Daerah Minta Jaminan Hukum; Pembahasan RAPBD Juga Sangat Terlambat

Sejumlah pemerintah daerah mengharapkan adanya jaminan hukum dalam pengelolaan anggaran. Mereka menganggap telah terjadi perbedaan persepsi dengan pemeriksa keuangan dan penegak hukum dalam melihat penyelewengan anggaran. Kini, pejabat di daerah takut menjadi pimpinan proyek.

Faktor itulah yang menjadi kendala utama macetnya realisasi anggaran di daerah. Proyek-proyek pembangunan yang sudah direncanakan tidak bisa berjalan karena tidak ada yang mau menjadi pimpinan proyek, kata Abdullah Vanath, Bupati Seram Bagian Provinsi Maluku di sela penandatanganan kerja sama perjanjian penjaminan kredit antara 15 pemerintah daerah (pemda) dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) dengan PT Askrindo, Rabu (26/7), di Jakarta. Kerja sama tersebut diprakarsai oleh Bank Indonesia (BI).

Menurut Abdullah, di tengah era demokrasi ini, asas praduga tak bersalah justru tak dijunjung tinggi. Pejabat yang belum tentu melanggar hukum kadangkala sudah dinilai buruk oleh masyarakat akibat pemberitaan media massa tentang dugaan penyimpangan tender proyek. Respons aparat penegak hukum yang kadangkala berlebihan semakin membuat takut para pejabat untuk bersentuhan dengan masalah anggaran. Tak hanya pemimpin proyek, para pimpinan di daerah termasuk bupati, kata Abdullah, juga ketakutan.

Dia mencontohkan, keragu-raguan para pemimpin daerah untuk menggunakan dana tanggap darurat, misalnya untuk mengatasi bencana alam atau wabah penyakit. Meskipun semua sudah dilaksanakan sesuai aturan, tetap saja para pejabat khawatir, katanya.

Karena itulah, kata Abdullah, pemerintah pusat mestinya menjelaskan kembali aspek hukum pengelolaan anggaran, sekaligus memberikan jaminan kepada para pejabat yang telah bertindak sesuai aturan. Pemerintah daerah, aparat pemeriksa keuangan, penegak hukum, dan masyarakat juga harus memiliki persepsi yang sama mengenai penyelewengan dan penyimpangan penggunaan anggaran.

Jika masalah ini tertangani, Abdullah optimistis kegiatan pembangunan di daerah bisa berjalan kembali. Sebab, masalah lain seperti telatnya persetujuan APBD dan rendahnya kapasitas kelembagaan di daerah bukanlah kendala berarti, dan bisa diantisipasi pemda.

Menumpuk

Pemda yang kesulitan merealisasikan anggaran akhirnya menanam surplus dananya yang berasal dari Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil pada BPD setempat. Menurut Direktur Utama BPD Kalimantan Timur (Kaltim) Aminuddin, dana pemda umumnya ditaruh dalam bentuk deposito berjangka satu bulan sehingga BPD harus membayar bunga kepada pemda. Karena jumlahnya relatif besar dan sulit disalurkan sebagai kredit, akhirnya BPD menempatkan dana tersebut pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang kini berbunga 12 persen per tahun. Menurut dia, dari total dana pemda sebesar Rp 7 triliun di BPD Kaltim, sekitar Rp 5 triliun dibelikan SBI. Belum ada tanda-tanda uang tersebut akan ditarik oleh pemda, kata Aminuddin.

Secara nasional, dana BPD yang ditempatkan pada SBI cenderung membesar. Hingga pertengahan Juni 2006, nilainya mencapai Rp 41,89 triliun, atau sekitar 25 persen dari total SBI senilai Rp 168 triliun.

Padahal, di tengah kondisi seretnya kucuran kredit perbankan, suku bunga tinggi, iklim dunia usaha belum kondusif, daya beli masyarakat rendah, percepatan realisasi anggaran menjadi tumpuan pengusaha menggerakkan sektor riil (Kompas, 26/7).

Undang-Undang No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur, selambat-lambatnya minggu pertama Oktober tahun berjalan, pemda sudah harus mengajukan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun berikutnya.

Kenyataannya, pembahasan APBD rata-rata dimulai awal tahun dan baru dapat disahkan antara Februari dan April. Bahkan APBD Provinsi Papua tahun 2006 misalnya, baru disepakati dan diajukan ke Departemen Dalam Negeri akhir Mei lalu.

Ketua Komisi II DPRD Provinsi Banten Media Warman mengatakan, belum pernah mendengar ada daerah mulai menyusun rencana anggaran pada akhir tahun. Padahal, setelah APBD disahkan, pemerintah masih harus menyusun daftar anggaran satuan kerja. Jika program kerja pemerintah daerah dilaksanakan pihak ketiga melalui tender, persiapannya bahkan butuh waktu sampai enam bulan. Dana pun menjadi menganggur.

Menurut Media, pada periode Februari sampai Mei tahun ini saja, sekitar Rp 500 miliar dana pemerintah Banten belum digunakan. Jumlah itu sekitar sepertiga APBD Banten tahun 2006 senilai Rp 1,6 triliun.

Dikatakan, pemerintah daerah seharusnya juga menyampaikan pada DPRD rencana pembiayaan pembangunan yang menggunakan dana dekonsentrasi dari pemerintah pusat. Dengan demikian, dapat dihindari pembiayaan ganda atau inefisiensi.

Namun, kata Media, dana dekonsentrasi tidak diberikan sekaligus dan kerap kali rencana pembiayaan dengan dana dekonsentrasi tidak diketahui pemerintah daerah dan DPRD. Gubernur bahkan bilang, dana dekonsentrasi dari departemen langsung ke dinas, nggak lewat Gubernur, jadi enggak tahu juga mau menyampaikan apa ke DPRD, ujarnya.

Ekonom dari Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gajah Mada Mudrajad Kuncoro menilai, dua kali revisi UU otonomi daerah belum mampu mewujudkan harmonisasi kebijakan perencanaan pembangunan pada tingkat nasional dan daerah. Aturan sektoral juga belum sepenuhnya sinergis dengan ketentuan otonomi daerah.

Tidak ada koordinasi karena koordinasi selalu diartikan berkurangnya jatah anggaran institusi tertentu atau berkurangnya proyek sektoral, kata Mudrajad.(FAJ/DAY/OIN)

Sumber: Kompas, 27 Juli 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan