Dana Kompensasi Subsidi BBM Rawan Korupsi; Subsidi BBM terhadap PDB Menurun dari Tahun ke tahun

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi Anti Utang secara tegas menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang mulai diberlakukan Selasa (1/3). Keputusan pemerintah menaikkan harga BBM dipastikan akan menimbulkan efek domino berupa kenaikan harga sembilan bahan kebutuhan pokok (sembako), tarif angkutan umum, serta biaya-biaya lainnya.

Dalam keterangannya di Jakarta, Senin (28/2), Deputy Director Executive International NGO Forum on Indonesian Development (Infid), Dian Kartika Sari, menegaskan, pernyataan para pejabat bahwa penghapusan subsidi dengan cara menaikkan harga BBM akan mengurangi angka kemiskinan sangat menyesatkan. Pasalnya, berdasarkan pantauan salah satu LSM anggota Koalisi Anti Utang, kenyataan di lapangan menunjukkan penyaluran dana kompensasi BBM kepada rakyat miskin rentan menjadi sasaran korupsi.

''Upaya penanggulangan kemiskinan sebenarnya telah disusun draf Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan, yang berbasis pemenuhan hak-hak dasar rakyat. Tetapi sampai sekarang draf itu belum disepakati pemerintahan Yudhoyono-Kalla. Penghapusan subsidi bukan jalan untuk menanggulangi kemiskinan. Tetapi justru dikhawatirkan akan menjauhkan Indonesia dari upaya mencapai Millennium Development Goal untuk mengurangi setengah jumlah penduduk miskin sampai 2015,'' katanya.

Tetap Melenceng
Penghapusan subsidi BBM, menurut Koalisi ini, merupakan prakondisi bagi masuknya perusahaan-perusahaan multinasional (asing) pertambangan minyak dan gas ke bisnis eceran minyak dan gas di Indonesia. Selama ini, pemerintah berdalih pemberian subsidi BBM yang seharusnya dinikmati rakyat miskin melenceng kepada golongan mampu. Padahal, penghapusan subsidi BBM dengan cara mengalihkannya langsung ke program kesehatan maupun pendidikan, tetap rawan mengalami penyimpangan.

Sebab, yang terjadi, struktur perekonomian Indonesia telanjur timpang, sehingga pengalihan subsidi BBM untuk kegiatan-kegiatan yang diharapkan dapat langsung dirasakan rakyat miskin, program kesehatan dan pendidikan misalnya, dikhawatirkan tetap akan melenceng dan lebih banyak dinikmati oleh golongan mampu seperti halnya subsidi BBM selama ini.

Subsidi BBM sama sekali tidak dapat dikambinghitamkan sebagai penyebab defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebagaimana terungkap pada berbagai edisi Nota Keuangan, volume subsidi BBM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun, yaitu dari 4,7 persen PDB pada 2001, menjadi 1,9 persen PDB (2002) dan 0,7 persen PDB (2003 dan2004).

Koalisi Anti Utang menilai, defisit APBN terutama disebabkan oleh sangat besarnya beban angsuran pokok dan bunga utang luar negeri yang harus dipikul pemerintah. Jumlahnya mencapai Rp 145 triliun atau sekitar sepertiga volume APBN. Selain itu, defisit APBN juga dipicu oleh sangat besarnya volume kebocoran dan pemborosan APBN setiap tahun.

Selain itu, Koalisi menilai, kenaikan harga minyak bumi di pasar internasional sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk menghapuskan subsidi BBM. Sebab, akibat kenaikan harga minyak, pemerintah sesungguhnya menikmati rezeki nomplok yang cukup besar jumlahnya.

Sebagaimana tampak pada perbandingan ekspor dan impor migas Indonesia tiga tahun terakhir, US$ 12,0 miliar dan US$ 6,0 miliar (2002), US$ 15,2 miliar dan US$ 7,8 miliar (2003), US$ 19,6 miliar dan US$ 11,5 miliar (2004). Hasil ekspor migas Indonesia ternyata selalu lebih besar dari pengeluaran impor migas setiap tahun, dalam kurun waktu tersebut. (H-13)

Sumber: Suara Pembaruan, 1 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan