adalah acara lelang itu: Mi'ing dan Hughes menawarkan sang calon untuk menjual suaranya. Seorang pengusaha di meja nomor 10, Dede namanya, mengacungkan kertas harga. Seratus juta, kata Mi'ing menyebut harga yang ditawar Dede. Tak mau kalah, Asiong di meja 15 mengacungkan tawaran Rp 150 juta.

Setya Novanto, pengusaha yang juga bendahara Partai Golkar, ikut menambah Rp 50 juta. Pelawak senior Srimulat, Timbul, tak mau kalah ikut merogoh koceknya, Rp 25 juta. Setelah itu, berturut-turut sumbangan mengalir dari meja ke meja. Bak acara adu gengsi, para pengusaha pun menyumbang Rp 50 juta hingga Rp 200 juta. Tepuk tangan membahana ketika dari meja 10, seorang pengusaha berambut kucir bernama Tony, menyumbang Rp 500 juta. Dalam tempo 20 menit, terkumpul Rp 1,2 miliar. Sebagai balasan, Wiranto kembali manggung dengan Juwita Malam.

Dana sumbangan itu memang bukan untuk kampanye Wiranto, melainkan, kata Mi'ing, akan disumbangkan ke Yayasan Al-Fath Wiraga Mulya untuk beasiswa pendidikan. Toh, Wiranto tak membantah jika acara ketemu pengusaha itu bisa dijadikan ajang menggalang sumbangan. Sah-sah saja kan? katanya. KPU mengamini. Asalkan halal, jujur, terbuka, dan tidak melanggar ketentuan undang-undang, boleh saja, kata Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum, Ramlan Surbakti.

Wiranto tak sendiri. Amien Rais dan Siswono Yudho Husodo, misalnya, menggelar gala dinner di Hotel Sahid, Jakarta Pusat. Dari sekitar 750 pengusaha yang hadir, pasangan ini mendapat Rp 14,06 miliar. Cukup besar.

Cara sedikit lain digelar Agum Gumelar. Sepekan sebelum kampanye dimulai, calon wakil presiden dari Partai Persatuan Pembangunan ini bertemu dengan 50 pengusaha keturunan di Hotel Borobudur, Jakarta. Acara serupa juga digelar Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla dengan ratusan pengusaha di Hotel Patra, Denpasar, Bali, pertengahan Mei lalu. Acara serupa juga bakal digelar di Jakarta Kamis pekan ini, dan di Medan pada akhir Juni.

Memang, sih, acara itu sama sekali tak menyinggung penggalangan dana. Labelnya: pertemuan untuk paparan visi dan misi. Namun, setidaknya, jika ada kecocokan visi, pertemuan itu bisa menuai simpati para pengusaha. Yang terpenting mereka tahu komitmen dan strategi calon presiden itu untuk memulihkan ekonomi bangsa ini. Syukur-syukur cocok, kata Sofyan Djalil, anggota tim sukses SBY-Kalla.

Dukungan dana dari pengusaha memang ditunggu-tunggu. Tak mengherankan bila undangan makan malam dari semua calon bertebaran ke para pengusaha. Sharief Cicip Sutardjo, misalnya. Ketua Asosiasi Indonesia-Cina Building yang juga anggota Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri ini mengaku menerima lebih dari dua undangan makan malam. Satu dari tim sukses SBY-Kalla, satunya lagi dari Amien Rais-Siswono.

Undangan ini lazim adanya. Malah, menurut seorang pengusaha yang enggan disebut namanya, banyak pengusaha yang menyumbang untuk semua paket calon. Tujuannya agar si pengusaha punya saham di tiap kandidat. Di lain pihak, para calon presiden membutuhkan duit mereka agar bisa menang dalam pertandingan.

Kubu Megawati-Hasyim Muzadi, misalnya, diperkirakan menganggarkan Rp 200 miliar untuk kampanye presiden. Dalam pemilu legislatif lalu, kubu Moncong Putih menghabiskan dana Rp 100 miliar untuk kampanye.

Tim Wiranto-Salahuddin Wahid, kata salah satu anggota tim sukses Wiranto, menganggarkan Rp 200 miliar hanya untuk pemilu putaran pertama. Pasangan Hamzah Haz-Agum Gumelar mematok biaya Rp 500 miliar. Meski, menurut Endin Soefihara, Ketua Lajnah Pemenangan PPP, Anggaran itu masih bisa berubah. Anggaran minimal dimiliki pasangan SBY-Kalla dan Amien Rais-Siswono. Mereka mengaku hanya perlu Rp 140 miliar. Umumnya dana besar itu dipakai untuk promosi di televisi dan media cetak.

Tapi mengumpulkan dana tak selalu lancar. Amien Rais contohnya. Dari Rp 140 miliar yang ditargetkan, baru Rp 50 miliar yang terkumpul. Meski telah menggelar dua kali malam dana, tetap saja duit tak cukup. Malah, dana Rp 14,06 miliar yang dijanjikan pada malam dana, akhir Mei itu, terancam tak bisa cair semuanya. Banyak melesetnya. Ada yang cuma janji-janji. Ada yang ngasih nomor teleponnya salah, kata Eddy Suparno, Kepala Staf Kampanye Amien-Siswono.

Untuk itu, malam dana bukan satu-satunya jalan. Simpatisan juga diberi kesempatan menyumbang melalui rekening terbuka. Dari puluhan ribu sampai ratusan juta rupiah, kata Eddy. Cara lain: tim sukses Amien juga membuka kotak amal di masjid dan pusat-pusat keramaian. Tak hanya menerima uang, Amien juga menerima sumbangan kaus dan atribut lainnya. Kami minta sumbangan barang dihitung dalam bentuk rupiah agar tidak melanggar undang-undang, kata Khoiruddin Basori, Ketua Masyarakat Peduli Reformasi DIY, kepada Syaiful Amin dari TEMPO.

Soal melanggar undang-undang dan kecurigaan adanya dana haram masuk ke rekening kandidat presiden memang telah jadi buah bibir. Apalagi Indonesian Corruption Watch dan Transparency International Indonesia mensinyalir ada dana haram yang masuk dan tidak dilaporkan ke Komisi Pemilihan Umum. Semua itu dimasukkan dalam rekening tersendiri yang tidak dilaporkan. Para calon presiden juga mempunyai sejumlah bendahara bayangan di luar bendahara resmi partai, kata Luky Djani, Wakil Koordinator ICW.

Kecurigaan serupa juga dilansir anggota Panitia Pengawas Pemilu, Didik Supriyanto. Menurut Didik, permainan uang seperti itu bisa saja terjadi dalam bentuk penggalangan dana, baik perorangan maupun swasta, atau menggunakan dana badan usaha milik negara atau milik daerah.

Sampai di sini peran KPU sebagai juri pemilu jadi penting. Tapi, repotnya, menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 mengenai Pemilihan Presiden, kewajiban melaporkan keuangan kampanye kepada KPU hanya dilakukan sebelum dan tiga hari setelah kampanye. Menurut ICW, mestinya audit KPU itu dilakukan lebih kerap. Kami meminta agar KPU meminta laporan periodik dana kampanye tiap putaran agar bisa diverifikasi, kata Luky Djani.

Smita Notosusanto, Direktur Cetro, punya usul menarik. Katanya, skandal sumbangan ilegal dari konglomerat James Riady untuk kampanye bekas Presiden AS Bill Clinton beberapa tahun lalu bisa dijadikan pelajaran. Skandal ini terungkap karena para sumbangan di rekening Partai Demokrat terpantau melalui Internet. Karena itu, ada baiknya para calon itu memampangkan siapa saja penyumbang dana mereka secara online seperti yang dilakukan kandidat di Amerika Serikat. Dengan begitu, publik bisa langsung mengakses dan mengontrol apakah sumbangan itu bersih atau tidak, ujarnya.

Widiarsi Agustina, Istiqomatul Hayati, Dimas Adityo, Danto, Wahyu Dhyatmika (TNR)

Sumber: Majalah Tempo, No.16/XXXIII/14-20 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan