Dana Kampanye Obama
Kemenangan Barack Obama sebagai presiden Amerika Serikat (AS) begitu memukau. Bahkan, dukungan yang patut dicatat dan menjadi pelajaran bagi calon presiden di Indonesia ialah sumbangan dana publik untuk kampanye yang amat besar. Uniknya, selain mampu memecahkan rekor sebagai kandidat presiden pengumpul dana kampanye terbesar sepanjang sejarah Pemilu AS, Obama dapat mengelola dana yang besar itu dengan cukup berimbang dan akuntabel. Sungguh, ini pelajaran penting bagi kita untuk pemilihan umum 2009.
Fundraiser yang Andal
Untuk kepentingan kampanyenya, dalam tujuh triwulan masa kampanye, Obama mampu mengumpulkan dana sebesar 640 juta dolar. Menurut Center for Responsive Politics (www.opensecrets.org), total penerimaan kampanye Obama adalah yang terbesar dalam sejarah pemilu AS. Uniknya, nilai tersebut dikumpulkan dari warga AS, terutama sumbangan individual. Obama dinilai mampu memengaruhi calon penyumbang baru dari daftar penyumbang langganan Partai Demokrat. Dengan cara seperti itu, kandidat presiden dari Partai Demokrat tersebut secara tidak langsung memperluas basis dukungan.
Kebijakan Obama terkait dana kampanye juga cukup unik. Dia dipandang melakukan satu hal yang cukup berani dan sangat percaya diri ketika menolak sumbangan dana publik, terutama dana dari pembayar pajak. Obama tercatat sebagai calon presiden pertama yang menolak sumbangan dana kampanye yang berasal dari pembayar pajak. Padahal, dana itu adalah sumbangan dari pembayar pajak di AS yang dikumpulkan sebesar 1 dolar lewat mengisi kesediaan di dalam surat pajak penghasilannya untuk kepentingan kampanye.
Obama yakin, tanpa ketergantungan pada dana pembayar pajak atau sumbangan dari penyumbang besar, kampanyenya akan dapat didanai dari sumbangan ketengan. Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan John McCain, rival obama dari Partai Republik yang justru cukup tergantung dari dana publik (federal fund). Nilainya mencapai 84,1 juta dolar atau 23 persen dari total dana kampanyenya. Inilah yang membuat Obama juga dijuluki kandidat presiden pengumpul dana (fundraiser) kampanye paling andal dalam sejarah Amerika.
Keberimbangan dan Transparansi
Selain menjadi pengumpul dana yang andal, Obama terbukti mampu menunjukkan keseimbangan yang baik dalam komposisi penyumbangnya. Hal tersebut dapat dilihat dari perbandingan porsi penyumbang kecil dan penyumbang besar, penyumbang berdasar latar belakang ekonomi atau pekerjaan dan representasi penyumbang berdasar jenis kelamin. Selain dapat digunakan untuk menilai besarnya partisipasi politik aktif, secara teoretik praktik dana kampanye memperlihatkan tingkat keseimbangan kontrol publik atas kandidat atau partai politik (Nassmacher, 2001).
Data Federal Election Committee (FEC) menunjukkan bahwa penyumbang Obama dengan kategori kecil, di bawah 500 dolar nilainya mencapai 342,5 juta dolar atau mencakup 60,4 persen dari total dana kampanye individual. Kategori penyumbang besar di atas 500 dolar hanya 39,6 persen. Ini menunjukkan keberimbangan di mana kandidat tidak akan dapat dikooptasi oleh penyumbang besar.
Sebaliknya, kandidat justru memiliki tanggung-gugat yang besar terhadap ratusan ribu penyumbang kecil. Jika dibandingkan dengan John McCain, fenomenanya menjadi berbeda, bahkan mungkin sebaliknya. Data FEC menunjukkan bahwa sumbangan besar McCain justru mendominasi dengan porsi 60,4 persen atau 113,45 juta dolar dari total sumbangan individu sebesar 187,8 juta dolar.
Obama juga mampu mengumpulkan dana yang berimbang jika dikaitkan dengan latar belakang ekonomi. Penyumbang terbesar Obama ternyata berasal dari kalangan putus kerja. Nilainya mencapai 40 juta dolar atau 12 persen dari total penyumbang kecil Obama. Ini mengisyaratkan besarnya harapan untuk perubahan perbaikan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja baru dari kemenangan Obama. Golongan marginal lainnya seperti perempuan juga cukup berimbang. Meski bisa disebut hal itu hanya kebetulan, data Center for Responsive Politics memperlihatkan bahwa penyumbang dari jenis kelamin perempuan mencapai 42,3 persen dengan total nilai sumbangan 126,2 juta dolar. Penyumbang berjenis kelamin laki-laki tidak terpaut jauh di atasnya, yaitu 57,7 persen dengan total sumbangan sebesar 172,5 juta dolar.
Jika ada yang bilang dana besar pasti potensi kecurangannya juga besar, ternyata itu tidak terbukti dalam laporan dana kampanye Obama. Untuk masalah transparansi atau tingkat akses publik atas laporan dana kampanye, Obama telah membuktikannya. Tingkat akses atas laporan dana kampanye Obama mencapai 90,7 persen (full disclosure) dengan jumlah nilai sumbangan yang dapat diakses sebesar 579,1 juta dolar. Nilai ini lebih tinggi dari porsi keterbukaan rivalnya, McCain yang merepresentasikan 87,1 persen dengan total nilai sumbangan yang dapat diakses sebesar 160 juta dolar.
Pelajaran dari Obama
Obama mengajarkan transaksi politik yang sederhana. Ada konsistensi antara agenda mendorong perubahan dengan tingkat dukungan publik. Antara agenda memperjuangkan peningkatan lapangan kerja dengan dukungan publik yang nyata dalam bentuk sumbangan untuk pemenangan atas agenda tersebut. Hal ini tentu tidak didapatkan dengan mudah. Dibutuhkan komunikasi politik yang andal sehingga publik yakin sang kandidat betul-betul akan memperjuangkan agenda perubahan. Yang lebih penting, sang kandidat tahu cara mencapainya. Sang kandidat juga harus tahu betul apa sebetulnya pengaruh dari relasi uang dan politik. Cari uang banyak untuk kampanye jelas perlu. Sebab, uang, meski bukan satu-satunya penentu kemenangan pemilu, penting dan harus (Jacobson, 1980: 33).
Masalahnya, dana kampanye adalah titik pertemuan yang penting antara kepentingan kuasa ekonomi dengan kuasa politik. Di titik inilah, kandidat harus menyelamatkan kepentingan lebih besar dengan membuat perimbangan. Dengan mengumpulkan dana kampanye yang lebih besar dari penyumbang kecil, Obama menunjukkan bahwa mendukung yes!, tapi mengontrol no! Dengan dominannya sumbangan kecil, Obama menghindari kooptasi kuasa ekonomi yang menjadi titik awal terjadinya korupsi politik***
Ibrahim Zuhdhy Fahmy Badoh, wakil koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 21 November 2008