Citra Perbankan dan Pencucian Uang
Pekan lalu, Bank of New York Co., salah satu lembaga keuangan tertua di Amerika Serikat, mengaku bersalah telah melakukan tindak kriminal pencucian uang dan wajib membayar denda US$ 38 juta (setara dengan Rp 380 miliar dengan kurs Rp 10 ribu per dolar AS).
Pekan lalu, Bank of New York Co., salah satu lembaga keuangan tertua di Amerika Serikat, mengaku bersalah telah melakukan tindak kriminal pencucian uang dan wajib membayar denda US$ 38 juta (setara dengan Rp 380 miliar dengan kurs Rp 10 ribu per dolar AS). Denda itu ditetapkan jaksa penuntut umum sebagai salah satu kesepakatan. Kesepakatan lain yang disetujui oleh bank yang didirikan pada 1784 ini adalah melakukan reformasi di dalam tubuhnya, bersedia dimonitor oleh lembaga independen selama tiga tahun, dan siap bekerja sama dalam penyidikan yang dilakukan pemerintah.
Sebelumnya, manajemen Commerzbank, bank publik terbesar ketiga di Jerman, memastikan bahwa Klaus-Peter Mueller, petinggi Commerzbank, diselidiki atas tuduhan terlibat kasus pencucian uang terbesar di Rusia bersama dengan beberapa stafnya. Pernyataan itu dikeluarkan secara resmi oleh Commerzbank menanggapi laporan majalah mingguan Der Spiegel. Kondisi ini langsung membuat saham bank tersebut anjlok akibat turunnya kepercayaan masyarakat terhadap bank yang sebelumnya memiliki reputasi cukup baik ini.
Sebelumnya pula, tepatnya pada 17 Agustus 2005, Financial Crimes Enforcement Network dan Office of the Comptroller of the Currency telah menjatuhkan sanksi denda sebesar US$ 24 juta terhadap Arab Bank cabang New York karena tidak mengimplementasikan ketentuan antipencucian uang sebagaimana diatur oleh Bank Secrecy Act.
Sanksi administratif berupa denda agaknya bukanlah masalah yang begitu merisaukan bagi bank beraset besar seperti ini, sebagaimana yang diungkapkan oleh Thomas Renyi, chairman dan Chief Executive Bank of New York Co., dalam satu pernyataan. Jumlah denda itu tidak akan berdampak pada pendapatan saat ini dan masa datang. Kami puas dengan kesepakatan ini. Kami menilai keputusan itu jalan terbaik buat perusahaan dan semua konstituen kami.
Apa yang dikatakan Thomas Renyi mungkin benar. Tapi yang menjadi masalah adalah risiko reputasi akibat kurangnya kepercayaan masyarakat atas keberadaan suatu bank. Sebagaimana diketahui, bisnis bank adalah bisnis kepercayaan. Ketika sebuah bank melakukan penistaan terhadap kepercayaan yang diberikan oleh nasabahnya, bank tersebut cepat atau lambat akan mengalami distorsi kepercayaan sebagaimana yang dialami oleh Riggs National Corp.
Riggs National Corp. merupakan sebuah bank besar dengan asst US$ 6,37 miliar. Bank yang didirikan pada 1836 dengan jumlah karyawan 1.450 orang itu didenda oleh otoritas yang berkuasa di Amerika sebanyak US$ 25 juta karena tidak melaporkan transaksi keuangan mencurigakan sebagaimana ketentuan Bank Secrecy Act Amerika.
Tak hanya itu, rentetan kesialan terus menimpa bank yang berkantor pusat di 1503 Pennsylvania Ave. NW Washington DC 20005 tersebut. Bank yang memiliki 48 kantor cabang yang dibangun secara perlahan selama 178 tahun itu mengalami penurunan harga saham yang cukup signifikan. Selanjutnya, kursi empuk Presiden Riggs National Corp. yang diduduki oleh Timothy C. Coughlin sejak 1992 dan kariernya selama 21 tahun di Riggs harus dicopot. Penutup dari persoalan bank ini, meskipun belum dapat dikatakan selesai, ia harus rela di-take over oleh pihak lain dengan berganti nama.
Kasus-kasus di atas merupakan gambaran betapa malangnya penyedia jasa keuangan (PJK) bila tidak menerapkan ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Dan begitu rentannya bila ia tidak menerapkan prinsip mengenal nasabah (know your costumer), yang merupakan bagian dari prinsip kehati-hatian untuk dapat menghindarkan PJK dari risiko reputasi, risiko operasional, risiko hukum, dan risiko konsentrasi.
Risiko reputasi tergambar cukup jelas dari apa yang dialami oleh Riggs National Corp., yang pernah mencatat rekapitulasi pasar sebanyak US$ 468,29 juta, dengan turunnya harga saham. Risiko reputasi merupakan potensi adanya publisitas negatif mengenai kegiatan usaha PJK yang dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap PJK yang bersangkutan. Risiko ini merupakan ancaman utama bagi bank, karena karakteristik bisnis bank yang sangat memerlukan kepercayaan masyarakat dan pasar pada umumnya. Sedangkan risiko operasional adalah risiko kerugian karena kegagalan risiko proses internal, manusia, dan sistem atau faktor eksternal.
Apakah perbankan nasional terbebas dari risiko-risiko ini? Jawabannya tidak. Indonesia merupakan sarang para koruptor dan untuk yang satu itu negeri ini selalu berada pada peringkat atas. Selain itu, negeri yang subur ini merupakan salah satu negara yang enak pula bagi para launderer untuk melakukan pencucian uang. Bahkan media massa sempat menyebut Indonesia sebagai surga pencucian uang.
Kewajiban PJK
Penyedia jasa keuangan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang diwajibkan melaporkan transaksi keuangan yang mencurigakan ataupun transaksi keuangan tunai. PJK juga diingatkan untuk benar-benar melaksanakan prinsip mengenal nasabah dan berhati-hati dalam melakukan hubungan dengan individu ataupun badan usaha yang memiliki indikasi melakukan tindak pidana.
Sanksi pidana bagi PJK yang tidak melaksanakan ketentuan di atas sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU TPPU adalah denda paling sedikit Rp 250 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Jumlah ini memang tidak sebanding dengan sanksi yang dijatuhkan terhadap Bank of New York Co., sebanyak US$ 38 juta, dan Riggs National Corp., sebanyak US$ 25 juta, oleh bank sentral Amerika. Tapi risiko reputasi yang bakal diterima oleh bank nasional bila tidak menerapkan UU TPPU akan sama, yakni rusaknya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan tersebut.
Risiko yang lebih berat bagi PJK adalah dituduh sebagai pencuci uang pasif sebagaimana diatur pasal 6, yang menyatakan bahwa setiap orang yang menerima atau menguasai (penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, atau penukaran) harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dikenai hukuman pidana penjara paling singkat lima tahun serta denda paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak Rp 15 miliar.
M. Natsir Kongah, pembelajar masalah-masalah tindak pidana pencucian uang, tinggal di Tangerang
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 19 November 2005