Dana Kompensasi BBM Rawan Dikorupsi

Data jumlah masyarakat miskin yang digunakan pemerintah untuk program kompensasi pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM) tidak akurat. Hal itu membuka peluang penyaluran dana kompensasi rawan dikorupsi.

Demikian pemikiran yang mencuat dalam Diskusi Kamisan, di Hotel Sahid, Jakarta, kemarin. Hadir sebagai pembicara dalam diskusi itu Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Alwi Shihab, Direktur Analisis Statistik BPS (Badan Pusat Statistik) Hamonangan Ritonga, dosen pascasarjana FISIP UI Andrinof A Chaniago, serta anggota Komisi XI DPR Dradjad H Wibowo.

Menurut Hamonangan, kriteria dan ukuran kemiskinan antara BPS dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang dijadikan acuan pemerintah berbeda. Akibatnya, terjadi perbedaan hasil, baik dari jumlah maupun keberhasilan penyaluran dana kompensasi BBM.

Dari survei terakhir BPS, ternyata rakyat miskin yang mendapat beasiswa hanya 33,4%, kartu sehat 26,5%, beras miskin 25,9%, dan kredit UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah) 9,5%. Artinya, ada kebocoran dari penyaluran dana kompensasi BBM, kata Hamonangan.

Hal yang sama dikhawatirkan Dradjad Wibowo. Menurut anggota DPR dari Partai Amanat Nasional, ini data jumlah rakyat miskin sebenarnya tidak dimiliki pemerintah. Fakta itu berdasarkan pengalamannya dalam rapat kerja dengan pemerintah.

Saya pernah meminta data orang miskin untuk konstituen saya di Jakarta Utara, dan ternyata tidak ada. Lalu, bagaimana dana kompensasi dapat tersalurkan tepat sasaran. Semua tahulah kalau dana kompensasi BBM mudah bocor, katanya.

Menyikapi masalah tersebut, Menko Kesra Alwi Shihab mengatakan, pemerintah akan mensinkronkan data keduanya, baik dari BPS maupun BKKBN. Dari hasil sinkronisasi itu dapat dilihat mana data yang paling akurat. Data paling akurat itulah yang akan dipakai pemerintah.

Sementara tentang dana kompensasi BBM yang belum disetujui DPR, bagi Menko Kesra hal itu bukan masalah yang besar. Karena, dana tersebut bisa diambil dari APBN 2005.

Pemerintah sudah menyiapkan dana kompensasi sebesar Rp7 triliun yang diambil dari APBN 2005. Jadi tidak masalah kalau DPR belum menyetujuinya, kekurangan dana kompensasi dari 10,5 triliun itu bisa dipenuhi setelah disetujui DPR, kata Alwi.

Kemiskinan turun
Sementara itu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Sri Mulyani Indrawati mengemukakan, bila program penanggulangan kemiskinan melalui program kompensasi pengurangan subsidi (PKPS) BBM berhasil, maka hal itu akan menurunkan tingkat kemiskinan dari 16,6% menjadi 13%. Namun, target pemerintah program itu bisa menurunkan tingkat kemiskinan hingga 11,5%.

Jumlah penduduk Indonesia sekarang mencapai 217 juta jiwa. Jumlah penduduk miskin mencapai 16,6% atau 36,14 juta jiwa. Berdasarkan kriteria BKKBN, jumlah golongan prasejahtera mencapai 8,38 juta kepala keluarga (KK) dan keluarga sejahtera I 7,54 juta KK, papar Sri Mulyani pada rapat koordinasi pelaksanaan PKPS BBM di Hotel Aston, Jakarta, kemarin.

Menurut Sri Mulyani, berdasarkan kajian dari Universitas Indonesia yang dilakukan sejak 2000, program PKPS BBM bisa menurunkan tingkat kemiskinan nasional dari 16% menjadi 13%. Tetapi, pemerintah menargetkan bisa menurunkan kemiskinan hingga 11%, katanya.

Sedangkan Menko Kesra Alwi Shihab mengatakan, total dana PKPS BBM 2005 yang berjumlah Rp10,5 triliun itu akan dibagi menjadi delapan program yaitu bea siswa, jaminan pemeliharaan kesehatan, beras murah (raskin), infrastruktur desa, subsidi pembangunan rumah sehat sederhana (RSS), pelayanan sosial berupa peningkatan sarana prasarana panti di 31 provinsi, dana bergulir dan pelayanan kontrasepsi untuk keluarga berencana.

Untuk mengawal ketepatan penyaluran dana PKPS BBM 2005 (safeguarding), pemerintah menyediakan alokasi anggaran untuk koordinasi program, perencanaan, sosialisasi, unit pengaduan dan pengawasan sebesar Rp135 miliar, kata Alwi.

Alwi menjelaskan bahwa PKPS BBM merupakan bagian integral dari program penanggulangan kemiskinan nasional. Alasannya, karena PKPS BBM ditujukan langsung kepada kelompok masyarakat miskin.

Pada dasarnya, PKPS BBM bersifat darurat dan sementara untuk mengurangi dampak yang dihadapi kelompok masyarakat miskin sebagai akibat kenaikan harga barang kebutuhan dasar, katanya.

Menurut Alwi, teknis dan mekanisme penetapan kelompok sasaran penerima PKPS BBM dan program penanggulangan kemiskinan harus mencapai tiga indikator, yaitu tepat jumlah, tepat waktu, dan tepat sasaran.

Keputusan pemerintah menaikkan harga BBM mulai 1 Maret menyebabkan sejumlah harga kebutuhan pokok dan harga dasar lainnya, termasuk sektor transportasi, ikut naik. Bahkan, sejumlah harga bahan pokok sudah naik beberapa hari sebelum pemerintah memutuskan kenaikan harga BBM. (Faw/Drd/E-1)

Sumber: Media Indonesia, 4 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan