Dana Kompensasi BBM? Gelap Ah...

Tidak tahu. Demikian jawab Kartika yang sehari-hari mengelap mobil yang berhenti di perempatan Grogol, Jakarta Barat, saat ditanya mengenai kenaikan harga bahan bakar minyak.

Ditanya lagi, Apa tidak pernah beli bensin? Tidak pernah, katanya. Kembali ditanya, apakah tidak pernah mengetahui berita itu dari koran atau televisi? Kartika hanya menjawab singkat, Di rumah enggak ada televisi.

Kartika yang berasal dari Palembang, Sumatera Selatan, memang pantas belum mengetahui harga terbaru bahan bakar minyak (BBM). Sebab, rumahnya di kolong jalan layang Grogol, Jakarta Barat, yang sejak satu tahun terakhir ditempatinya bersama Rahmat Yasin, suaminya, dan Rahmat Sodikin (anaknya). Keluarga ini pun merasa tidak perlu membaca koran karena merasa ada hal yang lebih penting untuk dilakukan, yakni mencari uang untuh memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Radio transistor memang ada di gubuk mereka. Benda itu menjadi satu-satunya barang elektronik yang mengisi bangunan tripleks tanpa aliran listrik berukuran sekitar 3 x 4 meter persegi itu. Barang lainnya yang tampak di sana adalah satu kasur busa lusuh untuk tidur Kartika dan anaknya yang berusia 2,5 tahun; dua ember plastik untuk mandi dan mencuci pakaian; satu kompor minyak tanah; dan setumpuk pakaian di dalam kardus mi instan.

Yang sekarang diketahui Kartika, harga sepiring nasi berlauk tempe atau tahu dan sedikit sayur di warung tegal langganannya sejak minggu lalu naik dari Rp 2.500 menjadi Rp 2.750. Nasi dengan lauk telur tetap seharga Rp 3.000, namun sekarang tanpa sayur. Kata yang punya warung, harga naik karena harga bensin, tutur Kartika.

Meski kenaikan itu hanya Rp 250 per porsi, namun bagi Kartika hal itu amat berarti. Sebab, sehari dia dan keluarganya membutuhkan empat porsi, sehingga tambahan anggaran yang harus disiapkan menjadi Rp 1.000.

Saya harus lebih rajin mengelap. Bapaknya Sodikin juga harus lebih rajin menjaga parkir, kata Kartika, saat ditanya bagaimana cara mendapat tambahan anggaran itu. Mengelap yang dimaksud Kartika adalah membersihkan kaca mobil orang yang sedang berhenti sejenak di perempatan Grogol karena terkena lampu merah.

Ketika pertama kali menginjak Jakarta tahun 1994, Kartika yang lulusan sekolah menengah pertama (SMP) tidak pernah berpikir akan menjadi tukang lap kaca mobil. Awalnya saya menjadi pengasuh bayi. Setelah punya anak saya berhenti kerja karena tidak ada yang mengasuh anak, paparnya.

Sampai Sodikin umur enam bulan, sebenarnya Kartika masih menganggur. Namun, karena penghasilan suaminya tidak cukup untuk hidup sedangkan pulang ke kampung merasa malu dan tidak tahu apa yang harus dikerjakan, Kartika lalu memutuskan mencari uang dengan menjadi tukang lap kaca mobil orang di perempatan jalan.

Dari mengelap mobil dengan memakai kemoceng warna biru miliknya, setiap hari Kartika bisa mendapat Rp 7.000. Suaminya mendapat bagian Rp 12.000 dari menjaga parkir di kolong jembatan Grogol. Kalau kami kerja lebih keras, mungkin uang yang diterima akan bertambah, ucap Kartika berharap.

Kartika mungkin belum menyadari bahwa meningkatnya kebutuhan keluarga akibat kenaikan harga BBM merupakan masalah baru bagi mereka.

Sebab, bukan mustahil orang yang bernasib seperti dia akan bertambah sehingga persaingan di antara orang-orang seperti itu menjadi makin sengit.

Keadaan ini sudah disadari Nawati (75), pengemis yang biasa beroperasi di daerah Cawang, Jakarta Timur. Entah besok dapat berapa. Sebelum harga BBM naik saja, saya hanya dapat sekitar Rp 3.000 sehari, ucapnya sedih.

Padahal, mengemis bukanlah kerja yang ringan bagi Nawati. Untuk melakukannya dia harus berjalan tiga kilometer dari tempat tidurnya di RT 1 RW 2 Kampung Melayu ke Cawang.

Di Kampung Melayu pun, Nawati yang berasal dari Palimanan, Cirebon, ini menumpang di rumah kawan sekampungnya, Palia. Dia buruh mencuci, punya satu anak yang masih kecil. Sebenarnya dia tidak tega melihat saya mengemis. Tapi, saya juga tidak enak kalau hanya duduk-duduk. Kalau mau membantu mencuci juga tidak boleh, karena katanya saya sudah tua, papar Nawati lagi.

Meski harus mengemis, Nawati masih merasa beruntung karena mempunyai tumpangan rumah dan tidak harus menggelandang seperti Taryono.

Sejak akhir Februari lalu Taryono bersama delapan temannya terpaksa tidur dengan hanya beralaskan kertas karton di kolong jembatan layang Grogol. Saya sudah lebih satu minggu di sini. Namun, belum juga dapat proyek, ucapnya mengeluh.

Sejak 10 tahun terakhir, setiap paceklik melanda kampungnya di Banjar Harjo, Brebes, Jawa Tengah, Taryono memang biasa ke Jakarta untuk mencari uang, guna membiayai hidup istri dan ketiga anaknya.

Di Jakarta Taryono biasa menjadi kuli bangunan di proyek-proyek, dengan upah setiap hari rata-rata Rp 50.000. Setelah dipotong untuk makan, mandi, dan perjalanan pergi-pulang Jakarta-Brebes, jika satu bulan terus bekerja dia mengaku bisa membawa pulang uang ke kampung Rp 600.000.

Hasil kerja di Jakarta sebenarnya amat lumayan. Sebab, upah mencangkul di kampung hanya Rp 15.000 per hari. Itu pun adanya hanya menjelang musim tanam, kata Taryono, yang dalam satu tahun biasa pergi ke Jakarta sebanyak tiga kali, yang masing-masing lamanya sekitar satu bulan.

Namun, hitungan itu tidak selalu benar, apalagi dalam keadaan seperti sekarang di mana tidak banyak proyek yang berjalan. Saya akan terus berkeliling. Kalau Allah mengizinkan, saya nanti pasti mendapat proyek, kata Taryono optimistis. Yang dimaksud proyek oleh Taryono adalah pekerjaan sebagai kuli bangunan.

Bagi Taryono, pulang ke Brebes tanpa uang tidak ubahnya seperti tentara kalah perang. Kekalahan itu harus dihindari karena berarti tersendatnya kelanjutan hidup keluarga.

Beras tidak terlalu masalah karena setiap bulan Pak Lurah memberi 10 kilogram dengan harga tiap kilogram Rp 1.000. Tapi hidup kan tidak cukup hanya dengan beras. Saya juga butuh uang, seperti untuk sekolah anak-anak dan beli lauk, kata Taryono lagi.

Ketika diberitahu bahwa keluarganya tergolong keluarga yang bisa mendapatkan dana kompensasi BBM yang bentuknya dapat berupa beasiswa untuk anaknya atau tambahan jatah beras, mata Taryono terbelalak. Yang benar saja. Mengapa Pak Lurah belum bilang apa-apa? katanya heran.

Keheranan Taryono ini amatlah beralasan. Sebab ,jangankan kaum papa seperti dirinya, aparat DKI Jakarta yang seharusnya tahu seluk-beluk penyaluran dana kompensasi BBM saja angkat tangan ketika ditanya mengenai hal itu.

Kepala Biro Protokol dan Hubungan Masyarakat DKI Jakarta Catur Laswanto mengatakan, Pemerintah Provinsi DKI belum menerima laporan yang rinci dari pemerintah pusat tentang mekanisme penyaluran dana untuk orang miskin.

Sampai sekarang masih belum jelas, apakah kompensasi (BBM) langsung diberikan kepada bidang masing-masing ataukah seluruhnya diserahkan kepada daerah dan selanjutnya baru disalurkan, ucap Catur.

Jika pejabat pemerintah kota terbesar di Indonesia saja belum tahu mekanisme penyaluran dana kompensasi BBM, bagaimana dengan pejabat pemerintah di daerah seperti Brebes?(M Hernowo/Susi Ivvaty/Pingkan Elita Dundu)

Sumber: Kompas, 7 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan