Dana Operasional Tangani Kasus Korupsi Diusulkan Rp 1 Miliar
Pemerintah sebaiknya meningkatkan dana operasional untuk penanganan kasus korupsi di lingkungan kejaksaan sebesar Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar. Sebab penanganan kasus korupsi akan memakan waktu yang lama dan harus mengejar pelaku dan pelacakan asetnya hingga ke luar negeri.
Hal itu disampaikan anggota Tenaga Ahli Jaksa Agung Bidang Pembaruan Kejaksaan yang juga Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Asep Rahmat Fajar, dalam diskusi Partisipasi Publik untuk Pembenahan Aparat dalam Pemberantasan Korupsi di Jakarta, Kamis (24/2).
Sebenarnya jika kita bicara kinerja kejaksaan, hal utama adalah integritas dan intelektual aparatnya. Tetapi kalau bicara masalah optimalisasi penanganan perkara, biaya operasional harus diperhatikan. Pada praktiknya, biaya operasional kejaksaan sangat minim, tutur Asep.
Dijelaskan, biaya operasional di satu Kejaksaan Negeri sebesar Rp 16 juta hingga Rp 18 juta per bulan. Sedangkan Kejaksaan Tinggi sekitar Rp 26 juta hingga Rp 28 juta per bulan. Sementara kasus yang mereka tangani sangat banyak, rata-rata 150 kasus sebulan. Padahal, biaya operasional bukan hanya untuk penanganan kasus, tetapi juga digunakan untuk membeli alat tulis kantor (ATK), biaya transportasi menjemput saksi, membawa terdakwa.
Dana penanganan kasus korupsi pun diambil dari dana operasional yang jumlahnya sedikit itu. Anggaran untuk penanganan kasus-kasus korupsi harusnya di khususkan. Saat ini disamakan dengan kasus-kasus lain dengan menggunakan dana operasional bulanan seluruh kasus sekitar Rp 26 juta di Kejaksaan Tinggi, tukas dia.
Dia menambahkan, saat ini tim Pembaruan Kejaksaan sedang meninjau ulang anggaran operasional kasus korupsi dan kasus-kasus lain yang berkaitan dengan kepentingan publik seperti kasus penebangan dan pencurian kayu ilegal. Namun belum ditetapkan berapa besaran dana operasional tersebut.
Selain itu akan membuat administrasi yang ketat untuk mengawasi penggunaan dana operasional tersebut. Sehingga penggunaannya tepat sasaran.Jika pemerintah memiliki kemauan politik, seharusnya hal ini dipikirkan. Kasus yang menyedihkan saat ini hakim tindak pidana korupsi tidak digaji selama tujuh bulan, hal itu seharusnya tidak terjadi.
Sebelumnya, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menjelaskan, pihaknya mengajukan anggaran 2006 sebesar Rp 698,7 miliar untuk program penegakan hukum dan HAM. Termasuk untuk di 30 Kejaksaan Tinggi, 353 Kejaksaan Negeri dan 102 Cabang Kejaksaan Negeri di seluruh Indonesia. (Y-4)
Sumber: Suara Pembaruan, 25 Februari 2005