Dalih-dalih Setya
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan KTP elektronik pada 10 November lalu. Setya dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) sub Pasal 3 UndangUndang Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman penjara paling lama 20 tahun. Ini menjadi episode baru dari penanganan kasus korupsi KTP elektronik setelah putusan praperadilan sebelumnya yang telah menggugurkan status tersangka Setya.
Nama Setya sebenarnya sudah tidak asing lagi dalam perkara korupsi ini. Sedari awal saat pem bacaan dakwaan oleh jaksa KPK untuk terdakwa Irman dan Sugiharto, Ketua Umum Partai Golkar ini disebut menerima aliran dana sebesar Rp 574 miliar. Beberapa kesaksian pun turut menunjukkan keterlibatan Setya dalam perkara yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 2,3 triliun ini.
Perlawanan dari Setya pun mulai terlihat. Melalui kuasa hukumnya, Fredrich Yunadi, Setya melaporkan dua pemimpin KPK dan dua penyidik ke polisi karena telah menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) dan surat pem beritahuan dimulainya penyidikan (SPDP) atas nama tersangka Setya Novanto. Ini bukan hal baru bagi KPK. Sudah menjadi “tradisi”, ketika KPK sedang mengusut perkara besar dan diduga melibatkan orang-orang yang mempunyai pengaruh politik, maka akan berujung pada upaya kriminalisasi terhadap lembaga antirasuah itu.
Tak hanya itu, Setya pun kerap tidak memenuhi panggilan dari KPK untuk pemeriksaan dirinya. Sedikitnya sudah 11 kali Setya dipanggil oleh penyidik maupun jaksa KPK, tapi Setya hanya memenuhi lima panggilan sebagai saksi: tiga kali di penyidikan dan dua di persidangan.
Terdapat dua dalil hukum yang kerap digunakan Setya untuk mangkir dari pemeriksaan KPK.Pertama, dia tidak bisa diperiksa oleh KPK karena memiliki hak imunitas sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Argumen ini sama sekali tidak tepat digunakan. Hak imunitas memang melekat pada diri anggota DPR, sesuai dengan Pasal 20 A ayat (3) UUD 1945. Namun, soal tindakan apa saja yang dilindungi oleh hak imunitas, tentu kita harus merujuk pada peraturan turunannya. Jelas tertera dalam Pasal 224 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) bahwa anggota Dewan tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya di dalam atau di luar rapat Dewan yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas Dewan.
Lantas, apakah anggota Dewan yang diduga melakukan tindak pidana korupsi punya hak imunitas? DPR berdasarkan Undang-Undang MD3 memiliki tiga fungsi, yakni legislasi, anggaran, dan pengawasan. Sudah barang tentu jika seseorang diduga melakukan tindak pidana itu tidak ada kaitan dengan kerja legislasi, anggaran, maupun pengawasan.
Kedua, pemeriksaan Setya harus atas izin pre siden. Argumen ini pun dapat dibantah dengan tegas. Sudah jelas tertera dalam Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang MD3 bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota Dewan yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Pasal itu kemudian dianggap inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2014. MK berpandangan bahwa frasa “Mahkamah Kehormatan Dewan” harus diganti menjadi “Presiden”.
Tetapi pasal tersebut tidak tepat untuk dijadikan dalil bagi Setya untuk mangkir dari pemeriksaan KPK. Alasan yang paling jelas adalah Setya sedang diperiksa sebagai saksi untuk Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo, tersangka kasus korupsi KTP elektronik. Pasal 1 angka 26 KUHAP mengatakan bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana. Sedangkan Pasal 245 ayat (1) tadi sebenarnya merujuk pada seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka, bukan saksi.
Lalu, apakah seorang anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana korupsi harus mendapat persetujuan tertulis dari presiden jika ingin dimintai keterangan oleh KPK? Pasal 245 ayat (3) huruf c Undang-Undang MD3 secara gamblang menyebutkan bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku apabila anggota DPR disangka melakukan tindak pidana khusus.
Tindak pidana khusus merupakan tindak pidana yang diatur di luar KUHP oleh undang-undang yang khusus dibuat untuk mengaturnya. Kejahatan korupsi termasuk tindak pidana khusus. Jadi, jika KPK ingin memanggil seorang anggota DPR yang berstatus sebagai saksi atau tersangka dengan dugaan melakukan tindak pidana korupsi, ia tidak memerlukan izin dari presiden.
Sebagai salah satu pemimpin lembaga negara, sudah seharusnya Setya memberikan contoh yang baik kepada masyarakat. Membangun argumen-argumen demi mengaburkan proses hukum hanya akan membuat pengungkapan perkara KTP elektronik menjadi semakin lambat dan kepercayaan publik terhadap dirinya akan semakin turun.
Kurnia Ramadhana, Pegiat Antikorupsi Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 20 November 2017