Cuci Uang dalam Kampanye Presiden; KPU Terima Laporan Dana Sumir [13/06/04]

Para kandidat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) ternyata tidak jujur dalam penggunaan dana kampanye. Karena terjadi disparitas signifikan antara dana kampanye yang dilaporkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan kenyataan dana yang digunakan.

''UANG itu dari mana, kok enggak ada habis-habisnya,'' tanya Sekretaris Jenderal (Sekjen) Transparency International Indonesia (TII) Emmy Hafild, kepada Ketua Tim Kampanye Capres-Cawapres Wiranto-Salahuddin Wahid, Slamet Effendy Yusuf dalam acara dialog soal dana kampanye pemilihan umum presiden (pilpres), di sebuah stasiun televisi swasta, Rabu malam pekan lalu.

Emmy penasaran, sebab di awal putaran pertama kampanye, dana yang dibelanjakan tim kampanye lima pasangan capres-cawapres, ternyata lebih besar dari yang dilaporkan kepada KPU.

Lihat saja, dana kampanye untuk pasangan Wiranto-salahuddin Wahid yang dilaporkan via surat 25 Mei 2004 kepada KPU, disebutkan sebesar Rp3,75 miliar, dikurangi Rp250 juta untuk membayar Lembaga Survei Indonesia.

Surat Tim Kampanye Mega-Hasyim yang ditandatangani Soetjipto dan Heri Akhmadi untuk KPU, tanggal 31 Mei 2004, juga melaporkan saldo awal dana kampanye sebanyak Rp2,6 miliar yang bersumber dari kas partai.

Ditanggal yang sama, Tim Kampanye Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) dalam suratnya ke KPU, menyebutkan posisi saldo di Bank Mandiri sebesar Rp1,5 miliar.

Uang sebanyak itu berasal dari PT Bukaka Teknik Utama dan PT Hadji Kalla sebesar Rp1 miliar, donatur atas nama Suhaeli dan Gatot Soewondo masing-masing Rp100 juta, serta Rp300 juta dari sumbangan masyarakat pendukung capres-cawapres.

Di buku rekening atas nama Amien Rais-Siswono Yudo Husodo tercatat nilai uang sebesar Rp3,022 miliar. Penarikan (transfer) sebesar Rp1,773 miliar, dan saldo akhir sebesar Rp1,248 miliar.

Bendahara Tim Kampanye Hamzah Haz-Agum Gumelar, H Rahmat Basuki, dalam suratnya ke KPU 26 Mei 2004, melaporkan posisi saldo awal dana kampanye sebesar Rp1 miliar. Dana itu berasal dari 10 orang calon anggota legislatif Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sesuai dengan hasil rapat 30 Mei 2004 yang sepakat menyumbangkan 'gizi' untuk mendorong lajunya obsesi sang ketua umum.

Tetapi, dari hasil pantauan TII dan Indonesia Corruption Watch (ICW) di 28 daerah, membuktikan pembiayaan kampanye lima pasangan capres-cawapres tidak sebanding dengan yang dilaporkan kepada KPU.

Sepanjang periode 1-7 Juni 2004, total pengeluaran dana kampanye para kandidat itu sebesar Rp10,32 miliar. Pasangan Wiranto-Salahuddin mengeluarkan dana sebesar Rp3,952 miliar, Amien-Siswono sebanyak Rp1,566 miliar, dari kocek Tim Kampanye SBY-JK Rp3,715 miliar, pasangan Mega-Hasyim Rp4,542 miliar, dan Rp1,092 miliar lagi dikeluarkan untuk biaya kampanye 'jagonya' PPP, Hamzah-Agum.

Menanggapi penilaian tersebut, Slamet Effendy Yusuf mengatakan, dana yang dilaporkan ke KPU merupakan saldo awal. Sedangkan jumlah dana kampanye saat ini sebesar Rp49 miliar, berasal dari kandidat sebanyak Rp3 miliar, sumbangan partai Rp30 miliar, dan Rp15 miliar lagi berasal dari masyarakat dan pengusaha.

Ditegaskan Slamet, pasangan ini memang memiliki modal yang cukup kuat. Buktinya, data yang diserahkan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) ke Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) kekayaan keduanya bila digabungkan mencapai Rp48,9 miliar.

Untuk belanja iklan

Disparitas yang signifikan antara dana kampanye dan belanja iklan di media massa, juga terjadi dalam kurun 1-29 Mei.

Pada periode itu, pengeluaran untuk iklan di media massa yang dilakukan Tim Kampanye SBY-JK sebesar Rp6,3 miliar, antara lain Rp2,6 miliar untuk biaya media cetak, dan Rp3,7 miliar untuk membayar spot iklan di televisi. Padahal ke KPU dilaporkan dana kampanye hanya Rp1,5 miliar.

Sedangkan Tim Sukses pasangan Wiranto-Salahuddin, terpaksa menguras koceknya sebesar Rp1,2 miliar untuk media cetak dan Rp786 juta elektronik, ini belum termasuk rencana pendirian 11 ribu 'Warung Wiranto' yang diperkirakan bakal menghabiskan dana Rp22 miliar. Sementara laporan saldo awal yang diserahkan tim kampanye ke KPU sebesar Rp3,75 miliar.

Demikian pula dengan pasangan Amien-Siswono menghabiskan sekurangnya Rp160 juta untuk kampanye di media elektronik, dan Rp314 juta untuk biaya iklan di koran. Pasangan Megawati-Hasyim hanya berkampanye di media cetak pada periode ini sebesar Rp5,9 juta.

''Jumlah itu semua berdasarkan pemantauan TII di media cetak dan elektronik, tetapi belum termasuk spanduk, baliho, poster, dan stiker,'' ungkap Emmy.

Pencucian uang

Bagi TII dan ICW maraknya perputaran uang selama kampanye pemilu legislatif dan presiden, sangat rentan terhadap terjadinya praktik pencucian uang, sebab melibatkan uang yang jumlahnya tidak sedikit.

Tidak berlebihan pula kalau kedua lembaga swadaya masyarakat (LSM) menilai potensi timbulnya pencucian uang sangat besar dalam masa-masa kampanye. Kampanye kandidat presiden terbuka peluang dibiayai oleh pengusaha 'hitam'. Kalau itu, maka bukan mustahil dikhawatirkan presiden mendatang tidak memiliki integritas karena akan memunculkan politik 'balas budi'.

''Kita perlu seorang pemimpin yang memiliki integritas. Kondisi negara kita sekarang sedang carut-marut,'' papar Emmy. Jadi, tambahnya, wajar kalau rakyat perlu tahu asal usul kekayaan pasangan capres-cawapres, sebab bisa saja itu berasal dari mafia atau perusahaan yang pemiliknya sedang bermasalah sehingga bisa dikatakan untuk membeli pengaruh.

Apalagi, hingga saat ini belum di buka ke publik sumber dana awal yang termuat dalam rekening khusus dana kampanye masing-masing kandidat. Soalnya, dari daftar sumbangan yang diserahkan ke KPU terdapat sumbangan dana dengan jumlah yang cukup besar dari dewan pimpinan pusat partai. Bisa jadi dengan kurang transparannya pos ini terindikasi sumbangan itu melampaui batas maksimum sumbangan.

Calon presiden dari Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono mengaku, tidak ada dana yang masuk dari sumber-sumber yang tidak jelas atau dianggap tidak benar, misalnya perjudian dan sebagainya. ''Tidak ada satu rupiah pun uang yang saya terima dari sumber-sumber itu, termasuk isu, katanya saya mendapat bantuan dana untuk kampanye dari Tommy Winata. Sama sekali tidak ada,'' kilahnya.

Begitu pula dengan sinyalemen yang menyebutkan, ada kompensasi bagi para penyumbang dana. Susilo menegaskan pihaknya tidak gampang untuk menerima sumbangan, sebab dalam menggalang dana sangat jelas prinsip yang ditentukan. Apalagi, bila ada hal-hal tidak benar pada diri penyumbang atau pengusaha yang sedang tersangkut persoalan hukum, dan berharap persoalan hukumnya akan dilindungi. ''Ini jelas sangat tidak mungkin kami lakukan,'' ungkap Susilo. ***Lng/Sid/Sdk/M-5

Sumber: Media Indonesia, 13 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan