Dagang Pengaruh dan Korupsi Kebijakan

Kisah dagang pengaruh bukanlah cerita baru di republik ini. Sejak masa pemerintahan Orde Lama, korupsi dengan pola ini telah terjadi. Tiap era pemerintahan punya kisahnya masing-masing. Cerita itu selalu berulang hingga saat ini di era reformasi. Kasus menjerat Ketua DPD Irman Gusman yang terjaring operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan contoh mutakhir. 
 
Dahulu, dagang pengaruh lebih dominan dilakukan pejabat- pejabat yang duduk di kursi kekuasaan eksekutif. Sebagaimana dituliskan Ulf Sundhaussen (1982) dan Iip D Yahya (2004), beberapa menteri era sistem pemerintahan parlementer pernah dituduh melakukan dagang pengaruh. Iskaq Tjokrohadisurjo, Menteri Perdagangan era Kabinet Ali Sastroamidjojo, pernah diseret ke pengadilan atas kasus tersebut. Dengan pengaruhnya, Menteri Perdagangan Iskaq dituduh "mengatur" lisensi impor bagi perusahaan orang-orang dekatnya. 
 
Pada masa Orde Baru, kekuasaan eksekutif yang dominan memonopoli pola korupsi ini. Namun, sekarang, dagang pengaruh tersebar di simpul-simpul kekuasaan "trias politika"seiring menyebarnya kekuasaan negara, baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Bahkan, aktor eksternal pemerintahan memiliki peran yang semakin penting, ketua partai politik, misalnya. 
 
Skandal "papa minta saham", kasus eks Presiden PKS, dan kasus Ketua DPD-RI memberi petunjuk peningkatan aktor-aktor non-pemerintahan yang bermain di wilayah ini. Kekuasaan birokrasi menjadi kapling yang diperebutkan politisi. 
 
Fakta ini mungkin merupakan bentuk konfirmasi atas sejumlah temuan kajian yang menghubungkan modus dagang pengaruh dengan kebutuhan pembiayaan politik. Dengan demikian, tidak heran jika terjadi peningkatan skandal korupsi yang melibatkan politisi-politisi berpengaruh di negeri ini. 
 
Andaikata Indonesia telah memiliki instrumen hukum yang mengkriminalisasi perdagangan pengaruh dan perluasan makna pejabat publik, termasuk politisi yang menjabat di partai politik, boleh jadi akan lebih banyak lagi orang-orang kuat yang terjerat. 
 
Peningkatan skandal korupsi politisi juga didukung sikap permisif partai politik. Partai merasa tidak bertanggung jawab atas rendahnya integritas politisi yang diusungnya. Bahkan, partai menjadi sangat akomodatif terhadap mereka yang pernah dihukum kejahatan korupsi. Dalam penunjukan pengurus teras partai atau penjaringan bakal calon kepala daerah, faktor integritas ini sudah diabaikan. 
 
Begitu juga dalam hal pendanaan, partai terlihat tidak menghiraukan sumbernya. Padahal, patut diduga bahwa dana-dana yang dihasilkan politisi secara tidak wajar berasal dari perbuatan koruptif. Sebagai institusi demokrasi, partai politik jauh dari standar lembaga yang memiliki sistem keuangan publik yang transparan dan akuntabel. 
 
Merosotnya komitmen anti korupsi kalangan politik juga terlihat dari pernyataan-pernyataan bernada sumbang. Tak heran ketika KPK menangkap seorang politisi, KPK-lah yang diserang. Suara permintaan agar KPK dibubarkan juga tak kalah nyaring. Membuat publik makin meragukan kesungguhan komitmen anti korupsi politisi yang dalam program kampanye selalu diklaim sebagai komitmen prioritasnya. 
 
Kebijakan koruptif 
Persekongkolan hasil dagang pengaruh hanya akan menghasilkan kebijakan yang koruptif. Sebuah bentuk kebijakan yang tak berlandaskan kebutuhan publik dan tidak menyelesaikan masalah publik, tetapi yang hanya melayani permintaan yang punya kuasa dan berpihak kepada kelompok yang membayar sogokan. Ujungnya, tentu masyarakat yang akan menerima dampak buruk dari kebijakan yang dirumuskan sebagai cara-cara koruptif tersebut. 
 
Berbagai kasus dagang pengaruh menunjukkan bahwa begitu mudahnya membolak-balik kebijakan di negeri ini. Walaupun kita sudah mempunyai aturan- aturan hukum tentang bagaimana kewenangan pemerintah dijalankan dan prinsip-prinsip penggunaan kewenangan, tetap saja ada tangan-tangan yang berpengaruh yang bisa mengutak- atiknya. 
 
Buruknya tata kelola pemerintahan berkontribusi pada pola korupsi dagang pengaruh. Dalam kondisi di mana birokrasi pemerintah dengan mudah dipengaruhi oleh kepentingan koruptif dalam menetapkan kebijakan, maka perdagangan pengaruh akan semakin meningkat. Akan menjadi sulit untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam penetapan kebijakan pemerintah. 
Jika saja pemerintah konsisten dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan kewenangan, boleh jadi pengaruh-pengaruh luar tak akan berhasil. Apabila pemerintah bergeming atas pengaruh dan intervensi koruptif dari aktor-aktor luar, boleh jadi korupsi dengan cara dagang pengaruh ini tidak akan ada harganya. Namun, selama pemerintah membuka peluang itu, kasus demi kasus akan terus terjadi. 
 
Selama ini perbaikan tata kelola pemerintah boleh jadi tidak berjalan dengan baik. Kasus korupsi terkait jatah impor, perizinan, dan semacamnya sudah sering terjadi, tetapi tampaknya perbaikan belum dilakukan secara signifikan. Sistemnya masih sama dan potensi korupsi masih terbuka lebar. Ada garis yang terputus antara penindakan yang dilakukan oleh KPK dan perbaikan tata kelola yang mestinya dilakukan pemerintah. 
 
Lagi-lagi, Presiden punya PR besar untuk menentukan arah reformasi birokrasi. Jangan sampai birokrasi kembali ke pola lama di mana sangat rapuh atas godaan korupsi dan intervensi koruptif orang-orang kuat yang berpengaruh. 
 
Oce Madril, Direktur Advokasi Pusat Kajian Anti Korupsi FH UGM, sedang riset doktoral di Van Vollenhoven Institute Universitas Leiden, Belanda 
------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 September 2016, di halaman 7 dengan judul "Dagang Pengaruh dan Korupsi Kebijakan".

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan