Dapat Kritik, Sikap Lima Pimpinan DPR Tak Utuh Lagi

Sikapi Pembangunan Gedung Senilai Rp 1,8 T

Internal pimpinan dewan mulai goyah dalam menyikapi rencana pembangunan gedung baru DPR senilai Rp 1,8 triliun. Kritik dan sorotan tajam yang muncul membuat sikap lima pimpinan tidak utuh lagi.

Salah seorang yang sudah menunjukkan sinyal kuat penolakan adalah Wakil Ketua DPR Pramono Anung. Politikus PDI Perjuangan itu menegaskan akan menggunakan hak sebagai pimpinan dewan untuk mempertanyakan lagi keputusan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR membangun gedung baru bagi anggota tersebut. Padahal, sebelumnya Ketua DPR yang merangkap Ketua BURT Marzuki Alie menegaskan bahwa pembangunan gedung itu jalan terus.

"Pembangunan gedung yang seperti itu terlalu mewah," tegas Pramono di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin (1/9). Selain rencana pembangunan fasilitas relaksasi, ukuran ruang anggota yang mencapai 120 meter persegi dia anggap sangat berlebihan.

Menurut dia, ruang kerja pimpinan yang seluas 70 meter persegi saat ini saja sudah cukup luas. Dia memaparkan, andai terdapat seorang anggota dewan dengan dua tenaga ahli dan seorang sekretaris pun, ruang itu masih sangat lapang.

Katakan saja, beber Pramono, setiap staf dalam ruang mengambil 10 meter persegi dengan berbagai peralatan. Maka, total cuma dibutuhkan 30 meter persegi. Selebihnya, anggota dewan yang bersangkutan bisa memanfaatkan sisa lahan sekitar 40 meter persegi. "Itu sudah cukup, tidak perlu berlebih-lebihan."

Dia juga memastikan, hingga saat ini belum ada keputusan apa pun di tingkat pimpinan dewan soal pembangunan gedung tersebut. Pramono lantas mengungkap, saat sosialisasi rencana pembangunan gedung itu oleh BURT pada 31 Agustus 2010 saja, hampir semua pimpinan kaget. "Kami seperti ditampar siang bolong dengan petir bertubi-tubi," kata mantan Sekjen DPP PDIP tersebut.

Selanjutnya, dia menjanjikan membawa persoalan gedung baru tersebut ke rapat pimpinan yang direncanakan dihelat hari ini (2/9). "Kami akan minta distop dulu rencana itu, dievaluasi. Tidak ada keputusan di DPR yang mutlak dan tidak bisa dibatalkan," papar Pramono.

Dalam kapasitas pimpinan, kemarin Pramono berkesempatan menerima rombongan pengunjuk rasa dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Lembaga swadaya masyarakat itu menolak pembangunan gedung baru tersebut. Sebelumnya, mereka berunjuk rasa di depan pagar kompleks parlemen.

Rombongan aktivis ICW yang berjumlah sepuluh­an orang itu membawa kolam renang plastik berisi bola. Beberapa orang di antara mereka berpakaian layaknya perenang. Seorang lagi beraksi seolah-olah hendak merawat diri di spa sambil dipijit peserta unjuk rasa lainnya. Berbagai spanduk, di antaranya bertulisan "Tolak Gedung Baru DPR" dan "Mau Mewah kok Pakai Uang Rakyat", sengaja diunjuk-unjukkan sebagai tanda protes.

Setali tiga uang, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso mengakui pula bahwa pembangunan gedung baru DPR bakal membutuhkan biaya tinggi. Biaya Rp 1,8 triliun itu sangat menyedot anggaran negara.

Menurut Priyo, ditengarai ada beberapa rancangan yang tidak pas dan tidak sesuai dengan peruntukan bagi para wakil rakyat. Salah satu yang dia soroti adalah fasilitas relaksasi. Kabarnya, ada rencana pembangunan spa dan kolam renang. "Untuk yang spa, kolam renang harus didrop," ujarnya.

Konteks pembangunan gedung baru itu, papar Priyo, adalah penambahan ruang anggota DPR. Namun, dia juga menyatakan kaget atas pembengkakan anggaran yang mencapai Rp 1,8 triliun tersebut. Pembengkak­an itu seharusnya tidak terjadi jika fasilitas yang tidak dibutuhkan anggota dewan dibuang. "Kami akan panggil BURT, kenapa angkanya jadi bengkak sebesar itu," ucap dia.

Selain itu, dia membenarkan bahwa sosialisasi langsung oleh Marzuki memang belum dibicarakan dengan para pimpinan DPR lainnya. Pro-kontra terhadap pembangunan gedung tersebut dinilai hanya membuat citra DPR di mata publik semakin terpuruk. (dyn/bay/c11)
Sumber: Jawa Pos, 2 September 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan