Dana Bantuan Hukum Bank Indonesia Dinilai Terlalu Besar
Perlu dikhawatirkan dana itu digunakan untuk biaya tidak terduga.
Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch, Adnan Topan Husodo, mempertanyakan standar pemberian bantuan hukum yang diberikan Bank Indonesia. Dia menegaskan bantuan hukum harus mempunyai plafon yang jelas. (Sebab) kalau tidak, bisa menimbulkan penyalahgunaan wewenang, katanya di Jakarta kemarin.
Pernyataan Adnan tersebut dikeluarkan menanggapi keputusan Bank Indonesia yang mengeluarkan dana Rp 96,25 miliar untuk bantuan hukum kepada para mantan pejabatnya terkait dengan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Menurut surat Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution kepada Komisi Pemberantasan Korupsi pada 14 November 2006, dana itu merupakan bantuan resmi senilai Rp 27,75 miliar dan tidak resmi Rp 68,5 miliar (Koran Tempo, 10 Desember).
Menurut Adnan, meskipun bantuan hukum itu dimungkinkan dalam peraturan Bank Indonesia, lembaga itu harus menetapkan syarat-syaratnya. Setidaknya, kata dia, ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi guna mencairkan dana negara tersebut.
Dia menegaskan besaran dana yang boleh dikucurkan harus terukur. Misalnya, untuk lawyer fee, perlu penelusuran melalui perbandingan dengan kantor pengacara lain, ujarnya.
Kemudian harus ada prinsip yang jelas mengapa dana itu dikeluarkan. Keluarnya dana bantuan, kata Adnan, tak bisa hanya berdasarkan keputusan rapat Dewan Gubernur yang berkaitan dengan Dewan Gubernur Bank Indonesia sebelumnya. Syarat terakhir, dana yang dikeluarkan harus dapat dipertanggungjawabkan seluruhnya.
Adnan berpendapat sebenarnya perkara BLBI itu tidak terlalu rumit. Jadi, menurut dia, biaya untuk bantuan hukum para pejabat itu terlalu besar. Saya memang tidak berkecimpung di bidang kepengacaraan. Namun, perkara BLBI itu kan hanya perlu (dilakukan) cek dokumen BI dan bank penerima bantuan. Tidak rumit, katanya.
Bagi praktisi hukum Frans Hendra Winata, besaran biaya pengacara yang dikeluarkan Bank Indonesia tersebut masih wajar. Dia memperkirakan, dengan skala perkara yang dihadapi para mantan anggota direksi bank sentral itu, biayanya bisa berapa saja. Mulai Rp 550 juta hingga Rp 5 miliar, katanya.
Biaya pengacara, kata dia, sangat bergantung pada kepercayaan klien, ranking pengacara, dan jangkauan pekerjaan. Jika pekerjaan menuntut penelusuran dan penelitian dokumen yang rumit sehingga harus dikerjakan tim, wajar jika pengacara menagih hingga Rp 5 miliar, bahkan Rp 10 miliar.
Tapi Frans mewanti-wanti, bisa saja jika dalam prakteknya dana itu tidak hanya untuk pengacara, tapi juga untuk biaya tidak terduga. Biaya tak terduga di luar lawyer fee ini, menurut Frans, misalnya untuk membayar calo atau memperlancar proses peradilan. Itu perlu dikhawatirkan, kata dia. shinta eka p
Sumber: Koran Tempo, 11 Desember 2007