Dana untuk Masyarakat Miskin 'Dipalak' dan Dikorup Dewan Kelurahan
DI tengah profil Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta yang diberitakan sering menggusur kaum miskin kota, mungkin tidak banyak yang tahu bahwa Pemprov DKI menyisihkan sebagian uangnya untuk membantu warganya yang kesulitan secara ekonomi. Sayangnya, kebijakan mulia ini rawan penyalahgunaan.
Jakarta, sebagai kota yang didiami 7,5 juta jiwa, memiliki jumlah warga miskin yang tak kurang besar. Berdasarkan data Litbang Media Group, jumlah keluarga prasejahtera (KPS Plus) di DKI Jakarta pada 1998 sebanyak 23.384 keluarga. Maret 1999 meningkat menjadi 69.998 keluarga, dan jumlah keluarga miskin ini terus meningkat menjadi 119.447 keluarga atau 1.419.931 jiwa pada pendataan keluarga Juni 2002.
Meningkatnya keluarga miskin di Jakarta disebabkan minimnya kesempatan kerja. Tiadanya penghasilan yang memadai inilah yang menyebabkan kemampuan keluarga tersebut untuk menghidupi anggota secara layak jadi menurun. Mengingat minimnya keuangan yang berantai pada tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah, akses penduduk miskin kota untuk meningkatkan kesejahteraannya sangat sempit. Apalagi kondisi lapangan pekerjaan yang muram jelas sulit menyerap keberadaan mereka. Ada memang jalan alternatif, yaitu dengan wiraswasta, namun kendala modal menjadi penghambat.
Dengan keadaan yang mengkhawatirkan tersebut maka semenjak 2002 Pemprov DKI Jakarta menggulirkan dana program pemberdayaan masyarakat kelurahan (PPMK). Diharapkan program ini dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, khususnya mereka yang lemah ekonomi, agar mampu meningkatkan kesejahteraan sosialnya.
Secara umum pemanfaatan dana PPMK ini dialokasikan untuk tiga kegiatan. Yakni meliputi bina sosial, bina fisik lingkungan, dan bina ekonomi. Untuk bina fisik lingkungan dan bina sosial, pemanfaatan dana ini bersifat hibah dengan porsi masing-masing sebesar 20%. Salah satu contoh pemanfaatan dana ini adalah pembangunan posko antinarkoba warga Kelurahan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, September 2004.
Sementara itu, bina ekonomi, porsi pemanfaatan dana PPMK sebesar maksimal 60% dan sifatnya adalah dana bergulir. Artinya, dana tetap dikembalikan masyarakat dalam jangka waktu tertentu. Pemberian dana ini pun dalam bentuk pinjaman lunak dan memerhatikan pemberdayaan usaha kecil masyarakat bawah. Adapun penyaluran dan pengelolaan dana tersebut, dikelola dewan kelurahan.
Untuk 2006, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) DKI Jakarta menganggarkan Rp500 juta dana PPMK setiap kelurahan, dari 267 kelurahan. Jumlah ini turun dari tahun sebelumnya. Bahkan penurunan sampai 50%.
Sebagai gambaran, dana PPMK tahun 2005 rata-rata mencapai Rp1 miliar setiap kelurahan--tergantung kondisi sosial ekonomi kelurahan masing-masing. Dana tahun 2005 ini meningkat dari tahun 2004. Dana PPMK yang digulirkan mencapai Rp750 juta setiap kelurahan. Demikian pula jika dibandingkan dengan tahun 2003 dan 2002. Dana PPMK yang diterima setiap kelurahan juga meningkat Rp500 juta dari yang sebelumnya Rp250 juta. Meski demikian khusus tahun 2002, dana PPMK hanya diberikan kepada 25 kelurahan (lihat grafik).
Rencana memangkas anggaran dana PPMK dalam RAPBN 2006 tentu saja mengundang reaksi keberatan dari sejumlah dewan kelurahan. Dewan Kelurahan Serdang, Jakarta Pusat, dan Dewan Kelurahan Kali Baru, Jakarta Utara, menilai penurunan anggaran tidak perlu terjadi. Karena, menurut mereka, kenaikan harga bahan bakar minyak menimbulkan angka kemiskinan melonjak tajam.
Sementara itu, menurut badan perencanaan daerah, alasan turunnya alokasi dana PPMK hingga 50% dari tahun sebelumnya dengan pertimbangan bahwa pada semester pertama akan dilakukan audit sehubungan dengan berakhirnya masa jabatan dewan kelurahan.
Sekretaris Daerah (Sekda) Pemprov DKI Jakarta Ritola Tasmaya mengatakan pemberdayaan masyarakat sebenarnya tidak berhenti pada satu titik program saja, karena itu perlu dievaluasi. Sehingga alokasi dana PPMK tahun depan akan dikurangi.
Rawan kebocoran
Terlepas dari argumen dan alasan yang disampaikan berbagai pihak, harus diakui pemanfaatan dana PPMK tahun sebelumnya, masih banyak yang melenceng dari koridor yang semestinya. Berbagai penyalahgunaan dana terungkap satu demi satu.
Seperti kasus penyalahgunaan dana PPMK sebesar Rp230 juta yang terungkap pertengahan 2004. Kasus yang menyeret Ketua Dewan Kelurahan Menteng, Jakarta Pusat, ini mulai merebak ketika saldo dana PPMK pada Mei 2004 hanya sebesar Rp108 juta dari yang seharusnya Rp422 juta. Setelah Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) Jakarta Pusat melakukan pemeriksaan, terungkap bahwa dana tersebut digunakan untuk mengurus sertifikat tanah di Jakarta Barat. Wilayah yang sesungguhnya tidak berada dalam kewenangan yurisdiksinya.
Kasus serupa menimpa Ketua Dewan Kelurahan Paseban, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat, Bambang Sumantri. Bambang diduga menyalahgunakan dana Rp60 juta dari Rp250 juta dana PPMK tahun 2002--tahun ketika program PPMK ini baru pertama kali bergulir. Kendati kasusnya tengah dilaporkan ke BPM, hingga kini tersangka belum juga ditahan.
Selain berbagai bentuk penggelapan dana, penyaluran dana PPMK dituding sarat dengan praktik 'kotor' yang justru membebani masyarakat. Seperti tudingan yang pernah disampaikan wakil pimpinan DPRD DKI Jakarta, bahwa penerapan dana bergulir PPMK lebih mirip rentenir karena bunganya yang terlampau besar.
Apa yang disampaikan pimpinan DPRD DKI Jakarta bisa jadi ada benarnya. Mengutip laporan koordinator Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) Azas Tigor, November 2005, bahwa sering kali terjadi anggota dewan kelurahan meminta 'jatah' kepada warga penerima dana PPMK. Selain itu sudah menjadi pemahaman umum, bahwa dengan dalih mendidik masyarakat, setiap peminjam dikenai bunga pengembalian yang besarnya jauh di atas yang ditentukan.
Koordinator Fakta bahkan juga menemukan pelanggaran adanya penyaluran dana PPMK tidak kepada warga yang membutuhkan, seperti istri pengurus dewan kelurahan yang mendapat kucuran dana sebesar Rp12 juta tanpa menyertakan agunan apa pun.
Karena itu terjadinya berbagai bentuk penyalahgunaan dana PPMK di atas oleh para oknum dewan kelurahan adalah hal sangat disayangkan dan patut menjadi perhatian tersendiri. Dewan kelurahan, yang pembentukannya berdasarkan Pasal 3 Perda DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2000 merupakan lembaga konsultatif perwakilan rukun warga dan wahana partisipasi warga kelurahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Ketua dewan kelurahan tidak diangkat camat atau pejabat pemerintah kota, tetapi dipilih berdasarkan hasil pemilihan masyarakat. Ini berarti ketua dewan seharusnya berpikir dan bekerja untuk kepentingan rakyat. Namun kenyataannya di lapangan justru perilaku beberapa pengurus dewan kelurahan menunjukkan hal yang sebaliknya.(Fabianus H Wirawan/Radi Negara, Litbang Media Group)
Sumber: Media indonesia, 17 Januari 2006