DANA KAMPANYE DAN MASA KRITIS PILKADA 2017

Tahapan Pilkada Serentak 2017 di 101 daerah di Indonesia akan segera memasuki masa tenang, yaitu 12-14 Februari 2017. Pada masa ini, seluruh aktivitas kampanye yang telah dilakukan sejak 28 Oktober 2016 lalu dihentikan, termasuk pemasangan alat peraga, dan peserta pilkada diwajibkan mempertanggungjawabkan penerimaan dan penggunaan dana kampanye mereka.

Namun, walaupun kampanye dihentikan, tidak menutup kemungkinan upaya peserta pilkada mendekati pemilih tidak berhenti. Pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan jaringan menunjukkan bahwa masa tenang adalah titik awal masa kritis pilkada dimulai.

A. DANA KAMPANYE

Sehubungan dengan berakhirnya masa kampanye, kewajiban kandidat pilkada selanjutnya adalah mempertanggungjawabkan penerimaan dan penggunaan dana kampanye. Sebagaimana diatur dalam Pasal 20 PKPU Dana Kampanye, peserta pilkada wajib menyusun dan menyampaikan laporan dana kampanye yang terdiri atas Laporan Awal Dana Kampanye (LADK), Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK), dan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK).

Dana kampanye menjadi pokok pengaturan penting dalam UU No. 8 Tahun 2015 jo UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. KPU juga telah mengeluarkan peraturan teknis mengenai dana kampanye dalam PKPU No. 8 tahun 2015 jo PKPU No. 13 Tahun 2016. Pengaturan dana kampanye ini bertujuan untuk menciptakan lapangan kontestasi yang setara antar kandidat, mencegah korupsi pilkada danpotensi korupsi akibat tingginya biaya pemenangan pilkada, mencegah pilkada menjadi kesempatan melakukan tindak pidana pencucian uang dan instrumen kepentingan bisnis, dan menjaga integritas pilkada dari segi pendanaan.

Dibanding pilkada-pilkada sebelumnya, pengaturan dana kampanye pilkada saat ini cenderung lebih “ketat”. Hal tersebut dilihat dari adanya pengaturan baru, seperti pembatasan maksimal pengeluaran dana kampanye, batasan maksimal sumbangan partai politik, dan adanya ketentuan pembatalan sebagai pasangan calon apabila laporan akhir dana kampanye terlambat dilaporkan.

Saat ini, para peserta pilkada telah melaporan LADK dan LPSDK. Berikut adalah penerimaan peserta Pilkada DKI Jakarta, Banten, dan Kabupaten Bekasi yang dilaporkan dalam LADK dan LPSDK:


No.

 Daerah

 Batas Dana Kampanye

 Nama Pasangan Calon

 Penerimaan

 LADK

 LPSDK

       1

 DKI Jakarta

               203,314,555,000

 Agus-Sylvi

 5,000,000

 9.147.000.000

 Basuki-Djarot

 209,938,000

 48,004,132,370

 Anies-Sandi

 407,500,000

 35.677.000.000

       2

 Banten

                 98,079,853,410

 Wahidin-Andika

 325,100,000

 2,075,000,000

 Rano-Embay

 75,500,000

 1,689,250,000

       3

 Kabupaten Bekasi

                 25,022,274,736

 Meilina-Abdul Kholik

 50,700,000

 600,000,000

 Sa'duddin-Dhani

 10,000,000

 679,950,000

 Obon-Bambang

 50,000,000

 2,401,800,000

 Iin Farihin-Mahmud

 500,000

 40,000,000

 Neneng-Eka

 10,000,000

 650,000,000

LADK dilaporkan oleh peserta pada 27 Oktober 2016 dan berisi pembukuan yang memuat informasi Rekening Khusus Dana Kampanye (RKDK), sumber perolehan saldo awal, rincian perhitungan penerimaan dan pengeluaran yang diperoleh sebelum pembukaan rekening, dan penerimaan sumbangan yang bersumber dari Pasangan Calon dan/atau Partai Politik atau Gabungan Partai Politik dan pihak lain. 
Artinya, LADK merekam penerimaan dan pengeluaran dana kampanye peserta sebelum adanya RKDK hingga 27 Oktober 2016.

Jumlah penerimaan yang disampaikan oleh beberapa pasang calon kepala daerah dalam table diatas terlihat tidak wajar.Jumlah penerimaan yang dicatat oleh pasangan calon nomor urut 1, Agus-Sylvi, misalnya. Mereka hanya mencatatmenerima sebesar Rp 5.000.000,-. Angka ini sangat tidak masuk akal, terlebih lagi dalam pertarungan pilkada Provinsi DKI Jakarta.Contoh lainnya adalah jumlah penerimaan yang dilaporkan oleh calon-calon kepala daerah di Kabupaten Bekasi, seperti Iin Farihin-Mahmud. Pasangan calon nomor 4 ini hanya mencatat menerima dana sebesar Rp 500.000,-.

Tidak hanya dalam LADK, ketidakwajaran laporan dana kampanye juga terlihat di LPSDK. Agus-Sylvi melaporkan penerimaan dana kampanye yang sangat kecil dibanding dua kompetitornya, Basuki-Djarot dan Anies-Sandi. Demikian pula jumlah penerimaan yang dilaporkan oleh calon kepala daerah di Banten dan Kabupaten Bekasi. Ketidakwajaran yang paling mencolok lagi-lagi terlihat dalam LPSDK Iin Farihin-Mahmud yang hanya melaporkan menerima Rp 40.000.000,-. Padahal, periode kampanye yang dilalui sudah cukup panjang, yaitu hingga 21 Desember 2016, atau mendekati dua bulan kampanye.

Laporan dana kampanye yang minimalis dan tidak wajar ini kontras dengan fenomena kampanye berbiaya tinggi yang selama ini dikeluhkan baik oleh partai politik maupun peserta pilkada. Jika dibandingkan dengan batasan maksimal dana kampanye yang ditetapkan KPUD di masing-masing daerah, jumlah penerimaan dan pengeluaran yang dilaporkan oleh kandidat jauh dari batasan. Indikasi yang lebih mengemuka bukan menurunnya tren kebutuhan biaya memenangkan pemilu tetapi ketidakjujuran peserta dalam melaporkan.Sebab, intensitas kampanye dan penyebaran alat peraga serta bahan kampanye terlihat sangat masif di beberapa daerah atau titik.

Kondidi pelaporan LADK dan LPSDK ini dikhawatirkan akan terjadi pula dalam LPPDK atau laporan akhir dana kampanye yang akan diaudit oleh Akuntan Publik yang ditunjuk oleh KPUD. Apabila laporan dana kampanye hanya menjadi dokumen laporan yang tidak menggambarkan realitas di lapangan, tujuan diaturnya kampanye dan dana kampanye tidak akan tercapai. Laporan tersebut hanya menjadi syarat administratif agar peserta tidak dikenai sanksi.

B. MASA KRITIS PILKADA

Berakhirnya masa kampanye merupakan penanda masuknya tahapan pilkada pada tahapan paling kritis, yaitu masa tenang, pemungutan suara, penghitungan dan rekapitulasi suara.Pada masa ini, penyakit pemilu yang paling merusak, yaitu politik uang atau suap dari peserta ke pemilih atau penyelenggara pemilu, potensial terjadi.

Di Banten dan Kabupaten Bekasi, politik uang kepada pemilih sudah mulai beredar dan dikhawatirkan akan semakin marak pada hari tenang hingga pemungutan suara. Di Banten, misalnya. Saat ini Bawaslu Banten tengah diuji “keberaniannya” dalam menindak kasus politik uang yang diduga dilakukan oleh tim sukses salah satu pasang calon. Namun di luar harapan, Ketua Bawaslu Banten Pramono justru menyatakan menghentikan penanganan kasus dugaan politik uang tersebut akibat sulitnya pembuktian terjadinya dugaan pelanggaran tersebut.

Kajian ICW terhadap potensi politik uang dalam Pilkada Kabupaten Bekasi 2017 menemukan alur distribusi uang, besaran, dan daerah rawan politik uang di Bekasi. Penelusuran yang dilakukan sejak November 2016 hingga Januari 2017 di 48 desa di Kabupaten Bekasi ini menemukan:

1.       Terdapat kandidat yang telah mencairkan dana pada jaringan sosial dan sedang mencari warga atau kelompok warga yang bersedia menyebarkan langsung pada pemilih.

2.       Nilai uang yang akan ditawarkan pada pemilih bervariasi mulai dari Rp 50.000,- sampai dengan Rp 250.000,-.

3.       Berdasarkan hasil wawancara dengan warga di 48 desa tersebut, diketahui bahwa sejumlah warga yang menjadi pemilih masih toleran atas tawaran uang pemilih. Uang tersebut dapat mempengaruhi pilihan mereka apabila diberikan minimal Rp 100.000,-.

4.       Terdapat 20 dari 48 desa yang menjadi titik paling rawan, yaitu Bantar Jaya, Lenggahsari, Sumber Urip, Medalkrisna, Jayalaksana, Sukamulya, Karangasih, Pahlawan Setia, Sukarukun, Jati Baru, Sukadarma, Hegarmanah, Sirna Jaya, Sindangjaya, Jaya Sampurna, Mekarsari Barat, Setia Mulya, Mekarsari Barat, Setia Mulya,dan Taman Rahayu.

Berdasarkan persoalan-persoalan diatas, ICW merekomendasikan:

1.       Sehubungan dengan pelaporan dana kampanye:

a.        Peserta pilkada di 101 daerah di Indonesia melaporkan dana kampanye secara jujur, lengkap, dan terbuka dalam LPPDK yang harus diserahkan pada 12 Februari 2017 nanti.

b.       KPUD memerintahkan kepada auditor untuk tidak hanya mengaudit laporan dana kampanye tetapi juga membandingkan kewajarannya dengan aktivitas kampanye peserta yang juga dilaporkan ke KPUD.

c.        Masyarakat untuk ikut mengawasi laporan dana kampanye dan melaporkan ketidakwajaran atau aktifitas yang diduga penerimaan dan pengeluarannya tidak dicatat oleh peserta.

2.       Sehubungan dengan masa kritis pilkada:

a.        Kandidat dan tim sukses berkontestasi secara jujur dan tidak melakukan perbuatan curang yang melanggar UU Pilkada, seperti politik uang.

b.       Pemilih dalam Pilkada 2017 agar tidak menerima uang dari kandidat, tim sukses atau tokoh masyarakat yang akan menyebarkan uang.

c.        Pengawas pemilu dan masyarakat untuk memantau dan melaporkan jika ada pihak tertentu yang menyebarkan uang dan meminta atau tidak untuk memilih kandidat tertentu.

d.       Masyarakat ikut aktif mengawasi pilkada hingga proses rekapitulasi suara.


Jakarta, 10 Februari 2017

Indonesia Corruption Watch

CP:

Febri Hendri A. A (081219867097)

Donal Fariz (085263728616)

Almas Sjafrina (081259014045)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan