Dana Siluman APBD DKI 2015, Membuka Perjalanan Korupsi APBD sebelumnya

Dana Siluman APBD DKI 2015, Membuka Perjalanan Korupsi APBD sebelumnya

Anggaran siluman yang terdapat di draft APBD DKI Jakarta dinilai jumlahnya akan lebih dari Rp 12,1 triliun. Bukan hanya pengadaan alat Uninterruptible Power Supply (UPS), tetapi juga printer scanner 3D, global feature learning, dan aplikasi sofware pembelajar dalam sarana penunjang pembelajaran. Dalam hal ini, Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran  ICW, Firdaus Ilyas, menyatakan jika dilihat dari pola korupsi yang dilakukan serta menyisir data APBD 2014, 2013, 2012, 2012, dan seterusnya, ditemukan pola dan mata anggaran yang disinyalir bermasalah akan ditemukan kembali pada APBD 2015.

Dijelaskan pada APBD 2014, terdapat pengadaan 50 paket UPS di sekolah Jakarta Barat (Jakbar) dan Jakarta Pusat (Jakpus) pada Suku Dinas (Sudin dasar dan menengah di Jakarta) dalam proses lelang yang dilaksanakan pengumumannya pasca kualifikasi sejak 7-13 November 2014, dan pada tanggal yang sama juga dilakukan download dokumen pengadaan. Pada tanggal 10 November 2014, dilakukan dua kegiatan yaitu pemberian penjelasan terkait lelang UPS yang selesai pada hari yang sama dan upload dokumen penawaran yang selesai pada 14 November 2014. Pada tanggal 14 November 2014 dilaksanakan pembukaan dokumen penawaran yang selesai pada hari yang sama. Evaluasi penawaran dan dokumen kualifikasi dilaksanakan pada 15-19 November 2014, pembuktian kualifikasi dilakukan pada tanggal 20 November 2014, dan selesai pada hari yang sama di keesokan harinya tanggal 21 November 2014, yang juga dilaksanakan upload berita acara hasil pelelangan. Pada tanggal 22 November 2014 diselenggarakan penetapan pemenang dan pengumuman pemenang yang juga selesai pada hari yang sama. 23-27 November 2014 dilakukan masa sanggah hasil lelang. Tanggal  28 November 2014 dikeluarkannya surat penunjukan penyediaan barang/ jasa, dan terakhir 1 Desember 2014 dilakukan penandatanganan kontrak yang selesai di hari yang sama.

“Ini terjadi kejanggalan pada 50 pengadaan UPS yang sama dan hanya memakan waktu kurang dari sebulan, biasanya mencapai dua bulan. Sedangkan pada proses lelang tidak ada sanggahan, keberatan, dan komplain yang dilakukan,” ujarnya.

Berdasarkan data dari website PBJ DKI Jakarta, untuk pengadaan UPS pada Sudin pendidikan menengah Jakarta Pusat dan Jakarta Barat, setidaknya terdapat 50 rekanan pemenang pengadaan UPS. Beberapa perusahaan pemenang diindikasi bermasalah dan tidak memiliki profil yang wajar terkait kemampuan dalam menyediakan jasa. Sedangkan penelusuran data sekunder yang dilakukan oleh ICW, diindikasi bahwa banyak perusahaan pemenang tidak memiliki kemampuan dalam memenuhi syarat dan terindikasi dimiliki oleh orang yang sama.

“Dugaan ada praktek tender arisan dari beberapa perusahaan yang dimiliki orang yang sama. Ternyata dari perusahaan pemenang pengadaan UPS, ia juga memenangkan PBJ yang lain, misal yang terkait sarana dan prasarana sekolah 2014,” ucap Firdaus.

Pada rincian komponen anggaran untuk pengadaan UPS, berdasarkan dokumen realisasi APBD 2014 khususnya untuk PBJ UPS, komponen belanja terdiri dari honorarium Tim PBJ sebesar Rp 4,905 juta, belanja dokumen dan admnistrasi tender sebesar Rp 495.000, belanja pengadaan rak besi Rp 968 juta, belanja pengadaan UPS/ stabilizer sebesar Rp 1,92 miliar, dan belanja pengadaan instalasi listrik sebesar Rp 3,1 miliar dengan total belanja pengadaan UPS sebesar Rp 6 miliar.

Dari laporan realisasi beberapa komponen yang terdiri dari 5 item belanja seperti dokumen administrasi rak besi dan lainnya termasuk realisasi honorarium, malah dimungkinkan masuk dalam ULP. Sedangkan dalam komponen barangnya sendiri, pokok anggaran UPS lebih kecil dibandingkan pengadaan instalasi listrik yang mencapai Rp 3,1 miliar.

“Kalo mau memasang UPS, seharusnya jumlah anggarannya lebih besar donk dibandingkan rak besinya. Tetapi yang terjadi malah terbalik. Ini menunjukkan masalah besar di dalam pengadaan spesifikasi,” katanya.

Bukan hanya permasalahan UPS dari penggelembungan anggaran 2014 pada Sudin Pendidikan menengah yang belum masuk pada Dinas Pendidikan DKI, tetapi juga pada Sudin Pendidikan dasar saja sudah terdapat 652 kegiatan program peningkatan sarana dan prasaranan pendidikan. Dan lagi penelusuran terkait rehab sekolah dan realisasi sarana-prasarana dengan usulan Rp2,4 triliun dan terealisasi sebesar 1,529 triliun. Pengadaan Digital Vision Touch Interatif Board (IBE DVT) atau software pembelajaran untuk SMA dan SMK yang dianggarkan sebesar Rp 101 miliar dan terealisasi sebesar Rp 84 miliar dengan harga satuan RP 39 juta, berisikan satu unit lengkap untuk kelas SMA X, XI, XII animasi matematika, kimia, fisika, biologi, powerpoint matematika, biologi, konten e-Book, video, dan bank soal.

Pengadaan printer dan scanner 3D yang dianggarkan Rp 6 miliar dan terealisasi hanya Rp 5,8 dengan satuan harga Rp 886 juta. Jika dilihat dugaan praktek korupsinya, dicontohkan pada SMKN 9 mendapat 9 unit printer dan scanner 3D atau atau dapat dikatakan hanya mendapat satu atau dua dari banyaknya unit yang seharusnya didapat.

“Kita akan verifikasi di lapangan apakah aspek dan kuantitasnya sama dengan Rp 886 juta. Potensi kuat ada permainan dan dikorupsi karena ukuran kebutuhan dan peruntukannya. Kita akan kroscek apakah semua sekolah di Jakarta butuh printer itu, kalau dibutuhkan berapa banyak. Jangan sampai jadi pemborosan jika sekolah itu tidak butuh dan menjadi rongsokan karena tidak tepat guna,” paparnya.

Firdaus pun menambahkan bahwa UPS pada APBD 2015 sebesar Rp 6 miliar untuk 21 pengadaan di 21 sekolah, diduga ada penambahan yang dilakukan oleh DPRD DKI yang disinyalir dilakukan oleh Sudin Pendidikan Jakarta Selatan (Jaksel). Kemungkinan terjadi model korupsi yang sama dalam salah satu unsur yaitu mark up satuan dan biaya dengan APBD 2014, yaitu pengadaan printer dan scanner 3D untuk SMP dan SMA sebanyak 67 pengadaan paket mulai dari Rp 1,5 miliar sampai Rp 4 miliar.

Program e-Multimedia education connect system untuk SMA, pengadaan e-position untuk SMA dan SMK, CCTV, global feature warning, IT public literratur smart teaching, advance visualizer digital sebagai bahan pelajaran.

“Semua mata anggaran atau proyek itu ada pada APBD 2014 dan 2015. Kita temukan faktor rent seeking dalam belanja barang dan jasa yang di-mark up. Bukan hanya dinas pendidikan, dinas lainnya pun kemungkinan juga melakukannya,” tegas Firdaus.

Penggelembungan APBD DKI, Gambaran Peta Penganggaran di Indonesia

Koordinator Divisi Korupsi Poltik ICW, Abdullah, mengatakan sangat disayangkan hak angket yang dilontarkan DPRD DKI Jakarta kepada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Hal ini karena tidak jelas motif apa yang dilakukan. Sekalipun mengacu pada UU MD3 yang mengatakan hak angket dimiliki oleh DPRD, tetapi hal tersebut dilakukan untuk menyelidiki kebijakan strategis yang berdampak merugikan daerah. Sedangkan dalam hal ini, hak angket itu malah seakan-akan membuat DPRD DKI mengungkap fakta pemborosan dengan menyusupkan anggaran siluman yang dilakukan dirinya sendiri.

“Tidak diketahui apa motifnya, sangat terkesan pada nuansa politisasi. Ini menandakan fungsi pengawasan tidak berjalan karena selalu ada nomenklatur anggaran yang tidak sesuai dengan nilai pengadaan,” ujarnya.

Model dana siluman pada pembahasan APBD sudah menjadi modus di banyak daerah bahkan di tingkat nasional. Hal ini terjadi karena persekongkolan antara legislatif dan yudikatif dalam kompromi pemulusan anggaran. Karenanya kasus di DKI ini terbilang terbalik karena Pemprov DKI (Gubernur) tidak mau kompromi dengan para oknum.

Proses transparansi dalam pembahasan APBD ataupun APBN sangatlah penting. Rapat seharusnya dilakukan secara terbuka. Hal itu karena didalamnya terjadi kesepakatan antara DPRD dan Pemda yang seharusnya diketahui publik. Misalnya meng-upload di youtube atau media sosial lainnya tentang suasana, proses, dan hasil rapat. Dalam hal ini karena kebijakan APBD seharusnya tidak menjadi rahasia daerah, melainkan domain kebijakan publik dimana publik juga menyumbang dalam prosesnya.

Salah satu instrumen dengan sistem e-Budgeting adalah model pengawasan dalam pembahasan anggaran. Pada sistem e-Budgeting dapat diketahui apa saja yang menjadi usulan dan kesepakatan dalam program yang telah dirumuskan, serta siapa yang mengusulkan kebijakan tersebut.

“Ini sejalan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas serta sesuai dengan tata kelola dan keuangan daerah,” katanya.

Sistem e-Budgeting bukan hanya menjadi keuntungan bagi Pemda, bagi DPRD pun sistem ini mempermudah fungsi pengawasan pada proses e-Procurement. Sedangkan bagi publik, sistem e-Budgeting dapat membuka ruang pengawasan kebijakan daerah karena publik adalah penyumbang APBD.

Sekalipun belum ada jaminan bahwa proses e-Budgeting dan e-Procurement 100% benar, akan tetapi sistem ini harus dibangun dengan baik, dengan kemauan leader yang kuat dalam penerapannya. Selain itu SKPD yang ada di lingkungan tersebut juga harus punya komitmen kuat dalam menjaga transparansi dan jujur.

Abdullah pun menegaskan bahwa modus praktek korupsi sudah dimulai saat proses perencanaan dan penganggaran. Hal ini tertuang dalam program fiktif, objek penerimaan program fiktif, mark up kebutuhan, dan mark down penerimaan daerah.

Karena itu, kasus yang terjadi di DKI adalah capture dari proses penganggaran yang ada di Indonesia. Saat ini dibutuhkan keberanian untuk keluar dari zona nyaman yang selama ini sangat merugikan negara dan rakyat.

Karena proses penganggaran adalah proses politik, kepentingan untuk mendapatkan rente guna mengembalikan modal politik kemungkinan terjadi. Karenanya Menteri Dalam Negeri (Mendagri) harus tegas menggunakan kewenangannya dalam mendorong birokrasi Pemda yang baik. Pada kasus DKI, segala tendesi harus dapat dilaporkan ke penegak hukum agar dapat ditindaklanjuti,” tegasnya.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan