Copot Hendarso-Hendarman

Kemarin dia membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) yang beranggotakan sejumlah tokoh masyarakat.

Gencarnya aksi protes dan meluasnya ketidakpuasan publik dalam kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera bereaksi. Kemarin dia membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) yang beranggotakan sejumlah tokoh masyarakat.

Kepala Kepolisian RI Bambang Hendarso Danuri bahkan menyempatkan diri meminta maaf atas munculnya istilah “cicak dan buaya” dalam kasus ini. Malamnya, beredar kabar penonaktifan Komisaris Jenderal Susno Duadji, pemicu istilah tersebut, dari jabatannya sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal Polri.

Sejumlah petinggi Polri tampak berada di Markas Besar Kepolisian hingga larut malam. Namun, mereka membantah adanya rapat Dewan Kepangkatan dan Jabatan untuk menggeser Susno. “Nanti semua akan dijelaskan oleh humas,” kata Deputi Sumber Daya Manusia Inspektur Jenderal Edy Sunarno. “Saya tidak ikut rapat.”

Banyak pihak menilai langkah Presiden masih jauh dari harapan. Demonstrasi tetap merebak di banyak kota. Para pegiat antikorupsi pun memandang dengan hati-hati pembentukan TPF.

Kalaupun Susno benar dicopot, itu belum cukup. Mereka meminta Kapolri dan Jaksa Agung masuk agenda penggantian.

“Mereka justru menghalangi pemberantasan korupsi,” kata Direktur Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Donny Ardyanto.TOMI ARYANTO | CORNILA | MUNAWWAROH

Cara Buaya Menjerat Cicak

Banyak pihak mempertanyakan jerat hukum yang dipakai kepolisian terhadap Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah lantaran prosesnya dianggap janggal dan diselimuti aroma rekayasa. Berikut ini pasal-pasal yang dituduhkan, berdasarkan penjelasan Kepala Kepolisian RI Jenderal Bambang Hendarso Danuri pada 25 September.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

- Pasal 12 huruf e (tentang pemerasan), ancaman hukuman minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun.

- Pasal 12 huruf b (tentang percobaan pemerasan).

- Pasal 15 dan 23 (tentang penyalahgunaan kekuasaan), dengan ancaman hukuman minimal 1 tahun dan maksimal 6 tahun penjara.

16 Oktober 2009

Direktur Penuntutan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus mengirim surat kepada Kepala Badan Reserse Kriminal Polri berkaitan dengan penyidikan Bibit. Mereka memberi petunjuk pengenaan pasal lain:

Pasal 15 (tentang penyalahgunaan kewenangan), Pasal 23 (tentang percobaan penyuapan) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 421 KUHP jo Pasal 5 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

30 Oktober 2009

Kapolri kembali menggelar konferensi pers. Kali ini ia menegaskan akan menjerat Bibit dan Chandra dengan delik formil, yakni pidana pemerasan. Selain laporan Antasari, polisi memakai keterangan Ary Muladi sebagai bukti.

"Tak perlu ada tersangka yang tertangkap tangan, tapi cukup ada saksi yang menyerahkan dan ada yang melihat. Kami tidak merekayasa dalam penyidikan," kata Kapolri Bambang Hendarso Danuri.

Surat palsu dan pencabutan keterangan Ary Muladi

- Berulang kali Ary Muladi, melalui pengacaranya, menyatakan mencabut keterangan bahwa ia menyerahkan duit suap kepada Bibit dan Chandra. Belakangan, Ary mengaku bahwa uang yang diterima dari Anggoro, lewat adiknya, Anggodo Widjojo, diserahkan kepada seorang pengusaha bernama Julianto atau Anto. Polisi tak mengindahkan pencabutan keterangan ini.

- Tim pembela KPK menyatakan akan membongkar rekayasa kriminalisasi Bibit dan Chandra. Bersamaan dengan itu, beredar transkrip rekaman sadapan telepon seputar ini. Banyak nama petinggi Kejaksaan Agung yang juga tersadap.

Jaksa Agung Hendarman Supandji

“Kecuali praperadilan, tak ada kekuatan di luar undang-undang yang bisa menghentikan kasus ini.” Ia mengaku telah meminta klarifikasi kepada dua pejabatnya, Wisnu Subroto dan Abdul Hakim Ritonga, perihal sadapan telepon.

TOMI ARYANTO | ANTON SEPTIAN | EVAN (RISET)

Sumber: Koran Tempo, 3 November 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan