Daan: Saya Sayang Hamid; Berharap Presiden Beri Amnesti
Daan Dimara, mantan anggota KPU yang menjadi terpidana kasus pengadaan segel sampul surat suara pada pilpres I dan II, belum lelah untuk terus mencari keadilan. Kepada Jawa Pos yang mengunjunginya di tahanan Polda Metro Jaya kemarin, dia menanggapi langkah Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) Hamid Awaluddin yang juga tak lelah membantah tidak terlibat dalam korupsi KPU.
Saya merasa dikorbankan Hamid. Tapi, saya sampai sekarang masih berprasangka baik kepada dia, katanya kemarin.
Hari itu, wajah Daan tampak cerah dengan kaus pink dan celana pendek biru tua. Selama menerima Jawa Pos, tidak ada petugas yang mendampingi dia.
Daan juga menyambut baik langkah Hamid yang telah mengklarifikasi kasus KPU ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Jumat lalu. Semoga Hamid tidak hanya membela diri, tapi menjelaskan kesulitan yang dialami KPU saat itu. Namun, semua bergantung kearifan presiden, ungkapnya.
Daan berharap, dalam melihat kasus KPU tersebut, SBY mempertimbangkan kesuksesan pemilu dan pilpres sebagai dasar untuk memberikan amnesti kepada anggota-anggota KPU yang dibui. Sebab, ada beberapa anggota yang tidak terbukti berkorupsi, tapi hanya salah prosedur pengadaan barang seperti yang telah diatur dalam Keppres No 80 Tahun 2003.
Ibarat bermain silat, Hamid saat ini sedang mengeluarkan satu per satu jurus untuk menangkis serangan yang diarahkan kepada dirinya. Serangan itu berupa tudingan dari kubu Daan yang menyebut Hamid terlibat langsung dalam penentuan harga segel Rp 99 per keping dalam pilpres I dan II. Dalam sidang dengan terdakwa Daan, keterlibatan Hamid tersebut dibenarkan lima saksi. Salah satunya, Direktur PT Royal Standar (PT RS) Untung Sastrawijaya.
Majelis hakim menerima keterangan saksi itu dan akhirnya memutus bahwa kedudukan Daan sebagai ketua panitia pengadaan segel tidak berdampak pada pengadaan segel tersebut. Hakim bahkan membenarkan bahwa yang menentukan harga segel itu adalah Hamid.
Daan kemudian divonis lebih ringan daripada tuntutan jaksa, yakni empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider kurungan dua bulan penjara. Pertimbangan dan putusan hakim tersebut lantas dijadikan salah satu bukti bagi kubu Daan untuk melaporkan Hamid ke polisi dengan tuduhan memberikan kesaksian palsu. Sebab, ketika diajukan sebagai saksi dalam persidangan Daan, Hamid membantah bahwa dirinya hadir pada rapat 14 Juni 2004 dengan agenda penentuan harga segel.
Hamid mati-matian membantah. Dia lantas menantang kubu Daan agar menunjukkan bukti fisik kehadiran dirinya dalam rapat 14 Juni 2004 tersebut. Yang diminta adalah daftar hadir dan notulensi rapat.
Langkah Hamid tak berhenti di situ. Jumat lalu, dia mengklarifikasi kasusnya kepada SBY. Dalam suratnya kepada presiden, yang sampai ke tangan wartawan, Hamid membantah telah memimpin rapat penentuan harga segel surat suara Pilpres 2004 pada 14 Juni 2004. Menurut dia, penentuan harga pencetakan segel Rp 99 per buah itu dilakukan pada 11 Juni 2004 oleh konsultan ahli KPU Sentot Mardjuki.
Nota dinas ketua panitia pengadaan segel (Daan Dimara, Red) pada 26 Juli 2004 kepada kepala biro keuangan KPU secara eksplisit menyatakan, kedua pihak (panitia dan PT Royal Standard) telah menyetujui harga cetak segel sesuai tahap negosiasi pekerjaan pengadaan dan pencetakan segel yang sudah ditentukan konsultan ahli KPU, ungkap Hamid dalam suratnya.
Daan tetap bergeming dan yakin bahwa yang menentukan harga segel itu adalah Hamid. Tidak benar saya dilibatkan dalam penentuan harga. Saya baru tahu harga segel Rp 99 per keping ketika menandatangani dokumen-dokumen yang akan diserahkan kepada BPK, tegas kepada Jawa Pos kemarin.
Meski demikian, dia tetap menghormati tindakan Hamid yang mengklarifikasi kasusnya ke presiden. Silakan dia (Hamid) terus membantah. Saya pun akan terus mencari keadilan. Saya yakin, keadilan yang sebenarnya pasti akan terungkap, katanya.
Secara pribadi, Daan mengaku tidak memiliki masalah dengan Hamid. Sebagai teman, saya sayang sama Hamid. Tapi, ini masalah hukum. Harus diselesaikan seadil-adilnya, ujarnya.
Ketika mengunjungi Daan di tahanan, Jawa Pos juga bertemu Untung Sastrawijaya, direktur PT Royal Standar, rekanan KPU yang juga menjadi terpidana, satu kasus dengan Daan. Untung sudah divonis lima tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider tiga bulan.
Wajah Untung kemarin tampak pucat. Dia mengaku tekanan darahnya turun. Sama dengan Daan, dia tetap yakin bahwa Hamid-lah yang mengendalikan rapat pada 14 Juni 2004 itu dan mempertahankan harga segel tetap Rp 99 per keping. Sebagai pengusaha, saya tentu mau untung. Tapi, kor anggota KPU dulu selalu bilang, ini demi negara, bela dong kepentingan negara. Makanya, saya nyerah, ungkapnya.
Sepanjang yang dia ketahui, mastermind kasus segel, baik pemilu legislatif, pilpres I, maupun pilpres II, adalah Sekretaris Panitia Pengadaan Segel Bakri Asnuri dan Sentot Mardjuki. Sebab, mereka menjadi penentu harga segel. Saya heran, mengapa keduanya lepas dari pantauan KPK? ujarnya memperkuat fakta persidangan yang pernah disampaikannya di Pengadilan Tipikor.
Soal pertemuan 14 Juni 2004 itu, Untung mengaku, memang tidak ada daftar hadir dan notulensi. Waktu itu, masing-masing peserta rapat mencatat sendiri-sendiri hasil pertemuan. Saya saat ini sedang mencari buku catatan saya sebagai bukti bahwa rapat tersebut pernah ada. Sekarang nggak tahu di mana. Maklum, sudah dua tahun, jelasnya.
Fakta lain yang dibeberkan Untung dalam pembicaraannya dengan Jawa Pos, bukan hanya Hamid dan lima saksi yang hadir dalam rapat. Namun, ada dua lagi anggota KPU yang tidak dikenalnya yang juga hadir dalam rapat tersebut. Sampai sekarang saya tidak tahu mengapa KPK tidak menghadirkan mereka dalam kesaksian, katanya. (ein/nue)
Sumber: Jawa Pos, 25 September 2006